Jatuh Cinta

1001 Words
Motor berhenti di depan warung mie ayam dan bakso yang menjadi langganan keluarga Gara. Ada beberapa pengunjung yang sudah duduk di sana, sebagian terlihat melahap pesanan mereka, sebagian lagi tengah menunggu pesanan. Gara menggandeng tangan Neva dan menuntunnya berjalan memasuki warung. Untuk sesaat, Neva terdiam. Kedua matanya terpusat pada genggaman erat Gara di tangannya. Jantungnya berdegup tak beraturan. Sejenak ia berpikir, kenapa Gara menggandengnya? Kenapa dia dan Gara seperti orang yang sedang berpacaran saja? Gara menuntun Neva sampai di salah satu sudut. Laki-laki itu mempersilakan Neva untuk duduk. "Kamu mau pesan apa? Mie ayam atau bakso?" "Bakso aja, Gara. Tadi aku lihat baksonya gede-gede banget. Kayaknya enak." Gara tersenyum. "Okay, aku mie ayam, kamu bakso, ya." Gara beranjak dan mendekati penjual mie ayam yang sibuk meracik mie. "Mas, baksonya satu, mie ayam satu, minumnya es teh dua." Penjual itu mengangguk. "Siap, Mas." Gara kembali duduk di hadapan Neva. Neva melihat sekeliling. Warung mie ayam ini tidak begitu besar, tapi tertata rapi dan bersih. Neva menyukainya. Ia beralih menatap Gara yang juga tengah memusatkan pandangannya pada gadis itu. Neva kembali berdebar. Ada sesuatu yang berbeda kala dia dan Gara saling menatap. "Kamu suka tempat ini?" tanya Gara mencairkan kebekuan. Neva mengangguk. Ia menyunggingkan satu garis senyum. "Warungnya nggak begitu besar, tapi rapi dan bersih." "Di sini jarang ada rumah makan yang besar, Neva. Nggak banyak pilihan juga. Cuma mie ayam dan bakso di sini spesial." Tak berapa lama, pelayan menghampiri dan menyajikan pesanan di meja. Neva tampak bersemangat melihat semangkok bakso dengan bakso besar satu buah, sedang di sekelilingnya ada bakso-bakso lain yang lebih kecil. Keduanya menyantap makanan mereka dengan perasaan yang tenang, bahagia, sekaligus berdebar. Ketika Neva masih bertunangan dengan Andreas, ia jarang menghabiskan waktu bersama Andreas. Pria itu sering tenggelam dalam pekerjaannya dan jarang memiliki waktu untuk Neva. Setelah hubungan mereka berakhir, Neva menyadari jika Andreas memang sengaja menciptakan jarak, jarang menemuinya karena pria itu tidak pernah mencintainya. Ia juga tahu, Andreas akan pergi untuk Kania di saat laki-laki itu butuh sandaran, bukan pergi padanya. Suasana mendadak canggung. Gara tahu, hatinya mulai menghangat dan setiap kali menatap Neva, ia merasakan sesuatu yang menjalar, seolah berbisik agar ia mencoba membuka hati. Bukankah dia sudah move on dari kegagalan cintanya dengan Fatma? Dan Gara pun mengakui, Neva memang menarik dengan segala yang ia punya, entah kekurangan maupun kelebihan. Ia kembali terlihat akan pesan Bagas saat dirinya menjenguk mantan atasannya itu di penjara. "Gara, jaga Neva baik-baik. Saya mohon temani dia, lindungi dia, jangan sampai ada seorang pun yang menyakitinya. Saya ingin dia selalu baik-baik saja dan bahagia meski ibunya meninggalkannya dan ayahnya dipenjara." Gara menghela napas. Apakah ia harus membendung perasaan yang mulai tumbuh? Apakah mencintai gadis itu sama saja mengkhianati pesan dari mantan atasannya? Menjaga dan mencintai tentu adalah dua kata yang berbeda dengan makna yang juga berbeda. Ia kembali tersadar, bertanya pada dirinya sendiri, siapa dirinya? Terlepas kebangkrutan yang mendera keluarga Neva, gadis itu tetaplah terlalu tinggi untuk ia raih. Keduanya melahap menu masing-masing dengan perasaan yang masih berkobar. Bahkan