Getar Cinta

2100 Words
Setelah Fatma berlalu, Neva bersedekap dan menatap Gara tajam. Pemuda itu melirik Neva sekilas. Ada sesuatu yang tak terbaca di wajah Gara. Neva berusaha menebak apa yang tengah dipikirkan Gara. Begitu juga dengan Gara, ia berusaha menebak apa yang tengah dipikirkan gadis itu. "Kamu nggak kepikiran untuk balikan sama mantan kamu?" Neva mengulas senyum tipis, mencoba menutupi kecemburuan yang mengakar. Gara terdiam sejenak. Fatma hanya masa lalunya. Tak terpikir olehnya untuk merajut kembali kisah yang telah usang. Fatma gadis yang baik. Namun, untuk menikah ada banyak hal yang dipertimbangkan. Keluarga Fatma tak menyetujui hubungan mereka. Masih terngiang dengan jelas bagaimana orang tua Fatma meremehkannya karena status sosial yang berbeda. Selain itu, mereka juga mempermasalahkan Gara yang terlahir di luar pernikahan. Ini sangat menyakitkan untuk Gara. Perlahan ia bisa move on dan mengubur rasa cintanya setelah mendengar kabar pertunangan Fatma dengan pemuda pilihan orang tuanya. "Aku nggak pernah berpikir untuk itu. Kenapa kamu nanya ini?" Neva mengalihkan pandangannya pada pohon-pohon hijau di sebarang sungai. "Cuma ingin tahu aja. Soalnya kamu bilang dia udah putus sama tunangannya." Neva kembali menatap Gara. Laki-laki itu diam sejenak. Ia memang tak berniat kembali pada Fatma. Namun, ia tahu, jodoh Allah yang menentukan. "Memangnya kalau dia udah putus, semudah itu untuk balikan?" Gara balik bertanya. "Apa kamu ada niat balikan sama Andreas?" tanya Gara lagi. Neva membulatkan matanya. "Ya, nggaklah. Bodoh banget kalau aku mau balikan sama dia. Cuma kasus kita beda Gara. Fatma nggak selingkuh, 'kan? Kalian putus terus dia dijodohkan. Dia sepertinya gadis yang baik, cantik lagi." "Alasan kami putus karena dia dijodohkan. Memangnya kenapa kalau dia baik dan cantik? Cinta itu soal perasaan yang kadang kita nggak tahu alasan mencintai seseorang. Bukan terpaku pada kebaikan atau kecantikan fisik." Neva membisu. Gara pun membeku. Tak ada suara seolah masing-masing sibuk dengan pikirannya. "Udah ah kita balik, ya. Aku laper." Neva melangkah melewati tubuh Gara yang masih mematung. Gara mengikuti langkah Neva. Gadis itu masih merasa belum lega. Entah kenapa, ia begitu khawatir Gara akan kembali pada Fatma. Pagi itu Neva, Gara, dan keluarganya sarapan di teras belakang. Menu khas kampung itu membuat Neva begitu berselera. Ada ikan asin, cah kangkung, sambal tomat, tempe dan tahu goreng, serta sayur bening. Tiba-tiba ada salam bergema dari depan rumah. Semua menjawab salam. Rinda bergegas menuju depan untuk melihat siapa yang datang. Neva dan Gara cukup terkejut melihat kedatangan Fatma yang tengah menenteng rantang. Sejak putus dari tunangannya, Fatma memang sering menanyakan kabar Gara pada Rinda. Mengetahui Gara pulang kampung, Fatma memanfaatkan kesempatan untuk memberikan perhatian pada pemuda itu dan keluarganya. Ia sengaja memasak ayam semur kesukaan Gara. Fatma akui, hingga detik ini nama Gara masih bertahta kuat di singgasana hatinya. Tak mudah baginya melupakan segala kenangan indah yang pernah ia ukir bersama Gara. "Eh, ada Fatma." Ramini tersenyum ramah. Meski anak sulungnya sudah tak lagi menjalin hubungan dengan Fatma, dia tetap menjaga hubungan baik dengan Fatma. "Ibu, Fatma bawain ayam semur. Mumpung Mas Gara lagi di rumah, jadi sekalian Fatma masakin ayam semur." Fatma menyodorkan rantang itu pada Ramini. "Jadi buat Mas Gara aja nih ayamnya?" Indra meledek sembari melirik kakaknya. Fatma tertawa. "Ya, nggak lah Indra, ini buat semua yang ada di sini. Maksud saya masak ayam semur karena ada Mas Gara juga yang suka banget ayam semur." "Ya, tetep aja alasan utama karena ada Mas Gara." Indra tertawa renyah. Pipi Fatma bersemu merah. Hal berbeda ditunjukkan Neva. Ekspresi wajahnya tiba-tiba mendung. Sesekali ia melirik Gara. Ia merasa tak selihai Fatma yang pintar mengambil hati. Ramini menyajikan ayam semur pemberian Fatma. Ia menawarkan ayam semur itu pada Neva dan Gara. "Ini ayamnya enak banget, lho. Fatma ini pinter masak," puji Ramini. Fatma memang dikenal pintar memasak. Tak heran banyak laki-laki yang berusaha mengejar cintanya. Ia tak hanya cantik tapi juga pintar memasak dan ramah. Gara mengambil ayam itu dan melahapnya. "Iya enak banget. Makasih ya Fatma." Gara mengulas senyum. Tentu ia menghargai usaha Fatma yang sudah memasak ayam semur untuk keluarganya. "Sama-sama, Mas. Aku masih inget banget kalau Mas Gara suka ayam semur." Gara tercenung. Wanita itu masih mengingat makanan kesukaannya. "Aku juga masih inget makanan favorit kamu. Kamu suka ikan nila bakar, 'kan?" Gara bertanya balik. Fatma tersenyum lebar. Ia tak menyangka, Gara masih mengingat dengan jelas. "Mas Gara masih ingat aja," balas Fatma. "Ehem ... masih saling mengingat, nih. Mantan terindah." Indra tertawa lepas disusul Rinda yang juga cekikikan. Fatma dan Gara saling menatap sejenak. Gara buru-buru menundukkan wajahnya, sedangkan Fatma tersipu. Perasaan cintanya masih utuh untuk Gara. Namun, ia tak berani untuk mengungkapkannya. Neva melirik Gara dan Fatma bergantian. Tanpa alasan yang jelas, ia merasa kesal lalu perlahan kesedihan mendominasi hatinya. Ia cemburu. "Masakan Mbak Fatma selalu enak. Jadi inget dulu Mbak Fatma sering kirim masakan buat Mas Gara. Aku dan Mas Indra kecipratan makan enak." Rinda mengenang masa-masa Sang Kakak dan Fatma masih menjalin hubungan. Ia senang karena Fatma sering datang ke rumah membawakan masakan. Neva semakin senewen. Ia hanya mematung menyaksikan keakraban Fatma dan adik-adik Gara. Mereka berbincang banyak hal termasuk masa-masa nostalgia sewaktu Gara dan Fatma masih berpacaran. Setelah semua selesai sarapan, Fatma dengan tangkas membantu Ramini membereskan piring dan gelas. Ia juga berinisiatif membantu Ramini mencuci piring. Bahkan Neva juga mendengar perbincangan akrab Ramini dan Fatma. Neva merasa terabaikan. Ia masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Mendadak Neva ingin pulang saja ke Jakarta. Untuk apa ia ikut ke kampung jika Gara lebih sibuk dengan mantan pacarnya? Bahkan keluarga Gara pun sudah sangat akrab dengan Fatma. Gara yang menyadari Neva tidak ada di teras maupun ruang tengah pun mencari keberadaannya. Rinda memberi tahu jika Neva masuk ke kamar. Gara mendekat menuju pintu kamar yang ditempati Neva. Ia mengetuk pintu. "Neva ...." Neva terperanjat. Ia melirik pintu kamarnya dan membayangkan sosok Gara sudah mematung, menunggunya keluar. Neva tak jua beranjak. "Ya, aku agak capek, jadi ingin istirahat," jawab Neva pelan. Gara merasa ada yang berbeda dengan sikap Neva yang mendadak berubah dari ceria menjadi murung. "Okay, kamu istirahat aja. Nanti sore kita naik perahu ya, ke kebun uwaku yang ada di tengah sungai. Daratan ini namanya delta, tapi orang sini menyebut "platar". Kamu belum pernah naik perahu, 'kan?" Tak ada jawaban dari Neva. Gara semakin merasa penasaran. Namun, ia akhirnya berlalu dan membiarkan gadis itu beristirahat. ****** Sorenya, Gara memenuhi janjinya mengajak Neva naik perahu ke delta. Sebelumnya Neva tidak berminat, tapi karena Rinda memaksanya untuk ikut, akhirnya Neva luluh juga. Setiba di sungai, sudah ada beberapa perahu yang dipatok di tepi. Uwa Gara yang bernama Wawan mempersilakan Gara, Rinda, dan Neva untuk naik ke perahunya. Tiba-tiba Rinda melihat Fatma yang juga tengah bersiap naik ke perahu di sebelah perahu Wawan. "Wah ketemu lagi sama Mbak Fatma. Mbak Fatma mau ke platar juga?" Rinda mengamati keranjang yang menggantung di tangan Fatma. Fatma mengangguk. "Iya, Rinda, mau metik sayuran." Sebenarnya Fatma tahu jika Gara akan ke delta dari Wawan. Ia mendengar perbincangan Wawan dan pamannya. Dari situ Fatma tahu jika Wawan akan mengantar Gara dan Neva ke delta sore ini. Fatma tak ingin membuang kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan Gara. Neva tak habis pikir, semesta seolah selalu mempertemukannya dengan Fatma. Ia menahan kesal di dalam. Lebih kesal lagi ketika memergoki Gara yang seakan tengah menatap Fatma. Padahal pemuda itu tengah memandang lepas ke arah kebun. Neva duduk di depan Gara. Di antara dua sisi perahu disatukan oleh satu atau dua kayu yang dijadikan tempat duduk. Neva menikmati perjalanan sembari melihat panorama di sekitar sungai. Semilir angin terasa begitu menyejukkan. Gara mengamati Neva dari belakang. Rambut panjang itu tampak bergelombang tertiup maruta. Entah sejak kapan terkadang ia merasa berdesir melihat Neva. Ia tak mau gegabah mengartikan perasaannya. Setiba di delta, perahu dipatok di tepian. Gara mengulurkan tangannya pada Neva untuk menuntun gadis itu keluar dari perahu. Fatma yang juga turun dari perahu lain menatap Gara dan Neva dengan pandangan bertanya. Ia penasaran akan hubungan antara Gara dan Neva. Gara mengajak Neva berjalan-jalan mengelilingi kebun. Aneka tanaman memanjakan mata. Beberapa kali Neva memotret kupu-kupu dan kepik yang hinggap di dedaunan. Saat melewati kebun orang tua Fatma, Gara dan Neva mengamati Fatma tengah kesulitan mencabut tanaman singkong. Gara berinisiatif membantu. Neva semakin bad mood melihat Gara meninggalkannya dan mendekat ke arah Fatma untuk membantu gadis itu mencabut tanaman singkong. "Wah pantas susah banget dicabut, singkongnya besar-besar banget." Fatma tersenyum puas. "Ini mau dicabut berapa Fatma? Apa perlu dibantu lagi?" Tentu saja Fatma senang mendengar penawaran itu. "Dua tanaman lagi, Mas." Neva yang sudah tak bisa menyembunyikan kekesalannya seketika berjalan menjauh. Gara mengamati langkah Neva yang menjauh dengan sejuta tanya. "Neva, kamu mau ke mana?" Gara mempercepat langkahnya untuk mengejar Neva. Sementara Fatma mematung dan kecewa karena Gara memilih untuk mengejar gadis kota itu. Neva berdiri di tepian delta. Ia memandangi perahu yang masih dipatok. Gara menyusul sembari memanggil nama gadis itu berulang kali. Namun, Neva tak menghiraukan. Gara memandangi Neva yang memasang tampang cemberut. "Kamu mau ke mana? Nggak mau jalan-jalan lagi?" Neva tak menjawab. Ia menatap ke depan, bermuara pada air sungai yang tenang. "Neva ...." Gadis itu menoleh ke arah Gara dan masih menampakkan raut wajahnya yang datar. "Jalan-jalan gimana? Kamu aja memilih mencabut tanaman singkong di kebun Fatma." Nada bicara Neva terdengar sewot. "Aku tadi cuma bantuin dia sebentar. Setelah itu aku akan ajak kamu jalan-jalan lagi keliling kebun." Neva bersedekap dan tak mau menoleh ke arah Gara. "Lebih baik kita cepet balik ke Jakarta. Aku mau cari kerja lagi. Toh di sini, kamu nemeni Fatma terus. Jauh-jauh ke kampung cuma buat nemeni orang pacaran." Gara mengernyitkan dahi. "Nemeni Fatma terus? Perasaan aku nggak nemeni. Waktu tadi pagi, dia datang sendiri ke rumah. Dan sore ini juga ketemu di sungai. Kebetulan banget dia mau ke delta juga. Dan siapa juga yang pacaran?" Neva tak ingin menunjukkan kekesalannya. Namun, ia tak tahan lagi meluapkan kekesalan dan kekecewaan yang terakumulasi sejak pagi tadi. "Tapi kamu seneng kan dimasakin sama Fatma? Kamu bantuin Fatma nyabut singkong juga biar deket sama dia. Bentar lagi kalian pasti balikan. Jadi percuma aja aku ke sini cuma buat nemeni kamu pacaran." Nada bicara Neva semakin ketus. "Astaghfirullah. Gini deh, aku nanya, apa yang minta Fatma masak itu aku? Dan soal bantu dia nyabut singkong, ini karena kemanusiaan aja. Masa iya aku tega lihat dia kesusahan nyabut singkong?" Gara bertanya-tanya kenapa Neva bersikap seperti ini. Apa gadis itu cemburu? "Ya, udah terserah kamu. Kamu mau deket-deket sama Fatma ya silakan. Apa hakku untuk melarang?" cetus Neva sewot. Gara mengembuskan napas pelan. "Kamu marah?" tanya Gara pelan. Neva tak menjawab. Ia alihkan pandangannya ke arah lain. "Apa aku perlu menegaskan kalau aku nggak ada niat balikan sama Fatma?" Neva masih membisu. Gara pun bingung sendiri menghadapi sikap Neva. "Ke depan nggak akan ada yang tahu. Kalau Fatma gercep deketin kamu terus, masakin kamu terus, baik-baikin kamu terus, bisa aja kamu luluh. Apalagi dia akrab banget sama keluarga kamu," cerocos Neva seraya melirik Gara sesekali. Gara mengusap belakang kepalanya. "Terus mau kamu apa? Kalau nanti kita balik ke Jakarta juga gak akan ketemu lagi sama Fatma." "Makanya kan sekarang dimanfaatkan? Mumpung lagi di kampung, kamu manfaatkan untuk dekat terus sama Fatma. Dan kalau nanti balik ke Jakarta, kalian telponan atau chat juga aku nggak akan tahu." Gara menyimpulkan Neva memang cemburu. Apa itu artinya gadis itu memiliki rasa padanya? Gara tak mau berspekulasi lebih, tapi ada rasa senang mengetahui anak mantan atasannya ini kemungkinan menaruh hati padanya. "Aku nggak memanfaatkan kesempatan, Neva. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama Fatma. Kalau nanti balik ke Jakarta, aku juga akan menghindari komunikasi dengannya. Kalau dia sekadar bertanya kabar, aku akan membalas. Aku pastikan tidak akan ada sesuatu yang lebih antara aku dan Fatma." Neva tak merespons, tapi dia sedikit lega meski hatinya masih galau tak menentu. "Nanti malam kita jalan-jalan ke kecamatan, yuk. Ada tempat mie ayam dan bakso yang terkenal enak dan ramai pengunjung. Kamu pasti suka. Kita naik motor ke sana. Hanya kita berdua." Neva menatap Gara tajam. Apa ini sama saja Gara mengajaknya kencan? Gadis itu mengangguk pelan. Gara pun tersenyum. Ia berjanji untuk lebih memerhatikan Neva dan mengajaknya jalan-jalan ke tempat wisata sebelum kembali ke Jakarta. ****** Malam setelah Isya, Gara benar-benar memenuhi janjinya. Ia mengajak Neva berkeliling kecamatan dengan motor dan akan mengajaknya ke warung mie ayam dan bakso yang cukup tenar di kecamatan. Sepanjang jalan Gara merasa cukup deg-degan, begitu juga dengan Neva. Neva semakin berdebar kala Gara menggenggam tangan gadis itu dan melingkarkannya di pinggangnya. Atmosfer terasa berbeda. Neva menetralisir kegugupannya meski kedua tangannya melingkar di pinggang Gara. Gara pun berusaha meminimalisir getaran yang mulai merambat. Sesekali satu tangannya menggenggam tangan Neva. Malam itu terasa begitu manis tatkala keduanya menyadari ada rasa yang bersemi. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD