Lova baru saja keluar dari HRD. Atas kejadian yang terjadi, ia mendapat SP 1. Darren mengadu, melaporkan bahwa Zegan adalah saudara Lova. Meski saksi mengatakan semua bermula karena Darren dan rekannya, Lova tetap saja terkena imbas.
Perhatian keempat rekan Lova mengarah padanya saat ia memasuki ruangan. Hingga akhirnya Lova duduk di kursi kerjanya, perhatian semuanya baru teralihkan pada pekerjaan masing-masing kecuali Ria. Ria bahkan bangkit dari duduknya dan menghampiri Lova. Ia sempat mendengar apa yang terjadi di lobi sebelumnya membuatnya penasaran.
“Kau baik-baik saja?” tanya Ria. Dari semua rekan kerja, hanya Ria yang cukup dekat dengan Lova.
Lova menatap Ria dengan mata berkaca-kaca. Namun, setelahnya mengukirkan senyuman walau terpaksa. “Ya, aku baik-baik saja.”
Meski berkata demikian, kenyataannya, tidak. Lova merasa harinya benar-benar hancur.
Ria menepuk bahu Lova mencoba menenangkannya.
Tak terasa waktu telah siang, sudah waktunya istirahat membuat Lova menghentikan aktivitasnya menghadap layar PC di hadapan. Beberapa rekannya pun sudah meninggalkan ruangan menyisakan dirinya dan Ria.
Bruk!
Lova menjatuhkan kepala membuat jidat lebarnya membentur meja. Ia kembali teringat kejadian hari ini yang membuatnya benar-benar down.
Ria bangkit dari duduknya setelah memijat lehernya yang pegal dan melakukan peregangan. Dihampirinya Lova dan melihat bahu Lova bergetar. Suara sesenggukan juga samar terdengar.
Ria menepuk pelan bahu Lova. “Lov, kau baik-baik saja?” tanyanya.
Lova mengangkat kepala, menegakkan punggungnya dan terlihatlah wajahnya yang menyedihkan. Wajahnya basah dengan derai air mata, ingusnya pun mengalir sama derasnya. Ria yang melihatnya bukannya merasa kasihan, justru ingin tertawa.
Ria berusaha menahan tawanya membuat Lova kian merasa teraniaya karena ditertawakan.
“Ya Tuhan! Kenapa kau memberiku cobaan seberat ini? Apa salahku, ya Tuhan!” ucap Lova mendramatisir.
Ria berdehem berusaha meredam tawanya. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya lewat mulut kemudian membujuk Lova untuk makan siang.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi, sebaiknya kita makan siang.”
Tak lama kemudian, Lova dan Ria telah berada di restoran yang tak jauh dari kantor. Lova sedikit lebih tenang meski sesekali masih saja menghela napas berat.
“Jadi, sudah mau cerita?” tanya Ria setelah menyedot jus wortelnya hingga hampir tandas. Ia baru saja menyelesaikan makan siangnya.
Untuk kesekian kalinya Lova kembali menghela napas berat. Apakah ia harus mengatakannya pada Ria? Tapi, sepertinya harus. Setidaknya jika ia mati tak wajar, Ria tahu siapa pelakunya. Namun, ia teringat ucapan Flo kemarin yang membuatnya merasa tak bisa percaya pada siapapun termasuk Ria.
Lova menoleh menatap Ria yang duduk di kursi di sebelah kursi yang didudukinya. “Kau tahu julukan apa yang orang-orang berikan padaku?”
Ria sedikit terkejut dengan pertanyaan Lova. “Julukan? Apa maksudmu?”
“Kau juga tahu aku jadi bahan taruhan?” Bukannya menjawab dan menjelaskan, Lova kembali bertanya. Jika Ria tahu semuanya, kenapa dia hanya diam?
Ria menatap Lova dalam diam kemudian mengalihkan pandangan saat ia merasa telah tertangkap basah.
“Bagaimana aku mengatakannya? Mengenai julukan itu, sudah lama aku sering mendengarnya. Dan untuk taruhan, aku tahu belum lama.”
“Lalu kenapa kau tidak mengatakan apapun padaku?!”
Ria terjingkat saat Lova berteriak dan menggebrak meja. Lova juga sampai berdiri dari duduknya.
“Apa kau jadi bagian dari mereka?! Berpura-pura jadi teman tapi, kau sama saja dengan orang-orang yang menertawakanku!”
Nyali Ria menciut saat hendak memberi Lova penjelasan. Namun, tak ingin pertemanannya dengan Lova berakhir, ia berusaha memberanikan diri.
“Ma- maaf, Lov, jangan salah paham. Aku memang tahu tapi sengaja menyembunyikannya darimu untuk menjaga perasaanmu.”
Lova menatap Ria dengan pandangan tak terbaca, napasnya tersengal karena kemarahan yang meluap sebelumnya. Namun, pada akhirnya ia kembali duduk dan membenturkan jidatnya pada meja. Saat ini bukan saatnya memikirkan kebusukan orang-orang yang menjadikannya bahan lelucon, bukan juga memikirkan Zegan dan uangnya yang raib. Saat ini yang terbaik adalah, berhenti memikirkan semua itu dan berharap setelah ini tak akan ada masalah lagi. Sayangnya, begitu sulit.
“Ri, nanti malam kau senggang? Temani aku. Aku butuh amnesia sejenak dari semua masalahku,” ucap Lova saat mengangkat kepala menatap Ria. Ia pikir, minuman mungkin jalan keluar terbaik untuk semua masalahnya ini.
Di sisi lain, Darren sesekali masih meringis memegangi rahangnya yang membiru. Akibat ulah Zegan, ia kesulitan mengunyah makanan.
“Sialan, siapa dia sebenarnya?” tanya rekan Darren yang juga menjadi korban amukan Zegan pagi tadi. Sam seperti Darren, ia pun kesulitan makan karena tangannya yang terluka.
“Memangnya, apa yang terjadi antara kau dan pria itu?” sahut rekan Darren lainnya. Rasanya ia menyesal sudah ikut campur, membantu Darren dan sekarang ia babak belur.
“Dia preman sewaan Lova.”
Jawaban Darren membuat dua pria itu saling melempar tatapan sekilas.
“Preman?”
“Sewaan perawan tua itu?”
Darren hanya diam tenggelam dalam pikiran. Apa yang Zegan lakukan semakin membuatnya yakin kalau Zegan benar-benar preman. Namun, bukannya merasa takut, ia justru semakin ingin membalas Zegan.
“Oh, ya, Tuhan, di sini kalian.”
Sebuah suara membuat ketiga pria itu menoleh dan menemukan Flo berjalan ke arah mereka lalu duduk di kursi sebelah Darren yang kosong.
Flo memperhatikan Darren dengan seksama, memperhatikan beberapa bagian wajahnya yang lebam dan membiru. “Sial, harusnya tadi pagi aku di sana dan menyaksikan semuanya.”
Perhatian Flo kemudian mengarah pada dua teman Darren lalu kembali pada Darren. “Sehebat apa sampai-sampai dia menang melawan kalian bertiga?” ucapnya disertai gelengan ringan.
“Diam lah, jangan banyak bicara. Sebaiknya cari preman yang paling kuat di kota ini. Aku akan membuat perhitungan dengannya,” ucap Darren disertai geraman diikuti kepalan tangan menggebrak meja.
“Tenang saja. Bukankah sudah kubilang soal orang-orang itu biar aku yang urus? Kau terlalu tak sabaran dan lihat hasilnya, babak belur,” cerocos Flo dan seketika mendapat delikan tajam dari Darren.
Flo memutar bola mata kemudian mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. Menggeser layar, diperlihatkannya nomor tak dikenal yang diakuinya sebagai salah satu nomor preman terkejam di kota.
“Ini. Tapi, dia sangat mahal,” ujar Flo.
Alis Darren mengernyit menatap layar ponsel Flo. “Kau yakin?”
Flo mencondongkan tubuhnya ke arah Darren dan berbisik, “Tentu saja. Polisi bahkan takut pada mereka.”