kontak mata kembali mereka bendung tatkala tanpa sengaja keduanya saling menatap. "Kamu suka makanannya?" tanya Gara tuk sekadar mencairkan kebekuan dan debaran yang menguasai. Neva tersenyum dengan anggukan pelan tanpa berani menatap Gara lebih lama. "Suka banget, enak ya, Gara. Rasanya lebih enak dari bakso langganan di Jakarta." Gara ikut tersenyum. "Kamu mau nyicipin mie ayam punyaku?" Neva membelalakkan matanya. Tanpa jawaban dari Neva, Gara menyuapkan satu sendok mie ayam ke mulut Neva. Gadis itu menurut. Ia membuka mulutnya dan mengunyah makanannya. "Gimana? Enak, nggak?" Neva mengangguk dan tersenyum. Malam terasa semakin syahdu. Perasaan cinta itu kian bersemi, menghangatkan hati masing-masing. Namun, mereka tak berani mengungkapkan akan rasa yang kian melesat. Mereka hanya ingin nikmati malam berkesan dengan cara yang sederhana, tapi tak akan terlupakan. Selesai makan, Gara mengajak Neva pulang. Ia tak mau pulang terlalu malam. Sudah cukup makan malam sederhana nan romantis bersama Neva. Saatnya mereka pulang sebelum kembali berpetualang esok harinya. Sepanjang jalan keduanya berbincang santai. Neva kembali deg-degan kala Gara melingkarkan tangannya untuk memeluk pinggangnya. Debaran kian merajai takkala Gara tak jua melepas genggamannya. Sesekali ia mengusap tangan Neva, sesekali ia biarkan bebas. Senyum terlukis di kedua sudut bibir Neva. Sudah lama ia tak merasakan seperti ini, di mana jantungnya berdegup lebih kencang karena getaran cinta. Tiba di rumah, kedua insan itu saling memandang dengan kikuk dan salah tingkah. Ada banyak kata yang sebenarnya ingin dilontarkan, tapi setelah dua netra itu saling menatap, keduanya justru mengunci bibir mereka rapat-rapat. "Udah malam, kamu mau tidur, 'kan?" tanya Gara seraya menatap Neva yang sedikit menunduk. Neva mengangguk. Mungkin ia tak akan langsung tidur setelah berdebar tak menentu karena makan malam romantisnya bersama Gara. "Kamu juga, 'kan?" tanya balik Neva. Gara mengangguk dengan sedikit kaku. Ingin ia mengatakan sesuatu yang lain, tapi lagi-lagi bibirnya bungkam. "Makasih untuk malam ini." Neva mencoba menetralkan kecanggungan. "Sama-sama, aku seneng banget malam ini ...." Gara menggaruk kepala belakangnya, gugup tak menentu. "Aku juga." Neva pun sama, salah tingkah. "Ya, udah aku masuk dulu, ya Gara. Good night." Neva membuka pintu kamarnya. Gara tersenyum tipis. "Good night." Setelah Neva masuk ke dalam, ia raba dadanya. Debaran itu masih terasa kencang. Tanpa alasan jelas, lagi-lagi bibir itu tersenyum. Ia tahu, hatinya sudah terpikat pada pemuda itu. Dan ia harap, hati Gara pun akan tertambat padanya tanpa tergoda untuk berlabuh di tempat lain. Gara pun merasakan hal yang sama. Di kamar, ia tak bisa terpejam. Kedua sudut bibirnya tak henti tersenyum, mengingat apa yang sudah ia lalui bersama Neva. Wajah cantik Neva kini seakan terpajang kuat di pelupuk mata. Ia akan terus menjaga gadis itu, membahagiakannya, dan memberikan segala ketulusan. Setelah sekian lama hatinya gersang, kini perlahan bersemi kembali. Neva yang membuatnya berhasil menepis segala ketakutan dan keraguan. Ia tahu, hatinya berhak untuk jatuh cinta kembali. Gara tersenyum sekali lagi. Ia tak akan melepas gadis itu. Ia akan terus memperjuangkan Neva. Ia punya alasan lain untuk menjaga Neva. Bukan semata karena amanah mantan atasannya, tetapi juga karena hatinya sudah berlabuh di dermaga cinta gadis itu. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD