Gara memasukkan koper ke dalam bagasi. Semua barang bawaan sudah dipastikan ada di dalam mobil, tidak ada yang tertinggal. Ia melirik Neva yang sudah rapi dengan t-shirt dan celana jeans. Kendati sudah tak memiliki banyak uang, nyatanya gadis itu masih tampak modis dan memukau.
"Sudah siap?" tanya Gara sembari mengerlingkan satu senyum manis.
Neva mengangguk. "Ya, sudah sangat siap." Senyum mengembang sempurna. Ia tak sabar berpetualang ke kampung halaman Gara.
Gara akan melewati jalan tol demi menghemat waktu. Rute yang diambil adalah tol Jakarta - Cikampek - Tol Cipali - Brebes - Wangon - Cilacap. Sebelumnya ia pernah mudik menyetir sendiri menggunakan mobil temannya. Karena itu, ia masih sangat hafal dengan jalur-jalurnya.
Sepanjang jalan diwarnai dengan percakapan-percakapan ringan hingga serius. Mereka juga sempat mampir ke rumah makan untuk mengisi perut. Gara yang mentraktir dan juga mengisi bensin. Terkadang Neva heran, dari mana Gara mendapatkan uang. Neva sadar, laki-laki di sebelahnya seperti kotak pandora. Banyak hal misterius yang belum ia tahu tentang Gara.
Perjalanan itu memakan waktu hingga tujuh jam. Gara memang santai dalam mengemudi dan mereka juga sempat beristirahat beberapa kali. Keduanya mengembuskan napas lega kala mereka tiba di tempat tujuan.
Neva terpesona dengan suasana desa Gara. Jauh dari pusat kota dan keramaian. Sawah hijau membentang di tepi jalan. Pepohonan juga masih asri dan tampak rindang. Belum lagi warga desa yang ramah dan murah senyum. Tetangga-tetangga Gara turut menyambut kedatangan Gara dan Neva dengan suka cita.
Neva menyukai rumah keluarga Gara yang tampak minimalis tapi begitu rapi dan bersih. Bunga-bunga bermekaran menambah indah nuansa asri di halaman. Tak kesulitan bagi Neva membaur dengan keluarga Gara yang hangat.
Dari obrolan santai itu, Neva baru mengetahui jika Gara memiliki toko sembako yang lokasinya ada di dekat pasar Kecamatan. Indra, adik Gara yang bertugas mengelola toko itu. Sedangkan adik bungsu Gara yang bernama Rinda, masih bersekolah di SMA.
"Nak Neva ayo dimakan makanannya. Maaf ya lauknya cuma seadanya, menu orang kampung." Ramini menyodorkan satu piring berisi ayam.
Neva tersenyum melihat menu yang terpampang di hadapannya. Ada ayam goreng, lalapan timun dan daun kemangi, tahu dan tempe goreng, sambal bawang, sayur asam. Semua adalah menu favoritnya.
"Ibu, Neva suka banget sama menu kayak gini. Ini udah enak banget. Neva jadi merepotkan Ibu." Neva mengambil satu ayam. Melihat Ramini, Neva teringat pada ibunya. Sebelum berselingkuh, Sang Ibu sama seperti Ramini, suka memasak untuk keluarga dan berhati lembut. Sejak berselingkuh, sifat ibunya berubah drastis. Ia bersedih setiap kali mengingat keluarganya yang kini berantakan.
"Sama sekali nggak merepotkan, Nak Neva. Ibu seneng Nak Neva mau main ke sini. Gara sering cerita tentang kebaikan keluarga Nak Neva." Ramini menyukai sikap Neva yang sopan dan apa adanya. Ia mengetahui semua yang terjadi pada keluarga Neva dari Gara dan ia turut prihatin. Ia mendoakan Neva agar tetap kuat menjalani segala kegetiran hidup.
"Neva memang ingin ikut ke kampung. Di sini tempatnya nyaman banget, Ibu. Jauh dari polusi, jauh dari suara bising kendaraan, dan masih ada sungai, masih banyak pohon, pokoknya tempat seperti ini yang sering Neva impikan bisa Neva kunjungi." Raut wajah Neva terlihat berseri. Ia menyukai kehangatan di rumah Gara. Ia menyukai acara makan bersama dengan duduk lesehan.