Darren tampak berpikir kemudian memutuskan percaya pada Flo. Uang bisa dicari, yang penting adalah balas dendam pada Zegan.
Dua rekan Darren hanya saling melempar lirikan. Mereka tak berniat ikut campur meski mendengar semua yang Darren dan Flo bicarakan.
***
Jbles!
Waktu telah sore dan sudah saatnya pulang. Lova menutup pintu mobil Ria cukup keras. Suasana hatinya masih tidak baik-baik saja karena kejadian pagi tadi.
“Kau serius, Lov?” Ria yang duduk di depan kemudi, bertanya pada Lova yang baru saja duduk di sebelahnya.
“Tentu saja. Sudah, cepat tancap gas,” jawab Lova tanpa ragu. Ia mengajak Ria ke klub untuk menenangkan diri sejenak, berpikir dengan segelas minuman bisa membuatnya lupa dengan segalanya. Namun sebelum itu tentu mereka pulang lebih dulu. Bukan ke rumah Lova, tapi ke rumah Ria setidaknya untuk ganti baju.
Ria memutar bola mata. “Haish, jangan sampai kau menyesal,” ucapnya kemudian menyalakan start mobilnya.
Dalam perjalanan Lova terus berpikir, dan semakin berpikir semakin membuat kepalanya pening.
“Tapi, kebetulan sekali, sih. Aku juga butuh hiburan. Siapa tahu di sana ada pria keren yang bisa jadi teman kencan,” celetuk Ria disertai cekikikan tawa. Saat Lova mengajaknya ke klub untuk minum, ia sama sekali tak menolak. Hanya saja, satu yang ia pikirkan adalah, apa Lova kuat minum? Hanya segelas saja, wanita itu sudah mabuk.
“Apa yang ada di kepalamu cuma pria dan pria? Padahal mereka adalah makhluk b******k yang harusnya musnah dari muka bumi ini,” sahut Lova. Ucapan Ria mengingatkannya pada Daren dan Zegan, dua pria itu sama-sama b******n yang membuatnya ingin tenggelam.
“Hei, jangan begitu. Kau hanya belum ketemu saja dengan pria yang baik, keren, dan membuatmu jatuh cinta. Lagipula, kalau tidak ada pria, kita mau main dengan siapa? Pisang mereka lebih lezat daripada timun dan terong.”
Alis Lova berkerut tajam. Ia heran. Kadang mulut Ria begitu manis, tapi kadang juga begitu menjijikan dan kalimat barusan adalah yang paling menjijikan yang selama ini pernah ia dengar dari mulutnya.
Tak terasa langit telah dihiasi bintang, bulan purnama telah menunjukkan kecantikannya saat Lova dan Ria sampai di sebuah klub di tengah kota.
“Thank you “ Ria mengedipkan sebelah mata nakal setelah pelayan pria yang tampan mengantar sebotol minuman ke atas mejanya.
Sementara itu, Lova segera menuang minuman itu ke dalam gelas dan menghabiskannya dalam sekali tenggak. Ria yang melihatnya hanya menggeleng ringan.
“Ya ampun, sepertinya dia benar-benar sedang frustasi,” batin Ria.
“Hei, Lov. Jangan minum banyak dulu. Nanti kau mabuk. Kita nikmati dulu suasananya, bodoh,” maki Ria melihat Lova kembali menenggak minuman berbau khas tersebut. Ia ingin bersenang-senang, gawat jika Lova mabuk duluan.
Kepala Lova mulai terasa pusing. Dan entah sadar atau tidak, ia mengatakan, “Kau yang sering ke tempat seperti ini, carikan aku pria yang mau tidur denganku.”
Mata Ria melebar, ia begitu terkejut hingga menutup mulut. “Ha? Lov, kau serius? Sial, kau sudah mabuk!”
“Berisik! Mereka menertawakanku karena aku masih perawan. Apa itu lucu? Mereka menjadikanku bahan lelucon!” racau Lova. Sepertinya, ia benar-benar sudah mulai mabuk.
Tiba-tiba seorang pria datang, tanpa permisi duduk di sebelah Lova dan berbisik di telinga. “Mari, tidur denganku.”