Menahan Diri

1009 Words
Pagi-pagi sekali, Nayanika sudah bangun dan membersihkan rumah. Mau ada tamu. Tidak enak, bila rumah berantakan dan untungnya saja, semalam ia tidur dengan sangat pulas. Makan yang banyak adalah kunci. Jadi ia tidak lagi terbangun di tengah malah karena kelaparan. Hanya saja, pagi ini ia sudah mulai lapar sekali. Jadi setelah merapikan rumah, ia cepat-cepat saja memasak dan makan sambil membuatkan sarapan untuk sang adik. "Kak?? Lagi apa??" tanya Mentari yang baru selesai melakukan persiapan untuk berangkat ke sekolah. "Hm??" Nayanika menoleh sambil menyuapkan makanan ke dalam mulut, dengan posisi berdiri dan kini sedang mengaduk-aduk wajan. "Bentar ya, Dek. Udah mau berangkat ya??" ucap Nayanika yang sesegera mungkin menyiapkan sarapan untuk adiknya itu. "Nah ini. Ayo makan dulu," perintah Nayanika. "Kakak makan juga di sini dong. Masa sambil berdiri sih??" protes Mentari. "Iya. Ini juga mau duduk kok. Kakak udah nggak tahan, laper banget tadi. Jadi buat telor ceplok dulu deh," ucap Nayanika yang kembali makan dengan lahap sekali. Semenjak hamil, ia malah jadi lebih rakus. Jadi sering ingin makan terus. "Kak?" panggil Mentari dan wanita yang sedang mengunyah suapan besarnya itu pun menoleh kepada sang adik. "Hm? Kenapa?? Kok nggak dimakan?? Masakan kakak nggak enak ya??" ucap Nayanika. Mentari menggeleng dengan perlahan. "Nggak kok, Kak. Masakan kakak enak. Enak banget malah. Tapi, kalau kakak capek, kakak bangunin Mentari aja ya?? Nanti Mentari bantu beres-beres kok. Kasian kakak, banyak banget yang harus dikerjain. Belum lagi cari uang juga. Pasti, kakak capek banget ya?" Nayanika menelan makanan di dalam mulutnya dan berucap dengan lemah lembut. "Nggak apa-apa kok, Dek. Kakak udah mulai terbiasa kok. Em, kamu belajar yang rajin aja ya?? Yang penting, kamu belajar yang rajin. Kamu juga kan jaga sama urusin Mama, dari mulai pulang sekolah. Kamu juga pasti capek kan. Udah biarin. Biar kakak yang urus kerjaan rumah. Yang penting, kamu sekolah yang pinter. Supaya jadi orang yang sukses," ucap Nayanika. "Mentari mau cepet-cepet lulus. Mau cari kerja juga. Mau kumpulin uang yang banyak, supaya kakak nggak perlu capek-capek lagi. Kita juga bisa sewa suster, buat urus Mama. Pokoknya, Mentari mau banyak uang, Kak," ucap Mentari dengan tekad serta semangat yang menggebu-gebu. "Ya makanya. Kalau mau jadi orang yang sukses, belajarnya harus rajin. Kalau kamu pintar, pasti dapet kerjaan yang enak. Tapi sekarang belajar dulu. Terus, makan juga sarapannya, supaya kamu konsentrasi belajar nanti," ucap Nayanika sembari tersenyum kepada sang adik. "Iya, Kak," balas Mentari yang saat ini melahap sarapan paginya dan kemudian pamit berangkat ke sekolah. Setelah Mentari pergi. Nayanika pun lanjut merapikan rumah lagi dan setelah pekerjaan rumahnya selesai. Nayanika terlihat duduk di sofa, sambil mengusap-usap perutnya yang terasa kram. Istirahat sebentar mungkin di sini. Supaya rasa kramnya menghilang atau setidaknya berkurang. Karena rasanya lumayan membuat tidak nyaman. Namun, Nayanika malah tidak sengaja terlelap di atas sofa. Ia kelelahan dan ia butuh istirahat ekstra, untuk membuat tubuhnya kembali segar dan juga bugar lagi. Sekeliling matanya pun sudah menghitam, yang menandakan bila dia kurang tidur dan tidak cukup istirahat. Sementara itu, laki-laki yang memang sudah ada janji bertemu, untuk melakukan terapi itupun datang ke rumah Nayanika, dengan berbekal lokasi yang sudah dikirimkan dari kemarin-kemarin. Mula-mula, Abiyaksa hanya memanggil dari luar pagar rumah saja. Akan tetapi, karena tidak kunjung ada jawaban juga, dia akhirnya memberanikan diri untuk masuk saja melalui pagar yang tidak terkunci rapi. Mungkin yang tadi tidak terdengar, makanya, harus memanggil dari jarak yang lebih dekat. Abiyaksa, pergi ke pintu rumah depan rumah dan saat hendak diketuk, pintu yang tidak tertutup rapat itupun malah terdorong, hingga memperlihatkan Nayanika, yang sedang terlelap di atas sofa. Bingung. Abiyaksa ingin memanggil, tapi sepertinya dia nyenyak sekali tidurnya. Kasihan dan tidak mau mengganggu. Jadi, Abiyaksa pun memilih untuk menunggu di luar sampai rumah saja, sampai wanita yang tengah terlelap itu, bangun dengan sendirinya nanti. Abiyaksa mengusap wajahnya sendiri. Sudah hampir pukul sebelas siang sekarang. Dan Nayanika akhirnya terbangun juga. Nayanika pun bangkit dan duduk di atas sofa, lalu segera melihat ke arah jam pada dinding dan terkaget-kaget, sambil buru-buru mengambil ponselnya yang berada di kamar. Tidak ada panggilan yang masuk pada layar ponselnya itu. Nayanika pun kini berusaha untuk menghubungi nomor Abiyaksa saja dan saat telepon sudah mulai terhubung, Nayanika pun mulai bicara seperti tanpa jeda. "Mas?? Eh, dok! Jadi ke sini nggak ya?? Ini udah mau jam sebelas! Aku nggak liat-liat jam! Nggak taunya udah jam segini!" seru Nayanika. "Kamu sudah bangun?" tanya laki-laki yang sedang melakukan panggilan telepon bersamanya. "Iya, dok. Maaf, saya ketiduran tadi. Dokter jadi ke sini nggak ya??" "Jadi. Ini, saya ada di luar. Saya menunggu kamu dari tadi di luar sini," ucap Abiyaksa dan Nayanika pun terburu-buru keluar rumah, sebelum sempat matikan ponselnya. Benar saja. Ternyata, memang ada di luar dan sudah datang, entah dari pukul berapa. Nayanika mengakhiri panggilan telepon dan mendatangi pria, yang sedang berdiri di sana itu. Dia melangkah ragu dan sempat merapikan rambutnya dulu, yang pasti acak-acakan, karena dia yang baru saja bangun. "Maaf ya, dok. Saya nggak tahu kalau dokter udah datang. Datang jam berapa, dok?? Kenapa nggak bangunin saya aja tadi?" "Kasihan kamu. Kayaknya, kamu kecapekan sekali. Jadi, saya menunggu saja sampai kamu bangun. Oh iya, apa bisa bertemu ibu sekarang?? Kebetulan, jadwal praktek saya jam dua siang ini." "Oh, iya iya, ayo dok silahkan masuk," ucap Nayanika yang langsung membawa Abiyaksa ke dalam rumah. Sang ibunda pun segera ditangani di sana. Sementara Nayanika hanya memperhatikan, setiap hal yang Abiyaksa lakukan. Memandanginya terus menerus dan juga lekat-lekat, sembari dengan memegangi perutnya sendiri. Seperti ada rasa yang menggelitik di perutnya ini, saat berada dekat dengan pria yang tengah berusaha untuk mengobati ibunya itu. Apa mungkin, ikatan batin antara anak dan juga ayahnya?? Nayanika menggeleng dengan mata yang terpejam sejenak. Ia sedang membuang jauh-jauh, segala hal yang tiba-tiba saja malah ia sangkut pautkan kepada pria yang satu ini. Harus bisa menahan diri, agar tidak akan ada rahasia yang akan terbongkar nantinya. Sudah janji, untuk tetap tutup mulut dan menutup rapat rahasia mereka, sampai kapanpun juga. Jadi, tidak boleh memikirkan hal yang lain, selain kesembuhan ibunya saja. Karena memang, hal itulah yang membuatnya ada di sini. Bukan karena anak mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD