Eps. 9 Dia Calon Istriku!

1302 Words
Keributan itu membuat seluruh suasana bar berubah drastis. Musik berhenti, lampu yang tadinya redup dan penuh warna kini menyala terang, menyorot ke arah pusat keramaian—ke arah Sanvi, Hedy, dan Mila. Para pengunjung yang sebelumnya duduk santai kini berdiri, menatap penasaran dan mulai berbisik-bisik. Beberapa mengambil ponsel, entah merekam atau pura-pura sibuk agar tidak terlalu mencolok. Sanvi berdiri tegak di tengah sorotan itu, tanpa sedikit pun gentar. Tatapan matanya menusuk, wajahnya penuh amarah, tapi tidak ada rasa takut. Dia tidak peduli siapa pun yang menatap. Dia hanya ingin satu hal, memberikan pelajaran pada lelaki pengecut yang pernah ia cintai. Arshan yang semula duduk di kursi pojok ikut terkejut melihat keramaian itu, terlebih saat melihat Sanvi yang kini berdiri sendirian dikerubungi banyak tatapan. Dia langsung beranjak, langkahnya cepat dan mantap menghampiri wanita itu. Sanvi kembali menatap Hedy yang perlahan bangkit, menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Tapi bahkan dengan luka itu, pria itu masih sempat tersenyum miring, menyebalkan. “Aku cuma mau kasih pelajaran ke pria busuk sepertimu, Hedy!” ujar Sanvi lantang, membuat seluruh bar terdiam. “Yang tega selingkuh sama adik tiriku sendiri! Matamu itu bukan cuma jelalatan, tapi juga buta!” Bisik-bisik langsung terdengar di antara para pengunjung. Beberapa wanita tampak menggelengkan kepala, mencibir Hedy, bahkan menatap Mila dengan jijik. Hedy menegakkan tubuh, membalas, suaranya tak kalah tinggi. “Kamu tuh wanita terlalu jual mahal, Sanvi. Banyak janji, tapi nol realisasi! Jadi jangan salahkan aku kalau akhirnya aku cari yang lebih… mengerti,” katanya sambil menoleh ke arah Mila. “Dan satu hal lagi, kisah kita selesai! Aku nggak yakin ada lelaki lain yang tahan sama sikap kamu. Keras kepala, egois, dan terlalu angkuh!” Wajah Sanvi memerah, napasnya memburu, dan kepalan tangannya semakin kuat. Dia bersiap melayangkan pukulan kedua, tapi sebelum itu terjadi, sebuah tangan kuat menggenggam tangannya—menahan dan menenangkan dalam satu sentuhan. Sanvi menoleh cepat, terkejut. Tangan itu milik Arshan. Dengan tenang tapi tegas, Arshan menggenggam tangan Sanvi lebih erat, lalu menatap Hedy lurus-lurus. “Sayang…,” katanya lirih namun penuh wibawa, “Kamu nggak perlu buang tenaga kamu untuk orang hina seperti itu.” Hedy sempat terkejut mendengar ucapan Arshan. Bahkan Mila pun menegang di tempatnya. Arshan melangkah maju sedikit, posisinya kini benar-benar berdiri di depan Sanvi, seperti melindunginya. “Dan kamu…” ujarnya kepada Hedy, suaranya dingin dan menohok, “Jangan pernah lagi kamu menyentuh, menghina, apalagi menyakiti calon istriku.” Kata-kata itu seperti bom yang meledak di tengah ruangan. Mila sampai menutup mulutnya karena kaget, sedangkan Sanvi terdiam sejenak, tubuhnya membeku. “Ca…calon istri?” gumam Sanvi tanpa sadar, menatap tangan mereka yang masih saling menggenggam. Hatinya berdesir, bingung antara percaya atau tidak. Tapi genggaman Arshan tidak goyah, dan tatapan matanya tetap penuh perlindungan. Kini semua mata menatap mereka dengan rasa baru, bukan lagi sekadar penonton drama, tapi seperti menyaksikan babak awal dari sebuah kisah yang lebih besar. Bar yang semula panas karena keributan, kini makin memanas oleh perang kata. Mila tersenyum sinis. Matanya memicing ke arah Arshan, menatap penuh ketidakpercayaan. Dengan gaya mencibir, dia melipat tangannya di depan da-da dan menoleh pada Hedy sejenak sebelum akhirnya menatap Arshan kembali. “Kamu pasti pria sewaan Sanvi, ya? Supaya bisa bikin kami cemburu atau terlihat kalah,” ujarnya dengan nada sarkastik. “Klasik banget caranya. Drama banget.” Arshan tetap berdiri tenang, wajahnya tak menunjukkan emosi meledak. Ia justru menatap Mila datar, lalu tersenyum tipis sebelum menjawab dengan suara yang tenang tapi sangat menohok. “Pria sewaan? Siapa bilang aku pria sewaan?” tanyanya, lalu ia beralih menatap Sanvi. “Sanvi, apa kamu membayarku?” Sanvi yang masih berdiri di sampingnya sedikit tergagap. Dia menatap Arshan dengan dahi berkerut lalu menggeleng pelan, masih belum mengerti maksud permainan ini. Tubuhnya ia condongkan mendekati telinga Arshan, berbisik pelan, “Apa yang kamu lakukan? Kenapa bersandiwara seperti ini?” Arshan ikut mencondongkan tubuhnya, lalu membisikkan balasan, “Aku hanya ingin membantumu. Aku tidak tega