"Mas Abiyaksa??" tanya Meisya dengan raut wajah yang terlihat datar. Tapi sebenarnya di dalam hati, ia sudah mulai ketar ketir sendiri. "Itu punyanya Mas Abi suamiku bukan, Nay???" tanya Meisya lagi dan lebih melakukan penekanan.
Tetapi pertanyaan itu, malah terdengar konyol, di indra pendengaran Nayanika. Karena memangnya, siapa lagi laki-laki yang menyentuhnya?? Dia bukanlah perempuan, yang senang mengobral diri kepada laki-laki, kalau bukan karena diminta dan terpaksa, dia juga tidak mau melakukannya.
"Iya. Ini punya suami kamu," ucap Nayanika yang tetap berpaling muka.
Meisya buru-buru mengambil tasnya yang berada di kursi belakang. Ia buka resleting tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat nan tebal, yang langsung ia lemparkan ke atas pangkuan Nayanika.
"Gugurin!" perintah Meisya, hampir berbarengan dengan amplop cokelat berisi uang, yang ia lemparkan tadi.
Kini, Nayanika pun baru berani memutar kepalanya dan menatap sahabatnya, Meisya.
"Ha? Gimana?" tanya Nayanika.
"Gugurin anak itu, Nay! Jangan kamu biarin dia lahir! Gugurin dari sekarang juga!!" pekik Meisya, sampai tatapan ngeri itu, Nayanika tujukan untuk sahabatnya ini.
"Kenapa?? Kenapa aku harus lakukan itu??" tanya Nayanika.
"Kenapa?? Kamu tanya kenapa??? Jangan tinggalkan jejak apapun! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu, kalau kamu itu pernah tidur dengan dia dan lagi mengandung anaknya!!" seru Meisya, dengan amat sangat menggebu-gebu. Dia yang memulai permainan ini dan sekarang, dia juga yang panik sendiri.
Meisya kira, Nayanika akan mengambil uang yang ia berikan. Namun, hal yang selanjutnya terjadi, malah membuat Meisya semakin tidak habis pikir jadinya.
Amplop cokelat yang berisi uang tadi, kini malah ditaruh pada dashboard mobil, lalu diikuti dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Nayanika juga.
"Aku nggak bisa terima itu," ucap Nayanika dan Meisya pun sontak tersenyum masam.
"Kenapa?? Kurang??? Mau berapa emangnya hm?? Aku tambah lagi nanti. Atau sekarang juga aku tarik di Bank, terus aku kasih ke kamu!"
"Aku nggak mau. Aku... Aku nggak mau gugurin anak ini," ucap Nayanika sembari memegangi perut, dengan kedua telapak tangannya itu.
Kedua bola mata Meisya seakan-akan keluar. Ia tidak suka. Ia tidak menyangka, bila Nayanika menolak uang yang dia berikan. Bahkan, dia juga malah berusaha keluar dari mobilnya juga.
Apa wanita ini sudah gila???
"Gugurin gue bilang, Nay!!" paksa Meisya bahkan hampir sambil memekik kencang.
"Ini anak aku, Mei. Kamu nggak berhak atur-atur hidupnya. Karena aku yang mengandung dia. Dia anakku. Bukan anak kamu!" tegas Nayanika. Ia sadar, bila semua ini salah. Ini semua termasuk ke dalam kesalahannya juga. Akan tetapi, ia tidak mau mengorbankan nyawa, yang bahkan tidak tahu apa-apa. Anak ini tidaklah berdosa. Dia berhak dilahirkan, biar tanpa seorang ayah. Ada ia ibunya. Ada ia, yang akan melakukan hal apapun, untuk melindungi dan membesarkan anak ini. Biarpun pasti tak akan mudah.
Meisya mengambil amplop Cokelat yang Nayanika simpan di dashboard mobilnya, lalu melemparkannya lagi kepada Nayanika. "Ambil! Pake! Cari dokter kandungan atau dukun beranak kek! Yang pasti, gue mau itu anak ilang dari perut lo!! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu!! Jangan sampai dia tahu, lo itu pernah ngandung anaknya dia!!" pekik Meisya dengan teramat frustasi.
Nayanika mengembuskan nafas. Ia lemparkan lagi amplop tebal itu ke dashboard mobil, lalu kemudian keluar dari mobil tersebut.
"Nay!! Lo mau kemana!!? Ambil uangnya gua bilang!! Ambil ini, Nay!!!" seru Meisya pada Nayanika , yang sudah kembali menaiki motor matic-nya lagi. Ia gunakan helm-nya dan melaju pergi, tanpa peduli dengan teriakan Meisya kepadanya.
Nayanika, menarik dan mengembuskan nafas di sepanjang perjalanannya. Air bening di pelupuk mata, terasa ingin keluar. Tapi, ia tahan sendiri. Ia kuatkan hati. Ia kuatkan pikirannya. Demi ibu, adik dan sekarang ditambah satu calon anggota baru, yang masih ada di dalam rahimnya kini.
Nayanika memberhentikan motornya di area parkir cafe. Ia lepaskan helm dan ia masuk ke dalam cafe, dimana tempatnya mencari nafkah. Biarpun sedikit pusing maupun masih ada rasa mualnya juga, Nayanika tahan itu semua. Ia bisa. Ia sanggup untuk menjalani hidupnya yang terasa berat.
Sebenarnya butuh pundak. Butuh sandaran. Tapi ia tidaklah memiliki tempat itu. Hatinya kosong dan hampa. Di dalam kepalanya hanyalah tertanam soal pekerjaan dan uang. Bila ada uang, hidup akan terasa lebih mudah. Ia tidak akan bingung maupun takut kekurangan. Ada tiga orang yang harus dinafkahi, ia harus perkuat lagi pundaknya. Ia tak boleh menyerah di sini. Biar berat. Ia pasti bisa lalui semua ini. Ia yakin akan hal itu. Ia yakin, setiap pengorbanan yang ia lakukan tidaklah sia-sia, apa lagi, itu bagi orang-orang yang dicintainya.
"Nay, lap dulu semua meja ya?? Cepetan. Kita udah mau buka lima menit lagi," ucap Annisa, yang langsung memberikan lap, saat Nayanika baru selesai mengganti seragamnya.
Nayanika termenung sesaat. Ia perhatikan meja-meja yang berjajar rapi dan satu persatu harus ia bersihkan, dalam waktu lima menit??
Tidak ada banyak waktu. Nayanika mulai dari meja yang terdekat. Ia lap dengan cepat. Hingga peluh sebesar biji jagung, sudah mulai bertebaran di dahinya. Tapi hanya ia usap dengan punggung tangannya saja.
Dengan napas yang terengah-engah, meja terakhir sudah selesai di lap dan untungnya, belum ada pelanggan yang datang. Nayanika pergi ke belakang untuk minum dulu. Harus cukup air putih. Agar tidak lemas dan agar tidak pingsan mendadak di tempat kerja. Jam kerja masih lama dan perjuangannya pun masih lah panjang.
Malamnya setelah sampai di rumah kembali. Nayanika menyantap makanan biarpun sambil merasakan mual. Ia harus makan demi anaknya. Biar sedang tidak nafsu pun, ia harus tetap mengisi perut dan meminum vitaminnya juga.
Beberapa macam vitamin sudah berada di genggaman tangannya. Sekarang, ia masukkan ke dalam mulutnya sekaligus dan kemudian ia dorong dengan segelas air putih.
Nayanika yang sedang duduk di kursi dapur itupun, nampak menyentuh area perutnya sendiri. Begah dan tidak terasa benjolan perutnya, karena memang usia kandungannya masihlah muda. Bagaimana, kalau perutnya membesar nanti?? Pasti, akan sulit ditutupi. Akan susah bekerja dan akan bagaimana juga ke depannya nanti??
Ah semua itu membuatnya pusing. Belum lagi, Meisya malah menyuruhnya untuk menggugurkan anak ini. Dia pasti takut ketahuan. Padahal santai saja. Kalaupun mau, ia pasti sudah mengatakan hal ini kepada suaminya itu kemarin. Tapi tidak ia lakukan kan??
Nafas berembus dengan lumayan panjang dari mulut Nayanika. Rasanya jadi tidak menentu. Tidak masalah menjadi ibu tunggal. Tapi yang jadi masalahnya, bagaimana bila saat anaknya besar nanti, dia malah bertanya tentang ayahnya?? Apa yang harus ia katakan?? Tidak mungkin memberitahukan siapa ayahnya. Karena kenyataannya, dia adalah suami orang.
Nayanika menghela nafas dengan sangat panjang dan pergi untuk mencuci piring. Lalu setelahnya pergi tidur. Karena besok, adalah jadwalnya ia mengantarkan sang ibu, untuk pemeriksaan rutin di rumah sakit.
Keesokan harinya.
Nayanika mengantarkan sang ibu untuk melakukan serangkaian pengobatan ke dokter bedah syaraf, demi mengobati penyakit stroke yang dideritanya. Untung saja, masih banyak uang tersisa. Jadi, Nayanika tidak perlu lagi merasa pusing, karena harus mencari-cari uang kesana kemari. Namun begitu, bukan juga menjadi alasannya untuk bermalas-malasan. Ia tetap berusaha untuk bekerja juga. Karena uang sebanyak apapun pasti akan habis ujung-ujungnya. Jadi tetap harus menghasilkan uang, biarpun masih ada pegangan uang.
Nayanika, terlihat menunggu di depan ruangan fisioterapi. Menunggu dokter yang biasanya menangani ibunya ini datang. Hanya berduaan saja dengan sang ibu, karena adiknya yang duduk di bangku sekolah menengah atas tingkat pertama, masih belum pulang sekolah juga.
Nayanika menatap sang ibu dan kemudian menghela napas lelah. Lalu ia lihat ke depan lagi dan dilihatlah, sesosok laki-laki, yang tengah berjalan dengan menggunakan jas berwarna putih dan rambut yang di sisir dengan rapi.
Tegukan saliva dibuat oleh Nayanika, yang sambil memalingkan wajahnya, saat laki-laki itu sempat menoleh dan menatap dirinya. Jantungnya bergemuruh dengan sangat kencang, seolah-olah tengah berusaha untuk mendobrak tulang rusuknya ini.
Tidak tahu kemana perginya. Tetapi, saat gilirannya dipanggil dan Nayanika mendorong ibunya masuk ke dalam ruangan tersebut. Laki-laki yang sempat dilihat olehnya saat berada di luar tadi, kini malah sedang duduk pada sebuah kursi, yang biasanya dokternya duduki.
"Ayo, silahkan duduk," perintah laki-laki itu kepada Nayanika, yang hanya tertegun sambil berdiri saja.
Kenapa, malah dia yang ada di sini??? Apakah ia salah jadwal ??? Harusnya, Dokter Emil kan sekarang?? Tapi kenapa, yang duduk di sana itu malah laki-laki yang itu??? Laki-laki yang merupakan suami temannya dan sekaligus, ayah dari anak yang sedang dikandungnya sekarang ini??