Aku berjalan ke ruang makan dengan malas, bagaimana tidak, PR yang di berikan sudah mulai banyak di tambah latihan sepak takraw akan segera di mulia. Apalagi Rio bilang khusus untuk ku akan di latih langsung oleh nya sembari menunggu pelatih yang sebenarnya datang.
"Kenapa muka kamu di tekuk gitu?" tanya mamah sembari menaruh sepiring nasi goreng dengan telor ceplok di atasnya.
"Juna masih ngantuk." jawab ku alakadarnya.
"Makanya jangan begadang. Kamu itu udah SMA, kurang-kurangin main game nya."
Mulai deh ceramahnya.
Aku hanya mendengarkan omelan mamah tanpa menjawab apapun, karena kalau aku menjawab sedikit saja pasti akan bertambah panjang isi ceramah yang akan di keluar kan oleh Baginda Ratu satu ini.
"Kamu denger Mamah gak sih?"
"Denger kok, Mah."
"Terus kenapa gak jawab?"
Kan, jawab salah, ga jawab juga salah.
"Kan Juna lagi makan, Mamah bilang kalau lagi makan di larang ngobrol." elak ku dengan cepat.
Mamah hanya menjewer kuping ku dengan gemas.
"Mbak sama Papah mana?" tanya ku yang masih tidak melihat mereka datang untuk sarapan.
"Papah sama Mbak mu udah pergi dari tadi. Papah ada meeting dadakan sementara Mbak mu di jemput temannya untuk survey tempat."
Aku hanya mengangguk kan kepalaku pelan sambil terus menghabiskan sisa nasi goreng yang tinggal setengah nya.
Suara dering ponselku berbunyi nyaring, aku melihat nama Haikal di sana.
"Ngapa nih anak pagi-pagi udah nelpon. Halo?"
"Lo udah berangkat?"
"Gue masih di rumah, baru kelar sarapan. Ngapa?"
"Jemput gue dong, rumah gue kan searah mau ke sekolah."
"Ngapain anjir gue jemput lo? ogah gue."
"Plis, Jun. Motor gue di pake kabur abang gue nih."
Aku mendengus kesal, "Iye iye, gue jemput. Tapi lo ganti uang bensin ye."
"Iya beres."
Aku kembali memasukkan ponselku ku ke dalam saku celana dan bersiap untuk berangkat.
"Siapa tadi yang telpon, Jun?"
"Haikal, Mah. Minta di jemput, soalnya motornya di bawa kabur abangnya."
"Di bawa kabur? ada-ada aja. Ya udah, kamu mau berangkat sekarang?"
Aku mengangguk sambil menenteng tas ku yang lumayan berat dengan buku-buku di dalamnya yang cukup banyak.
"Iya. Juna berangkat dulu ya, Assalamu'alaikum." pamit ku sambil mengecup punggung tangan Mamah dan bergegas pergi dengan motor kesayangan ku.
Rumah ku dengan rumah Haikal memang searah walaupun agak sedikit jauh. Begitu hampir sampai ternyata Haikal sudah menunggu di depan rumahnya sehingga kami bisa segera berangkat ke sekolah.
"Jun, gue duluan ya? kakak kelas gue minta gue ke lapangan basket bentar sebelum jam masuk nih."
"Oke."
Setelah memarkirkan motor ku dengan sangat aman, aku mulai berjalan menuju kelas ku. Di sepanjang koridor sekolah sudah mulai ramai anak-anak yang datang, bahkan suara-suara gaduh dari kelas yang aku lewati pun mulai terdengar nyaring.
"Yo, Jun! Tumben lo gak telat?" sapa Anto.
"Sori gue gak pernah telat ya." jawab ku sambil nyengir lebar.
Aku kembali berjalan menuju kelas yang hanya tinggal beberapa jarak langkah lagi sebelum seorang perempuan menabrak ku dari belakang.
"Woi, jalan hati-hati dong!" kataku cukup keras sambil mengusap bahu ku yang lumayan nyeri karena di tabrak tadi.
"Maaf, gue gak sengaja. Tadi gue ke sandung tali sepatu gue yang lepas."
Aku berdecak pelan. Perempuan yang tadi menabrak nya langsung menunduk untuk mengikat tali sepatu nya.
"Lain kali ikat tali sepatu nya yang kenceng biar gak nabrak-nabrak orang." kataku lalu beranjak pergi dari sana.
Begitu masuk ke dalam kelas ternyata Haikal sudah duduk di kursinya.
Kampret nih anak, tahu gitu tadi gue titip tas sekalian.
"Woi, katanya lo di suruh ke lapangan basket. Kok udah di kelas aja sih?" tanya ku sambil menaruh tas milik ku di atas meja.
"Udah, gue cuma di titipin kunci ruang klub aja ternyata."
"Tau lo cuma bentar, gue titip tas tadi."
Aku pun duduk di samping Haikal, aku melirik Ridho yang duduk di belakang ku sedang menyalin buku, "Ngerjain apaan lo?"
"PR Matik."
"PR itu kerjain di rumah, bukan di sekolah ege."
"Bacot lo."
Aku hanya tertawa, lalu tiba-tiba aku melihat perempuan yang tadi menabrak nya berjalan terburu-buru melewati kelas Juna.
"Jun, baliknya gue nebeng lagi ya?"
Aku melirik Haikal yang sedang mengeluarkan bukunya dari dalam tas.
"Gak masalah asal ada uang bensin."
"Siap. Eh, tapi emang lo gak ada latihan sepak takraw?"
Aku menepuk jidat ku, "Oh iya! untung lo ingetin, eh salah, duuh kok lo ingetin sih!"
"Masih gak rela lo masuk klub itu?"
Aku mengangkat bahu ku, "Sorry ya gue gak bisa nebengin lo."
"Sans, nanti gue minta tebengan anak-anak yang lain aja."
*
Bel pelajaran pun berakhir, semua murid di kelas langsung membereskan buku-buku mereka, begitu pun dengan ku. Tadi di tengah pelajaran, Rio sudah spam chat untuk mengingat kan ku kalau latihan sepak takraw akan di mulai hari ini.
"Kal, gue duluan ya. Udah di tunggu sama si tukang drama nih."
"Tukang drama?"
"Rio." jawab ku singkat.
"Oh, okay. Gud lak brader!"
Aku pun bergegas pergi meninggalkan kelas menuju lapangan indoor yang ada di ujung gedung. Begitu sampai di sana sudah ada Rio dan Kak Haqi, namun langkah Juna berhenti saat melihat sosok asing yang sedang berbicara dengan Kak Haqi.
"Yo, Jun! akhirnya dateng juga." sapa Rio dengan semangat.
Haqi juga perempuan itu pun menoleh bersamaan.
"Oh iya, selain kau dan Radi, ada satu lagi yang akan bergabung dengan kita. Riri kemarilah!"
Perempuan bernama Riri pun berjalan dengan semangat dan berdiri di samping Rio sambil tersenyum lebar.
"Dia Riri yang akan menjadi manajer klub kita. Dia adik ku."
"Eh? adik mu? adik kandung?"
Rio tertawa terbahak. "Tentu saja adik kandung! Nah selama menunggu Radi datang kalian bisa saling mengobrol dulu. Aku akan mengambil perlengkapan untuk latihan kita, ayo Qi bantuin gue."
Haqi mengangguk lalu mereka berdua pun pergi meninggalkan aku dan Riri.
Aku melemparkan tas ku di pojok ruangan yang tidak terlalu jauh dari net yang sudah di pasang lebih dulu oleh Rio dan Kak Haqi.
"Ngomong-ngomong lo di paksa juga untuk gabung di klub ini?" tanya ku membuka obrolan.
"Enggak, gue mengajukan sendiri kok."
"Jadi lo juga penikmat sepak takraw?"
Riri mengangguk semangat, "Tentu! Begitu Rio mengajak ku pertama kali menonton sepak takraw, aku langsung jatuh hati!" jawabnya tidak kalah semangat dari anggukan nya tadi.
"Kau sendiri?" tanya Riri penasaran.
Aku menggaruk leher belakang ku dengan canggung.
"Sejujurnya aku sama sekali tidak tahu tentang sepak takraw."
"Sama sekali tidak tahu?"
Aku mengangguk yakin. "Sama sekali tidak tahu. Tiba-tiba saja kakak mu mengajak ku untuk bergabung bersama klubnya. Tadinya aku menolak dengan sangat, tapi kakak mu itu tidak juga menyerah. Sampai akhirnya teman ku menyarankan untuk bergabung sementara. Jika selama sebulan ini aku suka dengan klub ini, aku akan meneruskan nya dengan senang hati, tapi jika menurut ku tidak, aku akan keluar. Lalu akhirnya aku mengiyakan ajakan kakak mu, tentu saja dengan syarat yang kuberikan itu.
"Rio menyetujui syarat mu itu?"
Aku mengangguk. "Iya, Rio setuju."
Riri menatap ku dengan semangat membara di kedua matanya yang entah kenapa membuatku sedikit takut.
"Kalau begitu aku akan membantu Rio agar kau tertarik- tidak, agar kau jatuh cinta dengan sepak takraw!" ujarnya dengan menggebu-gebu.
Alasiah.....
*