melihatmu dipermalukan di depan orang-orang sepicik mereka. Kamu seharusnya berterima kasih.” Sanvi tercenung, menatap pria itu sesaat. Ada sesuatu dalam suara Arshan yang terasa tulus meskipun apa yang dilakukan barusan tampak seperti lelucon gila. Namun, genggaman tangan yang tadi dia rasakan terasa nyata—hangat, melindungi. Arshan lalu menegakkan tubuhnya kembali, menghadapkan dirinya pada Mila dan Hedy. Tatapannya berubah tajam dan suara yang keluar kini terdengar lebih mantap, penuh keyakinan. “Sanvi adalah calon istriku. Kami akan menikah dalam waktu dekat,” katanya lantang dan jelas. Kerumunan yang masih berdiri mulai berbisik-bisik lagi, kali ini dengan nada kekaguman atau bahkan sedikit kepo. Arshan tidak mempedulikan. Ia melanjutkan dengan suara dingin, “Dan sebaiknya kalian berdua segera pergi sebelum aku benar-benar murka.” Mila terdiam. Senyumnya pudar. Hedy juga terlihat kehilangan kata. Pandangan mereka menyapu ruangan yang kini mulai memberi tekanan pada mereka—tatapan pengunjung yang tak lagi simpati, seolah menuntut mereka untuk segera angkat kaki. Dengan malas, Mila meraih tangan Hedy. “Ayo pergi dari tempat ini. Aku muak melihat mereka berdua,” katanya kesal, lalu menyeret Hedy keluar dari bar. Begitu langkah keduanya hilang di balik pintu, suasana bar berangsur tenang. Musik kembali diputar, namun tidak semeriah sebelumnya. Beberapa pengunjung kembali duduk, meski masih sesekali menoleh ke arah Sanvi dan Arshan. Arshan menghela napas lega, lalu menatap Sanvi. “Kita duduk, yuk,” ajaknya singkat. Mereka kembali ke tempat duduk semula. Sanvi duduk perlahan, tubuhnya masih tegang karena campuran emosi yang belum reda. Arshan menarik kursinya lalu duduk bersisian dengannya. Beberapa detik berlalu tanpa suara, hanya dentuman musik lembut yang mengisi udara. Sanvi akhirnya menatap Arshan, suaranya pelan, “Terima kasih.” Arshan menoleh padanya, tersenyum. “Kapan pun kamu butuh orang untuk berpura-pura jadi tunanganmu lagi…kabari aku.” Matanya berkilat, antara bercanda dan serius. Sanvi mendesah kecil, menatap gelas kosong di hadapannya, lalu menoleh lagi pada Arshan. “Kamu tahu kamu gila, kan?” “Dan kamu butuh orang gila seperti aku sekarang,” balas Arshan santai, membuat Sanvi mengulas senyum tipis untuk pertama kalinya malam itu. “Aku tidak pernah meminta bantuanmu saat ini,” ucap Sanvi, suaranya mulai stabil meski matanya masih berkaca-kaca. “Tapi kamu tetap membantuku. Dan caramu…ekstrem sekali.” Arshan menyandarkan tubuh ke kursi, satu alisnya terangkat. “Ya, mungkin. Tapi aku memang nggak suka melihat seorang wanita dipermainkan lelaki. Apalagi kalau laki-laki itu sebu-suk dia.” Sanvi menatap Arshan sejenak, bibirnya menekuk membentuk senyum getir. “Jadi itu alasanmu datang ke sini? Kamu juga patah hati? Tunanganmu direbut adik kamu juga?” tanyanya, separuh bercanda, separuh menyimpan luka. Arshan tertawa singkat. “Tidak separah itu,” katanya. “Tapi… mungkin aku hanya sedang ingin menyendiri dan takdir membawa kakimu ke tempat yang sama denganku.” Sanvi mengangguk pelan, lalu menunduk, memutar gelas kosong di jemarinya. “Kamu sudah tahu semuanya. Nggak perlu aku ceritakan ulang,” gumamnya lirih. Arshan terdiam sejenak. Ia tidak ingin menekan. Ia tahu, rasa sakit seperti itu tidak bisa sembuh dalam semalam—apalagi jika masih harus dilihat langsung dengan mata kepala sendiri. “Aku cuma ingin kamu tahu, malam ini kamu nggak sendirian,” kata Arshan pelan. Sanvi menatapnya lagi, lebih lembut dari sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya, dalam kekacauan yang melingkupinya, dia merasa sedikit…lega. Ada seseorang yang diam-diam berdiri untuknya, meski tanpa diminta. Arshan masih menatap intens Sanvi dalam tetapan iba. Seorang wanita seperti dia dipermainkan oleh seorang lelaki seperti Hedy. Biasanya dia menjadi tempat sampah masalah bagi para pasiennya ketika di rumah sakit. Mungkinkah saat ini dia juga perlu menjadi itu bagi Sanvi? Bila itu pernah terjadi maka dia tidak akan keberatan melakukannya untuk wanita itu. “Aku...mungkin bisa membantumu. Kamu saat ini pasti sedang tidak baik-baik saja, dan kamu butuh meluapkan semua itu agar tidak mengendap dan menjadi duri masalah di hati kamu.” Sanvi menatap intens Arshan dengan sorot mata kesedihan yang disimpan dengan rapi. Perlukah dia menyampaikan masalahnya pada orang asing?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD