Eps. 7 Bertemu Di Bar

1209 Words
Sore menjelang malam, suasana di parkiran rumah sakit mulai sepi. Langit memerah, dan sebagian besar staf medis sudah mulai beranjak pulang. Arshan baru saja membuka pintu mobilnya ketika terdengar suara seseorang memanggilnya dari belakang. “Ar, nanti malam kamu ada acara nggak?” tanya seorang pria berpakaian kasual, rekan sejawatnya di rumah sakit, Dokter Bagus. “Nggak. Ada apa? Kamu mau ngajakku ke mana?” sahut Arshan, mengernyitkan dahi. bagus menyandarkan punggungnya di pintu mobil Arshan sambil menghela napas panjang. “Aku bosan. Terus-menerus berkutat sama pasien, tekanan kerja tinggi. Gimana kalau nanti kita keluar sebentar? Ke night club? Sekadar having fun, bro. Biar pikiran kusut ini bisa lega.” Arshan langsung menggeleng pelan, “Tidak. Untuk apa aku datang ke tempat seperti itu? Aku nggak nyaman.” Namun Bagus tak langsung menyerah. “Jangan underestimate pada tempat kayak gitu. Semua tergantung niat kita. Kalau cuma mau duduk, ngobrol, atau minum jus sambil dengerin musik, nggak masalah, kan? Kita nggak ngelakuin hal aneh-aneh kok. Lagian kamu nggak sendiri, nanti aku ajak beberapa dokter juga. Biar rame, sekalian cari udara segar.” Arshan menunduk sejenak, pikirannya berkecamuk. Selama ini dia memang selalu menjadi tempat curhat orang lain, mendengarkan keluh-kesah pasien, menjadi ‘penampung’ emosi semua orang. Tapi siapa yang benar-benar mendengarkannya? Dia pun mendesah, sedikit ragu namun mulai goyah. “Yah…mungkin kamu benar. Aku juga mulai lelah. Oke, aku akan datang. Kirimkan saja lokasinya, nanti aku nyusul.” Bagus langsung tersenyum lebar, menepuk bahu Arshan. “Sip! Itu baru Arshan yang keren. Aku kirim lokasinya nanti, tempatnya santai kok. Sampai ketemu malam nanti, bro!” Arshan hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke mobilnya. Dalam hati, dia masih bertanya-tanya…apakah ini keputusan yang tepat? Tapi untuk malam ini, mungkin dia memang butuh ruang untuk bernapas. ** Malam hari, Arshan berdiri di depan cermin mengenakan kemeja hitam polos dengan potongan slim fit yang membentuk tubuh tegapnya. Kancing bagian atas sengaja dibuka satu, memberi kesan santai tapi tetap rapi. Celana chino abu gelap dan sepatu kulit kasual melengkapi penampilannya. Ia menyisir rambutnya yang pendek dengan jari, lalu mengambil botol parfum dari meja rias. Sekali semprot di leher dan pergelangan tangan, lalu ia mengangguk kecil pada bayangannya sendiri. “Cukup,” gumamnya. Ia lalu mengambil kunci mobil, menyambar jaket tipis, dan melangkah keluar rumah menuju mobil hitamnya, sedan elegan yang sudah lama setia menemaninya. Di layar ponsel, sebuah pesan dari Bagus sudah masuk berisi pin lokasi: Vibra Lounge & Chill, lantai dua, bar tengah. Mobil Arshan melaju tenang menembus jalanan malam kota. Di dalam mobil, ia memutar musik instrumental jazz pelan. Ia berusaha menjaga pikirannya tetap netral, walau jujur, ia tak begitu menyukai tempat seperti itu. Tapi karena Bagus dan tiga teman lainnya ikut serta, dia merasa sedikit lebih tenang. Begitu sampai, parkiran sudah padat. Ia memarkir mobilnya di area VIP lalu berjalan ke dalam gedung. Suara musik berdentum dari lantai atas. Aroma minuman manis dan parfum berbaur. Lampu-lampu berwarna ungu dan biru menari di langit-langit, menciptakan atmosfer yang hangat dan hidup. Pengunjung berlalu-lalang, sebagian berdansa, sebagian lainnya duduk di sofa empuk sambil tertawa dalam obrolan. Begitu kakinya menjejak lantai lounge, terdengar suara memanggil, “Arshan!” Empat orang duduk berderet di sebuah sofa panjang, Bagus, Andra, Dimas, dan Raka—semuanya dokter juga. Mereka melambai kompak. Arshan mengangguk dan berjalan ke arah mereka. “Tumben kamu nggak nyari alasan buat nggak datang,” celetuk Bagus sambil tertawa. “Aku butuh istirahat dari isi kepala orang lain,” sahut Arshan, lalu duduk di kursi kosong. Pelayan datang membawa menu. Mereka memesan minuman: jus semangka, lemon squash, es kopi s**u, dan mocktail virgin mojito. Arshan memilih lemon squash, segar dan ringan. Malam itu, meski di tengah keramaian yang tak biasa, Arshan mencoba membuka dirinya sedikit. Mungkin, sesekali tidak jadi pendengar dan sekadar tertawa bersama adalah cara terbaik untuk bertahan. Di sisi yang berbeda, jauh dari tempat Arshan duduk bersama rekan-rekannya, Sanvi melangkahkan kaki masuk ke tempat yang sama—Vibra Lounge & Chill. Tempat itu ramai, lampu-lampu redup berkedip, dan musik berdentum di udara, cukup keras untuk membuat telinga bergetar namun tidak sampai menyakitkan. Ia mengenakan jaket hitam militer yang melekat pas di tubuh, rambutnya masih dikuncir rapi, dan wajahnya terlihat penat. Wajah seorang perempuan yang lelah, bukan karena fisik, tapi karena batin yang sudah kelelahan menahan semuanya sendiri. Sanvi berjalan perlahan menuju bar dan duduk di salah satu bangku tinggi. Pandangannya kosong, namun jantungnya masih penuh dengan rasa marah dan kecewa yang belum reda. “Selamat malam. Mau pesan apa?” tanya bartender yang berdiri di seberang meja, bersuara ramah. Sanvi menghela napas pelan. Matanya menatap rak-rak di belakang bartender yang penuh dengan botol beraneka bentuk dan warna. Biasanya, dia menolak keras menyentuh alkohol, tapi malam ini… malam ini berbeda. Aroma tajam dan manis yang mengambang di udara membuatnya tergoda, seakan-akan dunia memberi izin untuk melepaskan semuanya, walau hanya sesaat. “Whisky…satu botol kecil, dan es,” ucapnya pelan. Bartender sedikit terkejut, tapi langsung menyiapkan pesanan itu. Dalam waktu singkat, satu botol kecil whisky dan gelas berisi es batu diletakkan di depannya. Sanvi menatap botol itu, lama sekali. Tangannya meraih leher botol tapi tak kunjung menuangnya. Tangannya bergetar sedikit. Batinnya bergolak—minuman ini bukan jalan keluarnya, dia tahu itu. Tapi saat ini, siapa yang bisa diajak bicara? Tak ada yang mengerti dirinya. Di rumah, Mila dan semua orang lebih memihak pada kebohongan yang terang-terangan. Sanvi hanya menggenggam gelas itu, menatap pantulan lampu lounge di permukaannya. Dari sudut matanya, dia melihat sekelompok orang menari di tengah lantai. Tertawa, berdansa, bahagia seolah dunia mereka sempurna. Dentuman musik berdentak, menyatu dengan detak jantungnya yang berat. Ia menghela napas lagi. Gelas di tangannya belum tersentuh. Malam ini, ia hanya ingin melarikan diri dari kenyataan—tanpa tahu ke mana harus pulang. Arshan yang tadinya hanya ingin menghindari bisingnya musik dan keramaian, berjalan menjauh dari kerumunan. Langkahnya membawanya ke sisi lounge yang lebih tenang—sedikit temaram, lampunya redup dengan dentuman musik yang tidak terlalu menyakitkan telinga. Ia menghela napas, merasa sedikit lega bisa menarik oksigen tanpa campuran suara hingar-bingar. Namun, saat matanya menyapu ruangan, pandangannya tertumbuk pada satu sosok yang duduk sendiri di kursi bar bagian ujung. Seorang wanita dengan tubuh tegap, jaket hitam masih membalut tubuhnya. Ia menunduk sedikit, tersenyum kecil dengan mata kosong yang jelas menyimpan luka. Di hadapannya ada gelas kosong, sementara botol whisky kecil berdiri nyaris utuh di sampingnya. “Apa yang dia lakukan...?” gumam Arshan, memperhatikan dari kejauhan. Ada sesuatu pada wanita itu yang membuat jantungnya berdegup tak biasa. Wajah itu. Sorot mata itu. Perlahan, dia menyipitkan mata—mengingat, menyusun ulang potongan ingatan. “Itu dia…wanita itu,” ucapnya pelan. Tanpa pikir panjang, Arshan bergegas menghampirinya. Langkahnya cepat namun tidak terburu-buru, dan ketika akhirnya berdiri di samping wanita itu, ia menghela napas sebelum memanggil, “Hey.” Sanvi yang semula larut dalam lamunannya langsung tersentak. Ia mendongak dan membelalak sedikit saat mendapati sosok pria tinggi berdiri di sebelahnya. “Dokter… Arshan?” ucapnya nyaris tak percaya. Tatapan mereka pun bertemu. Keheningan mendadak terasa panjang di antara gemuruh musik malam. Arshan menatap mata Sanvi yang masih tampak bingung, lalu dengan suara yang lebih lembut dari biasanya ia berkata, “Boleh aku duduk di sini?” Sanvi tak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan. Arshan pun menarik kursi dan duduk di sampingnya, diam sejenak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD