Sanvi duduk terpaku, tubuhnya tampak diam, tapi pikirannya terus berteriak dalam diam. Status Mila dan Hedy tadi bagai palu godam yang menghantam dadanya tanpa ampun. Rasa kehilangan yang semula bisa ia redam dengan kesibukan, kini pecah kembali seperti luka lama yang menganga. Dia merasa hancur, benar-benar hancur. Hatinya bertanya-tanya, bagaimana bisa Mila dan Hedy—dua orang yang pernah begitu dekat dengannya—melukai dan menghancurkannya sampai ke titik ini? Rasanya tak adil. Seperti burung yang kedua sayapnya dipatahkan, Sanvi merasa tak mampu lagi ‘terbang’, bahkan untuk sekadar berdiri tegak menghadapi kenyataan pun terasa berat. Sakitnya dalam. Dan yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah duduk diam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanian agar bisa melangkah lagi. Di waktu yang s