CHAPTER 2

1235 Words
Keduanya masuk ke dalam mobil Chevrolet Corvette biru miliknya. Selama perjalanan, Crystal tidak berhenti bernyanyi beberapa lagu anak-anak yang dia ketahui dan tanpa ragu mengajak ayahnya untuk bernyanyi pula. Seperti inilah kegiatan mereka berdua, bersenang-senang bersama, ke mana pun selalu berdua tanpa ada orang lain yang mengusik. Crystal lahir karena kesalahan satu malam yang ia lakukan bersama mantan kekasihnya, tapi karena wanita itu jalang sialan, dia menyerahkan Crystal padanya. "Daddy, hanya dua jam saja kan?" Tanya Crystal ketika mereka telah sampai di area universitas. Pria itu lekas mengangguk lalu ia mengamit tangan putrinya untuk segera masuk karena dia sudah terlambat. Untuk urusan yang lainnya, semuanya sudah selesai sejak satu Minggu yang lalu— ketika universitas masih libur, untungnya dia punya kenalan di tempat ini sehingga membuat urusannya menjadi mudah. Mereka berdua masuk ke sebuah ruangan khusus yang telah disiapkan. Ia meminta Crystal untuk menunggu sejenak karena dia mesti masuk ke kelas. Sebelumnya, dia menaruh tas milik Crystal lalu mengeluarkan semua mainan gadis kecil itu pun dengan semua camilan yang mereka bawa dari apartemen. Pria itu juga mengajari putrinya bermain ponsel agar dirinya mudah menghubungi Crystal setiap 10 menit sekali. Setelah mengecup kedua pipi bulat Crystal, ia pun segera beranjak dari sana. Di tutupnya pintu ruangan itu lalu dia berlari cepat menaiki tangga untuk segera masuk ke dalam kelas. Dia bukan tipe pengajar yang senang bermalas-malasan apalagi sampai membolos, hal-hal seperti itu tidak pernah ada dalam kamusnya. "Ah, ruang 3.4," Matanya menatap lega ke arah pintu kaca di hadapannya sebelum ia menekan tuas pintu itu dan melangkah ke dalam. Keadaan kelas yang tadi sangat ribut tiba-tiba berubah sunyi ketika dia masuk ke dalam kelas tersebut. Semua mata memandang ke arahnya dan tak jarang dari mereka malah sampai mengangakan bibir tidak percaya. Entah apa karena ketampanannya atau karena dirinya mengajar hari ini. Ia meletakkan tas kerjanya yang berisi beberapa buku materi pelajaran ke atas meja khusus profesor. Pria itu mengatur napasnya sebelum menatap serius ke arah semua mahasiswa yang duduk tegang di kursi mereka. "Morning class, namaku Eugene Christian Douglas dan aku akan mengajar kalian mulai hari ini, menggantikan posisi Professor McLaren di mata kuliah Principles of Management. Apa ada pertanyaan?" Sapanya. Tidak ada tanggapan yang berarti selama beberapa detik itu dan dia menganggap kalau mereka sudah paham. Tentu saja, mereka anak kuliahan kan? Mana mungkin masih tidak bisa memahami apa yang dia ucapkan. "Ada tiga peraturan di kelasku dan selama aku mengajar, aku tidak mau siapa pun yang melanggar peraturan. Yang pertama-" Christian berjalan ke meja depan, ia berhenti tepat di depan Mia yang sedang mengunyah permen karet. "Dilarang makan di kelas. Aku tidak mentolerir alasan apapun," Tegasnya. Mia terkesiap dan seketika ia membuang permen karet yang berada di mulutnya. Gadis itu duduk tegang karena rasa takut akan sikap mengintimidasi profesornya kali ini. Christian kembali berdiri di tempatnya. Dia membentuk simbol angka dua pada jarinya sebelum melanjutkan kalimat,"Tidak ada ponsel selama aku berada di sini. Fokus utama kalian berkuliah adalah belajar dan jika kalian sibuk dengan sesuatu yang lain, maka konsentrasi kalian akan terbagi." "Apa?! Tapi kenapa? Professor McLaren saja tidak memberikan peraturan semacam itu meski dia menyebalkan," Protes seorang gadis yang duduk di kursi depan. Christian menajamkan matanya ke arah gadis berambut coklat panjang itu, wajahnya tampak kesal karena peraturan yang dia buat, tapi itu tidak akan mengubah keputusannya. "Dan aku bukan Professor McLaren, Nona... Ah, siapa namamu?" "Queenie Anderson. Aku-" "Ya, Nona Anderson. Tidak ada bantahan dan kau harus mulai berhenti bermain ponsel saat profesor telah berada di dalam kelas." Queenie mengangakan bibirnya tidak percaya mendengar ucapan itu. Sangat otoriter sekali! Dia tidak suka sifatnya yang suka mengatur-atur seperti dia orang paling berkuasa. Oh, bodohnya dia. Christian adalah pengajar, tentu saja dia punya kuasa lebih. "Cih, menyebalkan sekali," Gumamnya. Christian melanjutkan kalimatnya,"Dan yang ketiga... Aku mau kalian bersikap jujur. Entah itu tentang kehadiran kalian di kelasku atau yang lainnya. Aku mengutamakan kejujuran kalian, jadi aku harap kalian bisa bekerja sama denganku selama kelas ini berlangsung. Apakah ada pertanyaan?" "No, Professor." "Good, let's get started then." Selama Christian mengajar, Queenie memfokuskan perhatiannya pada profesor baru itu. Untuk yang pertama kalinya dia benar-benar mendengarkan apa yang profesor katakan karena sebelumnya dia selalu bermain ponsel di bangku paling belakang. Oh, tidak. Bukan mata kuliah ini yang membuatnya memperhatikan, tapi dia lebih fokus melihat penampilan Christian yang sangat memenuhi kriteria pria idamannya. Tubuh tinggi, berotot, dan berwajah tampan. Astaga, Queenie sangat senang ketika melihat Christian melipat lengan kemejanya sehingga menampilkan bulu-bulu halus di lengan kekar profesor itu. Sialan, ketegangan seksual macam apa ini? Mendengar suara berat Christian saja sudah membuatnya hilang akal, apalagi jika pria pengatur itu sedang menciumnya, menjilat lehernya atau— "Nona Anderson?" Queenie terperanjat saat Christian memanggilnya. Wanita itu kelabakan dan membuatnya kikuk seketika apalagi mengetahui kalau seisi kelas tengah memperhatikannya. "A-Ada apa, Professor?" "Fokus. Sepertinya pikiran mu sedang tidak berada di tempat," Jawabnya tegas. Queenie mengelap keringat di dahinya dan tersenyum kaku. Kenapa Christian bisa menebak kalau saat ini dia sedang berpikiran jorok tentang mereka berdua? Sial! Sial! Dia tidak bisa berada di tempat ini lama-lama! Queenie mengerutkan dahinya karena dia selalu mendapati kalau Christian selalu menelepon setiap 10 atau 15 menit sekali. Wajahnya yang tadi dingin, tampak melunak setiap dia menelepon. Apa jangan-jangan dia ini pria beristri? Memikirkan itu, membuat Queenie sedikit merasakan kecewa. Beruntung sekali wanita yang pernah merasakan otot-otot Professor Douglas tersebut. Setelah hampir satu jam, kelas mereka pun selesai. Christian memberikan beberapa tugas yang mesti mereka kumpulkan di pertemuan berikutnya dan tahu tidak? Dia profesor pertama yang memberi tugas di hari pertama kuliah. Kenapa dia begitu taat peraturan sih? "Queen, dia profesor tampan ya?" Queenie yang sedang memasukkan barangnya kembali ke dalam tas lantas langsung menoleh ke arah Mia. Sahabatnya itu tampak terpesona dengan Christian Douglas. "Oh, ayolah Mia. Kau sudah punya pacar, apa itu tidak cukup?" Mia menyenggol lengan Queenie,"Kau tidak mengerti, ya? Professor Douglas itu tipe Daddy-Daddy yang sangat sempurna sekali. Aduh, rasanya aku ingin sekali menjadi baby nya." "Mia! Kau benar-benar menjijikkan," Queenie berdiri dari kursinya lalu menyelempangkan tasnya kembali. Dia melangkah lebih dulu karena sepertinya Mia masih sibuk tertawa-tawa tidak jelas lagipula setelah ini mereka berpisah. Mia mengulang mata kuliah semester kemarin dan Queenie mau ke perpustakaan untuk melanjutkan membaca novel mengenai kerajaan di abad ke-18. Jika mahasiswa lain pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi atau sekedar melakukan kelompok belajar, maka dia kebalikannya. Queenie lebih senang membaca novel roman dan tenggelam di dalam alurnya daripada menikmati materi perkuliahan yang membuat dia ingin muntah. Di tengah perjalanannya menuju perpustakaan, ia dikejutkan oleh suara tangisan seorang gadis kecil yang duduk menyudut ke dinding. Queenie menaikkan satu alisnya, dia mendekati gadis kecil itu dan berjongkok di depannya. "Hey, gadis kecil. Kau sedang apa di sini?" Tanyanya dengan suara lembut. Anak bermata gelap itu menatapnya sebelum menggeleng lemah,"A-Aku tersesat. Ta-tadi aku mau buang air kecil, tapi tidak tahu di mana." Queenie berdecak sedih mendengarnya,"Apa kau punya orangtua?" "Daddy sedang bekerja. Aku tidak tahu di mana." "Oh, ya?" Balasnya. Queenie mengusap dagunya bingung harus apa. Dia sudah bertanggung jawab pada gadis kecil ini dan tidak mungkin dirinya langsung meninggalkan dia sendirian. "Mau ikut denganku ke kantin? Kau pasti lapar." Perlahan gadis kecil itu mengangguk. Sebenarnya dia tidak lapar, tapi dirinya tidak mau ditinggal sendirian. Ia menerima uluran tangan Queenie lalu berjalan bersamanya. "Namamu siapa?" "Crystal, tapi Daddy sering memanggilku Crissy." "Nama yang cantik, Crissy. Ehm, namaku Queenie, kau boleh panggil aku dengan sebutan apapun," Balasnya sambil mengeluarkan cengirannya yang manis. Jika teman prianya yang melihat senyum Queenie, sudah dipastikan mereka pasti akan langsung meleleh. Crystal tersenyum lebar. Dia mengeratkan genggamannya di tangan Queenie karena hatinya merasa nyaman dan bahagia menerima kebaikan dari seorang perempuan yang tidak pernah dia dapatkan. "Boleh aku panggil kau dengan sebutan Mommy?" TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD