Bab 1 Undangan dan Tawaran
Andini menatap amplop putih itu seperti menatap ajal yang menyamar jadi pesta. Kertasnya tebal, dengan tinta emas yang elegan. Di bagian atas, tertulis hal yang sama sekali tidak diharapkan.
“Undangan Pernikahan Roy Martenez & Melati A. Surya.”
Tertanggal tiga minggu dari hari ini.
Lokasi: Hotel Orchid Regency.
Dress code: Elegan dan Bahagia.
Andini tertawa kosong, antara sedih dan marah. Dia mirip orang yang baru disayat hati lalu diminta selfie.
Lima tahun ia bersama Roy. Lima tahun juga, ia menabung harapan dari sisa gaji, lima tahun jadi tempat pulang saat Roy gagal, lima tahun percaya bahwa cinta yang bertahan akan menang pada akhirnya. Dua tahun juga, dia setia menemani Roy dan membantunya, tapi ternyata dia dibuang dengan sebuah undangan sebagai tanda perpisahan. Pengecut!
Andini menatap undangan itu sekali lagi. Amarahnya menguasai, rasanya dia ingin mengumpat tapi tidak ada yang bisa jadi sasaran. Ia kemudian bangkit, mengambil jaket lusuh dari gantungan, dan melangkah keluar dari kamar kos berukuran 3 x 4 yang jadi saksi tawa dan air matanya.
Tujuan Andini cuma satu yaitu kantor Roy.
Ia tak membawa rencana. Tak membawa dendam. Hanya satu pertanyaan yang tak bisa ia kubur: "Kenapa kok tega?"
Sesampainya di lobi, ia berjalan ke meja resepsionis.
“Permisi, saya mau ke ruangannya Roy Martenez. Bisa tunjukkan arah?”
Dua wanita resepsionis sempat saling pandang.
“Pak Roy? Belok kiri, naik lift B ke lantai tujuh. Pintu paling ujung kanan.”
Andini mengangguk. Ia tak perhatikan bisik-bisik mereka setelah itu. Tak peduli. Hatinya terlalu penuh untuk membaca bahasa tubuh orang lain. Ia menekan tombol lift, jantungnya berdetak seperti ingin keluar.
---
Lantai 7, lorong sunyi. Langkah Andini pelan. Ia mencari pintu bertuliskan “Roy Martenez”. Saat menemukannya, ia berniat mengetuk, tapi terdengar suara dari dalam.
“Kamu yakin dosisnya tidak akan terdeteksi, Mel?”
“Aku yakin, karena memakai zat lambat. Gejalanya baru muncul setelah dua minggu. Mirip stroke ringan. Dokter akan bilang itu karena usia.”
“Bagus. Setelah dia pensiun, Papa bakal menunjukku jadi VP. Dari situ, tinggal tunggu waktu sampai semua saham dipegang kita.”
“Dan aku akan jadi nyonya Martenez.”
Andini membeku. Ia menempel ke dinding di samping pintu, memekik dalam hati, apa ini mimpi? Gila parah! Dia kayak terlempar ke drama tv!
Tangannya bergerak cepat. Ia keluarkan ponsel dari tas, tekan tombol rekam suara sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
“Aku benci harus pura-pura manis di depan orang tua itu,” lanjut Melati.
“Sabar. Setelah ini, kita tinggal hidup tenang. Papa pensiun dalam damai... dan aku naik takhta.”
Andini tersenyum. Dia melihat kesempatan untuk balas dendam tanpa perlu bersusah payah.
---
Andini menarik napas dalam. Separuh dirinya ingin pulang, menelan semua luka diam-diam. Separuh lain—yang lebih kuat—mengingat wajah Roy dan Melati di undangan itu. Itulah yang membuatnya tetap berdiri di sini, malam ini.
Andini menunggu. Ia tahu kalau Pak Ferdi—ayah Roy, CEO perusahaan—pulang larut setiap Kamis. Ia mengenali mobil hitam itu dari jauh, dan menahan napas saat pria berusia 53 tahun itu turun dari pintu belakang. Tegap. Berwibawa. Rambut perak. Sorot mata tajam yang entah diwarisi Roy atau tidak. Yang jelas, dia juga baru tahu bahwa Roy adalah putra dari presdir yang selama ini memberinya gaji.
“Pak Ferdi.”
Sekretaris pribadi Ferdi, Yanto segera maju, tetapi Ferdi memintanya mundur.
Ferdi bertanya, “Kamu siapa?”
“Aku Andini. Mantan pacar Roy.”
Alis pria itu sedikit terangkat, tapi tetap diam, menunggu.
Andini membuka layar ponsel, menekan play.
Ruangan parkir sunyi dan suara Roy memenuhi ruang:
“...gejalanya mirip stroke ringan, setelah dia pensiun, Papa bakal menunjukku jadi VP...”
Ferdi tak bergeming. Tangannya mengepal perlahan.
Andini mengeluarkan kantong kecil: sisa makanan yang Roy bawa untuk “ayahnya” siang tadi, hasil titipan Melati.
Ia menatap Ferdi dalam. Ia bukan sengaja mencuri, tapi bagaimanapun, dia butuh bukti. Untungnya, temannya adalah orang yang diminta membuang sisa makanan itu, sehingga dia bisa mencari bukti tanpa harus melakukan tindakan yang penuh aksi.
“Aku sudah bawa sample ke klinik tes cepat. Ada arsenik. Lemah, tapi cukup mematikan kalau dikonsumsi rutin.”
Ferdi menatapnya. Tak ada ekspresi. Hanya mata yang seperti mencari alasan untuk tetap percaya pada anaknya.
“Kenapa kamu memberitahuku?”
Andini menghela napas.
“Karena aku tahu rasa dikhianati oleh orang yang kita percaya sangat menyakitkan.”
Ferdi diam cukup lama hingga udara terasa beku. Dia menoleh pada Yanto. Yanto mengambil bukti dari Andini lalu melangkah mundur, memberikan majikannya ruang untuk bicara secara pribadi dengan Andini.
"Aku nggak suka berhutang budi, jadi hadiah apa yang kamu mau?"
"Apa saja boleh?"
"Kamu bisa minta apa saja. Uang. Posisi. Perlindungan hukum.”
Andini menatapnya, tanpa ragu.
“Aku cuma mau satu.”
“Apa? Katakan saja.”
“Jadikan aku istrimu.”
Ferdi diam. Matanya menatap Andini lama, penuh kehati-hatian.
“Nikahi aku ya? Aku harus jadi istrimu,” ulang Andini dengan sedikit merengek.
Pria itu tertawa pendek, pahit. “Kamu bercanda?”
“Nggak.”
Ferdi menarik napas, lalu melangkah menjauh dua langkah seolah menciptakan jarak. Suaranya tajam tapi terkendali.
“Kamu masih sangat muda dan aku sudah 53 tahun. Apa kamu tahu artinya menikahi seseorang sepertiku?”
Andini tak menjawab. Matanya tetap pada pria itu, tanpa ragu.
Ferdi menyipitkan mata.
“Apa kamu mau kekuasaan? Posisi? Nama besar?”
“Nggak,” jawab Andini cepat. “Aku ingin harga diriku kembali.”
Ferdi terdiam.
Andini melanjutkan, suaranya tidak meledak, tapi menikam:
"Lima tahun hidupku untuknya, tapi dia cuma perlu satu undangan buat ngebuang aku. Fair? Jelas nggak, tapi aku ingin dia tahu rasanya ditusuk dari belakang!"
“Jadi menjadi istriku adalah bentuk balas dendam?”
Andini menatap lurus ke arahnya. “Bukan. Ini keadilan. Dengan begini, dia akan tahu bahwa semua yang dia coba rebut… sekarang berdiri di sisiku.”
Ferdi menatapnya lama lalu tersenyum tipis, untuk pertama kalinya. Bukan karena senang—tapi karena tak bisa membantah logika yang begitu tenang dan menggigit.
“Kamu gila,” katanya pelan.
“Mungkin, tapi aku juga satu-satunya orang yang bisa membuat Roy berhenti bermain-main dengan nyawamu.”
"Aku mencintai satu wanita dalam hidupku. Ibu Roy dan tidak akan mengkhianatinya."
"Kamu menikahiku bukan karna cinta, Tuan. Ini balas Budi yang berharga karena setara nyawa."
Ferdi terdiam.
"Kamu kan nggak doyan ngutang budi. Jadi ya... bayar lunas. Nikahi aku!"
"Gimana kalau aku menuntut lebih dari status?"
"Kamu menginginkan aku di ranjang juga?"
"Aku lelaki. Meski sudah tua."
"Bagus, artinya kamu sehat. Aku akan senang bila memiliki pewaris darimu."
"Itu belum tentu."
"Lelaki tidak pernah menopause dan aku masih muda."
Ferdi bergumam pelan.
"Putramu pasti akan mengutuk bila aku hamil anakmu."
"Dia bisa membahayakan kalian."
"Itulah kenapa aku harus melawan, demi melindungi diri, kamu dan calon anak kita?"
"Kamu percaya diri."
“Karena harga diriku diinjak, aku lawan dengan sepenuh hati. Mau jadi istri atau apapun, aku akan berdiri di atas orang yang menginjakku. Kamu butuh cinta? Aku beri, bahkan tanpa kamu minta.”
Ferdi terdiam sebentar lalu mengangguk pelan.
“Kalau begitu, kita buat pernikahan ini tidak bisa dibatalkan.”
Ia sudah mengambil keputusan. Setelah lima tahun menjadi duda, dia siap jadi suami orang lagi.
"Bagus, mari kita bicarakan detailnya!"
Ferdi tersenyum dan Andini melihatnya dengan tekad penuh. Dia tahu wanita di depannya bersungguh-sungguh.
Ini bukan kisah cinta, tapi ini drama balas dendam manis seribu episode.