"Kalau Rinda malah penasaran pingin lihat kota besar, Kak Neva. Pingin main ke mall atau ke tempat mana saja. Kayaknya seru." Rinda, adik Gara ikut berkomentar. Ia sering melihat suasana kota besar dari internet dan televisi.
"Kapan-kapan kamu ikut ke Jakarta, yuk. Tapi jujur, Rinda, Kakak malah lebih suka pedesaan kayak gini. Lebih adem dan tenang. Mau menghirup udara segar juga nggak susah. Di kota besar, udara segar jadi sesuatu yang langka." Neva tersenyum. Ia menilai Rinda, Gara, dan Indra begitu beruntung karena dibesarkan di tempat yang masih asri dan jauh dari hingar bingar perkotaan.
"Iya sih, Kak. Rinda juga bayangin kalau di kota besar itu sering macet, sumpek, udah jarang banget ada areal persawahan, polusi juga ada di mana-mana," balas Rinda sembari membayangkan suasana kota besar yang selalu padat dan tak pernah tidur.
"Kapan-kapan deh nanti gantian kita yang main ke Jakarta, Rinda. Kalau Kakak kamu wisuda nanti, kita datang ke sana." Ramini tersenyum sembari melirik Gara.
Neva terkejut. Ia tak pernah tahu jika mantan supir pribadi keluarganya ini ternyata diam-diam tengah kuliah. Ia menatap Gara tajam.
"Kamu kuliah? Kok nggak pernah cerita?"
Gara menghela napas sejenak. Ia memang tidak pernah bercerita karena ia merasa tidak penting untuk diceritakan.
"Ya, Neva. Aku kuliah tiga kali seminggu dan malam kuliahnya. Alhamdulillah sudah semester akhir. Aku ambil kelas karyawan. Nggak semuanya tatap muka, ada yang online juga." Gara menjelaskan dengan tenang.
"Berarti waktu dulu kamu masih kerja di rumah, kamu udah kuliah, ya?"
Gara mengangguk. "Ya, Neva."
"Semoga semuanya lancar ya. Ibu pasti bangga banget sama Gara, ya?" Neva tersenyum melirik Ramini yang juga tersenyum menatap Neva dan Gara gantian.
"Ya, Ibu bangga sama Gara. Dari awal kuliah pun dia nggak pernah merepotkan Ibu. Dia dapat beasiswa. Dia bisa membagi waktu antara pekerjaan, pendidikan, dan perhatian dengan keluarga. Dia begitu bertanggung jawab pada kami." Sorot mata Ramini memancarkan kebanggaan luar biasa.
Diam-diam Neva memerhatikan Gara. Laki-laki itu memang penuh kejutan. Ia bukan supir biasa. Ia istimewa karena kebaikan dan perjuangannya. Ia anak yang berbakti pada orang tua, menyayangi keluarga, memiliki pandangan hidup yang bagus. Ia yakin ayah Gara yang telah menyia-nyiakan anak sebaik Gara akan menyesal jika dia masih hidup dan melihat bagaimana sosok anak yang dibuang ini telah tumbuh menjadi pria yang mandiri dan tangguh.
Saat Neva memusatkan pandangannya pada Gara, pemuda itu pun tak sengaja menoleh ke arah Neva. Dua pasang mata itu bertabrakan. Untuk sesaat Neva membeku. Wajah tampan dan mata elang Gara membuat gadis itu sedikit gelagapan. Ia menunduk meski sesekali masih mengangkat wajahnya dan mengamati laki-laki itu. Gara masih menatapnya dengan sedikit senyum. Neva semakin berdebar. Bagaimana bisa Gara mampu menggetarkan hatinya yang masih berusaha untuk sembuh pasca patah hati karena Andreas?
Malam ini Neva tidur di satu kamar yang sudah disiapkan Ramini. Neva suka dengan kondisi kamarnya yang tidak begitu luas, tapi bersih dan rapi. Kasurnya juga nyaman dengan sprei bercorak shabby chic warna pink muda. Ia merasa betah dan nyaman tinggal di rumah sederhana keluarga Gara.
Neva membuka tirai jendela. Ia menatap ke arah luar. Gara tengah berbincang dengan dua laki-laki di bangku panjang yang bertengger di halaman. Neva menduga dua laki-laki itu adalah teman Gara.
Neva semakin memerhatikan Gara lekat. Ia sadar, pemuda itu memiliki pesona tersendiri yang bahkan tidak dimiliki oleh Andreas. Buru-buru ia mengerjap. Ia yakinkan diri, bahwa ia hanya mengagumi Gara. Ia tak mau jatuh cinta pada laki-laki itu. Ia takut akan merasakan sakit kedua kali karena cinta. Saat ini, ia hanya ingin fokus kembali menatap hidupnya dan mencari pekerjaan.
******
Esoknya, Neva inisiatif membantu Ramini memasak. Dapur rumah Gara ada dua, satu dapur yang menyatu dengan rumah utama, satu lagi ada di belakang. Untuk dapur belakang ada tungku untuk memasak. Tungku tradisional ini disebut "pawon" di daerah Gara. Ini pertama kali bagi Neva melihat cara masak tradisional dengan menggunakan kayu bakar dan bahan bakar minyak. Ada asap yang mengepul. Ramini sengaja memasak nasi liwet di tungku agar cita rasanya lebih khas dan enak.
Neva membantu membersihkan sayur dan mengirisnya. Ramini tersenyum melihat antusiasme Neva, gadis kota yang dulu terbiasa hidup mewah, kini ikut memasuk di dapur dengan alat masak tradisional.
"Nak Neva terganggu tidak sama asapnya? Kalau terganggu, nggak apa nggak ikut masak," ucap Ramini lembut.
"Nggak kok, Bu. Neva seneng ikut masak, jadi tahu banyak tentang masakan dan bumbunya. Gara juga pinter masak, Bu. Dia belajar dari Ibu, ya?"
Ramini tertawa kecil. "Dari kecil dia memang terbiasa bantu Ibu. Laki-laki yang bisa masak itu punya nilai lebih. Kalau nanti dia menikah, dia bisa bantu istrinya. Apalagi jika istrinya sedang sakit atau habis melahirkan."
Neva tersenyum tipis. Ia membenarkan perkataan Ramini. Sesaat ia terpikir akan Gara. Laki-laki itu bertanggung jawab, punya pesona tersendiri, dan tidak neko-neko. Ia berpikir, wanita yang mendapatkan Gara pasti sangat beruntung.
"Neva, jalan-jalan ke sungai, yuk!" suara Gara mengagetkan Neva. Gadis itu melirik ke arah pemuda yang mengenakan kaos abu-abu dan celana santai. Mendadak Gara terlihat jauh lebih memesona dari biasanya, padahal ia hanya mengenakan pakaian santai.
"Iya sana jalan-jalan. Udara pagi seger banget dan banyak pemandangan bagus di desa." Ramini turut mendorong Neva untuk mengeksplor keindahan alam di kampung.
Neva pun tertarik menerima tawaran Gara. Ia membayangkan suasana sungai pasti begitu indah dengan air jernih yang mengalir dan pepohonan hijau di tepian sungai.
"Boleh, aku pingin lihat pemandangan indah di kampung ini." Neva tersenyum lebar.
Keduanya pun berjalan menuju sungai yang lokasinya tidak jauh dari rumah Gara. Di tepi sungai ada daratan perkebunan yang luas. Sebagian besar ditanami jagung, cabai, terong, kacang tanah, dan kacang panjang. Terlihat beberapa warga tengah memetik cabai, ada pula yang tengah mencangkul. Mereka menyapa Gara dan Neva dengan ramah. Begitu damai terasa, Neva berpikir kehidupan di kampung begitu ideal. Warga yang ramah dibarengi dengan keindahan alam adalah perpaduan yang sempurna.
Neva duduk di batu besar yang ada di tepi sungai. Kedua kakinya masuk ke dalam air dan ia gerakkan lembut. Air tampak bening dengan arus yang begitu tenang.
Gara duduk di batu lainnya yang bersebelahan dengan batu yang diduduki Neva.
"Indah banget pemandangannya, Gara. Pasti betah tinggal di sini, ya." Neva mengamati sekeliling. Ia hirup udara segar pelan-pelan, menikmati kesegaran yang jarang ia temukan di kota.
"Betah banget, Neva. Cuma aku harus kerja dan kuliah di kota. Tapi aku punya satu cita-cita, aku ingin habiskan masa senjaku di sini." Gara mengamati air bening yang membasahi kakinya.
"Menghabiskan masa senja bersama istrimu nanti?" Neva memicingkan matanya.
"Iya, pinginnya gitu," jawab Gara sembari melirik Neva sekilas.
"Kamu udah punya pacar?"
Pertanyaan Neva membuat Gara terkesiap. Gara menggeleng.
"Belum."
"Apa nggak ada cewek yang kamu suka?" tanya Neva lagi. Ia penasaran sosok perempuan seperti apa yang diidamkan Gara.
"Mas Gara, ya?"
Baik Neva maupun Gara terkejut mendengar suara seorang perempuan. Mata mereka beralih pada sosok wanita cantik berambut panjang dengan satu keranjang berisi kacang panjang di tangan kanannya.
Gara beranjak dari batu yang ia duduki. Ia tersenyum menatap gadis itu, dia adik kelasnya semasa SD dulu.
"Fatma? Kamu abis metik kacang panjang?"
Gadis bernama Fatma itu mengangguk. "Iya, Mas, lumayan buat dimasak nanti." Tatapan Fatma beralih pada sosok Neva yang mematung dan memandanginya.
Gara mengikuti arah mata Fatma yang tertuju pada Neva.
"Kenalin ini Neva, temen sekaligus anak dari atasanku di Jakarta."
Dua gadis itu saling melempar senyum. Fatma mengamati penampilan Neva yang terlihat cantik meski tak memoles wajahnya dengan make up. Neva juga memerhatikan penampilan Fatma yang tampak kalem dengan wajah manis natural dan kulit eksotisnya yang terawat. Gadis itu memiliki senyum manis, wajah cantik yang khas, dan postur tubuh ideal. Mendadak Neva berpikir jika Gara dan Fatma mungkin memiliki kisah yang spesial.
"Hai Neva, selamat datang di desa kami," sapa Fatma ramah. Ia menduga jika Neva mungkin memiliki hubungan spesial dengan Gara. Ada setitik kecemburuan, tapi ia segera menepisnya.
"Terima kasih, Fatma," sahut Neva dengan menyunggingkan satu senyum.
"Ya, udah aku pulang dulu, ya. Udah ditungguin Ibu di rumah."
Gara tersenyum. "Salam buat Bapak Ibu, ya."
Fatma tersenyum lembut lalu berbalik dan berjalan menjauh.
"Cantik ya, Gara. Dia teman kamu?" Neva masih mengamati derap langkah Fatma yang menjauh.
"Iya, Neva. Adik kelas waktu SD."
"Hanya teman?" Neva bertanya sekali lagi.
Gara terdiam sejenak. Rasanya ia tak bisa menutupi apa pun dari Neva.
"Dulu aku dan dia pernah saling menyukai. Hanya saja orang tua Fatma tidak setuju karena status sosial kami berbeda. Fatma dijodohkan dengan laki-laki lain. Yang aku dengar, pertunangannya putus karena cowoknya berselingkuh." Gara berusaha terbuka meski ada sedikit ketakutan jika Neva tak akan suka mendengarnya. Ia pun bingung, kenapa ia berpikir untuk menjaga perasaan Neva? Sedangkan mereka tak punya hubungan apa-apa.
"Oh ... dengan kata lain, dia mantan kamu, ya?" nada bicara Neva sudah terdengar sedikit ketus.
Gara hanya mengangguk.
Entah kenapa ada sesuatu yang retak di hati Neva. Ia tahu bukan haknya untuk merasa cemburu. Namun, ia tak dapat membohongi perasaannya. Ada setitik cemburu. Ada ketakutan Gara akan kembali pada Fatma, lalu melupakannya. Entah kenapa, ia ingin Gara selalu ada untuknya dan tak ikhlas jika laki-laki itu dekat dengan perempuan lain.
******