Tiga Puluh Enam

1055 Words
*Author Pov* Seorang pemuda berjalan menuju lapangan olahraga indoor yang cukup besar sambil menenteng tas nya. Wajah tampannya tertutup oleh ekpresi dingin dari sang empunya wajah. "Woi Put, baru dateng lo?" Pemuda bernama Putra itu berdecak saat salah satu temannya menyapa dirinya. "Nama gw itu Putra bukan Put." jawab Putra kesal. Ia memang selalu kesal jika ada seseorang yang memanggilnya hanya dengan 'Put', Putra bilang nama panggilan nya itu seperti anak perempuan. "Kan emang nama lo Putra anjir, terus gw harus manggil lo apa kalau gak boleh manggil 'Put'?" Putra tidak menjawabnya, ia hanya berlalu meninggalkan temannya untuk menaruh tas yang sedari tadi ia bawa dan menaruhnya di atas bangku. "Ngomong-ngomong lo udah ketemu temen lo yang waktu itu lagi?" tanya Ijal. "Temen yang mana maksud lo?" "Yang waktu itu ketemu dan marah-marah sama lo." "Bukan urusan lo." Ijal mendengus geli mendengar jawaban dingin dari temannya itu. Walaupun mereka berada di dalam tim yang sama, tetapi baik Ijal ataupun Putra tidak pernah berusaha untuk saling dekat selayaknya teman se tim. Mereka berdua cenderung saling memalingkan wajah di luar jam latihan atau pertandingan. Meskipun begitu mereka selalu bisa bekerjasama dengan baik dalam permainan sepak takraw. "Gw gak pernah ngerti sama lo, Tra." kata Ijal sembil berlalu dari hadapan Putra. Selesai berganti baju, Putra juga anggota tim Bulan Biru segera melakukan pemanasan sebelum memulai latihan. Mereka berlari lima putaran mengelilingi lapangan olahraga indoor. Suara teriakan semangat saat melakukan pemanasan mulai terdengar dari mulut-mulut anggota tim. Sedangkan Putra hanya berlari dalam diam tanpa ikut menyuarakan semangat nya. Setelah menyelesaikan lima putaran, mereka lanjut melakukan pemanasan menendang bola sepak takraw dengan cara memasang kan dua anggota. Saat itu Putra berpasangan dengan Ijal. Tidak seperti anggota yang lain, melakukan pemanasan menendang bola sambil bercanda atau mengobrol satu sama lain, Putra dan Ijal melakukan pemanasan itu dalam diam. Walaupun tidak diam-diam sekali karena beberapa kali Ijal mencoba mengobrol dengan Putra tetapi tanggapan Putra seperti anak perempuan yang sedang ngambek. Apapun yang Ijal katakan atau mencoba mengobrol hanya di jawab dengan anggukan atau hanya sekedar kata 'Hmm', 'tidak tahu' atau tidak di jawab sama sekali. Kesal? tentu saja, memang siapa yang tidak akan kesal di perlakuan seperti itu terlebih dengan orang yang menjadi rekan satu tim mu. Meskipun pelatih tidak pernah komplain atau menegur mereka karena mereka selalu bisa bekerjasama dengan baik saat permainan, tetap saja Ijal merasa jika mereka harus dekat. Yah, setidaknya memiliki hubungan yang cukup baik. Ijal dan Putra selain satu tim dalam sepak takraw, mereka juga teman sekelas. Tak jarang mereka pun satu kelompok dalam mengerjakan tugas. Putra memang pada dasarnya cukup pendiam tetapi akhir-akhir ini, ia jauh lebih pendiam dan sinis daripada sebelumnya, lebih tepatnya Putra seperti itu setelah bertemu dengan temannya. Ijal akui jika mereka ia salah karena sudah memprovokasi keadaan tapi ia tidak menyangka menjadi seperti ini. "Tra, untuk pertandingan penyisihan nanti lo beneran gak main?" tanya Ijal sambil menendang bola pada Putra. Putra menganggukkan kepalanya, "Pelatih bilang selama babak penyisihan yang bakal turun adalah anak-anak kelas tiga juga beberapa anak kelas satu yang baru bergabung." Beberapa waktu lalu pelatih mereka memang sudah berkata seperti itu, untuk di babak penyisihan pertama, yang akan bermain adalah anak-anak kelas tiga juga anak kelas satu. Ijal, Putra dan beberapa pemain inti yang biasanya turun akan duduk di bangku cadangan. Alasannya? pelatih bilang walaupun mereka hanya menerjunkan anak-anak kelas satu yang baru saja bergabung dengan tim, mereka pasti dengan mudah untuk menang. Terdengar besar kepala namun tidak bisa di bantah. Saat itu Ijal mengatakan jika ia ingin ikut bermain di babak penyisihan, karena bagaimana pun bukankah tidak boleh meremehkan musuh? Tetapi pelati menolak dan tetap memutuskan menurunkan anak-anak kelas tiga dan anak kelas satu. Suara pluit terdengar, Ijal, Putra dan anggota tim yang sedang melakukan pemanasan lempar tangkap bola takraw pun menghentikan kegiatan mereka dan berkumpul di sekitar pelatih. "Tim yang di terima dalam pertandingan olahraga nasional antar sekolah sudah di bagikan." ucap Pelatih sembari melambaikan kertas di tangannya. Ia kemudian membacakan nama-nama tim yang akan menjadi lawan kami di pertandingan nanti. "Tim yang lolos ada, Tiget, White Lily, Singa Jambrong, dan beberapa tim lainnya. Sepertinya kali ini kita kedatangan tim yang baru saja terbentuk selain White Lily, yaitu Harimau Putih." Putra mengepalkan tangannya saat mendengar nama tim Harimau Putih di sebut. Pelatih mereka kembali berkata, "Yah, mau siapapun lawan kita, kita pasti bisa memenangkan nya dengan mudah. Saya rasa kita juga tidak perlu terlalu memikirkan tim baru itu. Karena babak penyisihan akan di mulai sebentar lagi, saya akan melatih anak kelas satu lebih keras. Bersiap lah kalian. * Putra melemparkan tas nya ke atas kasur begitu ia tiba di kamar, ia lalu membaringkan tubuh nya di sana. Putra menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan pertemuannya dengan Rio beberapa waktu lalu. "Bang, abang jadi anterin adek latihan kan?" Adik laki-laki Putra tiba-tiba datang ke kamar dan menanyakan hal itu padanya. Pemuda itu pun bangun dan berjalan mendekati adiknya lalu mengacak-acak rambut adik laki-laki nya itu sambil tertawa lebar. "Iya dong, pasti kakak anterin. Adek siap-siap aja dulu, abang istirahat sebentar, ok?" Bocah kecil itu mengangguk semangat dan pergi ke kamarnya sendiri untuk bersiap. Dari arah tangga, ibu Putra tersenyum melihat tingkah kedua anak laki-laki nya itu. "Maaf ya, kamu jadi sering anter jemput adik kamu. Padahal kamu pasti capek." ucapnya lembut sambil mengelus pundak putra sulungnya itu. Putra tersenyum kecil pada ibunya, "Gak apa-apa, bu. Kan Putra abangnya, jadi kewajiban Putra untuk mengantar jemput adek, lagian tempatnya gak begitu jauh kok." "Ya udah, sekarang kamu istirahat dulu. Ganti baju terus makan. Ibu udah siapin masakan kesukaan kamu." "Oke bu." Putra kembali menutup pintu kamarnya setelah sang ibu pergi ke kamar adiknya untuk membantu adik kecilnya itu bersiap-siap. Semenjak ayahnya pergi meninggalkan ibunya demi wanita lain, Putra lah yang langsung mengambil alih semua kewajiban sang ayah. Ia tidak sudi menganggap pria itu sebagai ayahnya lagi. Karena itu setiap malam ia bekerja paruh waktu di sebuah supermarket, masalah ini pula lah yang membuatnya harus meninggalkan Rio juga Haqi. Entah apakah ia akan bisa mengatakan hal yang sejujurnya atau tidak. Putra menghembuskan napasnya, ia bangun dari kasur lalu mengambil handuk dan pakaian bersih dari lemari bajunya, ia pun keluar dari dalam kamar dan masuk ke kamar mandi yang berada tepat di sebelah kamarnya untuk membersihkan diri. Sebaiknya aku berhenti memikirkan hal ini sekarang juga. Pikirnya saat air dingin itu mulai membasahi tubuhnya. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD