Eps. 8 Meluapkan Amarah

1205 Words
Arshan menggeser kursinya sedikit lebih dekat dengan Sanvi, berusaha menunjukkan empati lewat gerakan tubuh yang lembut. Namun reaksi yang ia dapat justru sebaliknya. Sanvi langsung menegakkan punggungnya, melipat kedua tangan di depan da-da, dan menatap Arshan dengan sorot tajam penuh pertahanan. “Apa yang kamu mau lakukan padaku? Mau mengulang kejadian di rumah sakit itu?” suaranya terdengar tajam, seperti cambuk yang memukul udara. Tatapan Sanvi menusuk. Matanya seperti menyimpan kecurigaan mendalam, juga kemarahan yang belum selesai. Arshan yang mendengar pertanyaan itu pun langsung membelalakkan matanya, terkejut. Ia buru-buru mengangkat kedua tangannya, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tak berniat macam-macam. “Tidak! Aku…aku tidak berniat seperti itu, Sanvi,” ujar Arshan, cepat. “Bahkan di rumah sakit pun aku tidak pernah melakukan apa pun yang kamu pikirkan. Aku hanya…aku hanya duduk. Aku datang ke sini untuk menenangkan pikiran saja, sama seperti kamu, kurasa.” Suara Arshan melunak di akhir kalimat. Sorot matanya tulus dan jujur. Dia memperhatikan Sanvi lebih dekat kali ini, dan ia tak bisa mengabaikan apa yang dilihatnya—mata wanita itu tampak sembab, ada jejak letih, tekanan, juga luka yang dalam. Wajah itu terlihat seperti menyimpan terlalu banyak beban yang tak sempat ditumpahkan. “Kamu…baik-baik saja?” tanya Arshan lebih hati-hati. “Kamu terlihat seperti sedang memendam sesuatu. Maaf kalau aku lancang.” Sanvi tidak langsung menjawab. Namun tatapan curiganya perlahan menurun intensitasnya. Ia melonggarkan tangannya yang semula dilipat, lalu meletakkannya di atas meja. Ia menarik napas perlahan, seolah tengah berpikir apakah ia harus terus menjaga jarak atau tidak. Lalu tanpa berkata apa-apa, Sanvi mengambil gelas kosong di hadapannya dan menatap bagian dasarnya yang kosong. Tangannya gemetar ringan, tapi tetap mengangkat gelas itu dengan gerakan pelan, lalu mendekatkannya ke bibir. Arshan menyipitkan mata, memperhatikan dengan seksama. Dua kali ia menyaksikan hal yang sama—tadi dan sekarang di tempat ini. Wanita ini jelas sedang berada di ambang keputusasaan. “Sanvi,” ucap Arshan pelan, “Apa yang kamu lakukan itu. Kamu mau minum alkohol tapi tidak berani meminumnya meski sudah memesannya, begitu? Aku yakin kamu ada masalah.” Sanvi menatapnya, dan untuk pertama kalinya, tidak ada lagi kemarahan di matanya. Yang ada hanya kelelahan dan keinginan untuk menyerah, namun masih ada sedikit percikan harapan di balik semua itu. Sanvi mengerutkan kening, sedikit heran dan terkejut. “Kamu ingat namaku?” tanyanya pelan. Tatapannya menajam, memindai wajah Arshan yang terlihat tenang. Arshan mengangguk pelan. “Tentu. Nama itu tertera di seragammu saat kamu datang ke rumah sakit. Letnan Sanvi, kan?” jawabnya dengan suara ringan, namun penuh keyakinan. Ia lalu menyandarkan punggung sejenak, menatap meja di antara mereka. “Tapi bukan hanya namamu yang aku ingat. Ekspresimu, caramu bicara, tatapan matamu—semuanya begitu kuat. Seperti seseorang yang sedang menyimpan terlalu banyak dalam diam.” Sanvi mereguk salivanya perlahan. Kata-kata Arshan barusan terasa seperti pisau yang menyentuh kulit hatinya. Ia kembali menatap pria itu. Kali ini lebih dalam. Ada ketulusan di mata Arshan, itu jelas. Namun, Sanvi masih ragu. Perlu waktu untuk bisa membuka luka pada orang asing, apalagi pria—setelah semua yang terjadi belakangan ini. “Apa yang membawamu datang kemari?” tanya Arshan kemudian, suaranya rendah, seolah tak ingin mendesak, hanya menawarkan bahu yang siap menampung. Sanvi tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya. Da-da dan pikirannya penuh sesak. Ingin sekali ia berkata, "Aku lelah, aku marah, aku kecewa, aku sendirian," tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokan. Sebagai pengalih, ia meraih sesuatu dari dalam tas kecil yang diletakkan di samping kursinya. Sebuah foto tua—kertasnya sudah mulai memudar. Ia memandangi gambar itu. Tampak dirinya dalam balutan seragam latihan militer, berdiri di samping seorang pria paruh baya—kakeknya. Wajah yang kini hanya bisa ia lihat dalam kenangan. 'Kakekku dulu selalu bilang, seorang tentara tidak boleh rapuh meski sedang hancur di dalam. Tapi malam ini…aku rapuh,' ucapnya dalam hati, tanpa suara. Arshan memperhatikan, menyadari bahwa benda itu bukan sekadar foto. Ia tahu, apa pun itu, sangat berarti bagi wanita di depannya. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh. Ia menunggu. Memberi ruang. Sanvi menaruh kembali foto itu ke dalam tas. Dia belum siap bicara, tapi mulai merasa… tidak sendirian. Dan kadang, itu sudah cukup untuk sementara. Tanpa Sanvi sadari, dua sosok yang sangat dikenalnya melangkah masuk ke dalam bar yang mulai padat pengunjung. Mila dan Hedy—pasangan pengkhianat yang tak pernah ia sangka akan datang ke tempat ini. Mereka tidak menyadari keberadaan Sanvi, dan langsung menuju meja kosong yang secara kebetulan berada tepat di belakang Sanvi. Mila duduk dengan manja, menyandarkan kepala di bahu Hedy. “Sayang, malam ini kamu mau ajak aku ke mana setelah dari sini?” gumamnya lembut, matanya bersinar penuh rasa dimanja. Hedy tersenyum, menepuk tangan Mila yang menggenggam lengannya. “Aku pikir kita bisa lanjut ke tempat yang lebih tenang. Hotel langganan kita, hm?” bisiknya sambil menatap mata Mila dengan tatapan yang jelas-jelas penuh hasrat. Mila tertawa kecil, menggoda. “Aduh, kamu ini...tapi aku suka, kamu tahu caranya buat aku bahagia.” Mereka terus tenggelam dalam percakapan romantis yang menjijikkan di telinga Sanvi. Suara mereka—terutama tawa Mila yang nyaring—menusuk seperti sembilu di da-da Sanvi. Ia menegang, napasnya memburu. Suara itu, cara bicara itu…ia mengenalnya. Perlahan Sanvi menoleh ke belakang. Matanya membelalak ketika melihat sosok Mila yang tengah memeluk Hedy dengan akrab. Mereka berdua tertawa seolah dunia hanya milik mereka. Sanvi berdiri dengan gemetar. “Mila? Hedy?” serunya dengan nada nyaris tercekik. Pasangan itu membeku. Mila menoleh, wajahnya pucat sesaat. Hedy terdiam, dan keheningan di antara mereka bertiga terasa begitu tebal dan menyesakkan. Tatapan Sanvi penuh luka, kecewa, dan amarah yang menumpuk tanpa suara. Mila tersenyum sinis, lalu menggandeng tangan Hedy lebih erat sambil memiringkan kepala, memamerkan kemesraan mereka. “Wah, kamu di sini juga, Sanvi?” katanya dengan nada mengejek. “Sedang apa? Patah hati ya? Terus melampiaskannya di tempat seperti ini?” Tawanya menggema, tinggi dan tajam, seolah sedang merayakan kemenangan yang begitu menusuk hati. Sanvi membeku, tapi dadanya bergemuruh. Matanya tidak lepas dari tangan Mila yang menelusup di lengan Hedy—lelaki yang pernah ia percaya, pernah ia harapkan menjadi tempat bersandar. Hedy menatap Sanvi dengan dingin, nyaris tak berperasaan. “Sanvi,” katanya santai, “Aku nggak menyangka kamu bakal sampai segininya, hancur total hanya karena kami bersama. Kamu ternyata selemah itu.” Setelah berkata begitu, Hedy menarik Mila dan mencium wanita itu di depan mata Sanvi—terang-terangan, seperti ingin menunjukkan bahwa dia telah memilih, dan Sanvi bukan siapa-siapa lagi. Setelahnya, dia menoleh dan tersenyum lebar. Senyum penuh ejekan. Senyum yang menyayat seperti sembilu. Sanvi mengepal tangannya kuat-kuat. Ia berusaha tenang, menahan amarah yang sejak tadi mendidih. Tapi kesabarannya sudah mencapai batas. Matanya memerah, bibirnya bergetar. Perlahan, ia melangkah mendekati Hedy. Suaranya tajam seperti pecahan kaca. “Kamu lelaki breng-sek. Kamu nggak pantas untukku,” ucapnya tajam. “Kamu memang lebih pantas sama Mila, karena kalian sama-sama hina!” Tanpa menunggu reaksi, Sanvi mengayunkan kepalan tangannya. Bugh! Suara benturan keras terdengar saat tinjunya menghantam rahang Hedy. Tubuh pria itu langsung jatuh terjengkang ke lantai, menabrak kursi di belakangnya. Mila menjerit histeris. Sanvi berdiri tegak, dadanya naik-turun cepat, sementara semua mata di bar kini tertuju pada mereka. Tapi dia tidak peduli dengan semua tatapan itu. “Sanvi, Apa yang kamu lakukan?” teriak Mila tajam dan histeris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD