Bab 2 Kesepakatan dan Kejutan

1045 Words
RUANGAN CEO, 22.31 WIB Pintu tertutup rapat. Di luar, malam menggigil. Di dalam, dua manusia duduk berhadapan—bukan sebagai pria dan wanita, tapi sebagai dua kekuatan baru yang tengah menegosiasikan aliansi. Ferdi duduk di balik meja CEO-nya yang luas. Andini berdiri di depan jendela kaca tinggi, melihat lampu kota yang berkelap-kelip seperti peringatan. “Kalau kita akan menikah...” ujar Andini pelan, tanpa menoleh. “Aku ingin jaminan.” Ferdi menaikkan alis. “Kamu ingin prenuptial agreement?” Andini membalikkan badan. “Bukan hanya soal harta, tapi waktu.” Ferdi menyandarkan tubuh ke kursi. “Coba jelaskan.” “Kamu tidak akan menceraikanku dalam dua tahun ke depan apa pun alasannya. Kecuali aku yang minta. Aku butuh waktu untuk berdiri.” Ferdi menatapnya. Wajahnya keras, tapi mata itu—entah mengapa—tidak sinis. “Kamu takut aku berubah pikiran?” “Aku selalu realistis,” balas Andini. “Aku ini perempuan biasa. Kamu CEO, ayah dari lelaki yang hampir aku nikahi. Dunia bisa jungkir balik dalam dua bulan, apalagi dua minggu.” “Oke,” kata Ferdi. “Dua tahun. Aku tidak akan menceraikan, kecuali kamu memintanya.” Andini mengangguk. “Satu lagi.” “Tentu saja kamu boleh nambah,” kata Ferdi, suaranya mengandung senyum kecil. “Permintaan utama belum disebut.” “Aku tidak mau jadi ibu tiri yang duduk di sudut pesta dan hanya dipanggil untuk formalitas.” Ia berjalan mendekat. “Aku ingin posisi. Kursi. Jabatan resmi.” “Di perusahaan?” “Di mana pun kamu berada. Saolnya aku ingin didengar, ingin punya suara dan ingin saham.” Ferdi menatapnya lama. “Kamu udah mikirin ini lama?” “Aku hidup dalam dunia tanpa payung. Kalau sekarang aku mau berdiri di tengah badai, aku akan bawa perisai yang layak.” Ferdi bangkit dari kursinya, melangkah pelan ke dekat jendela. “Roy akan melihat ini sebagai deklarasi perang.” “Biarkan dia tahu siapa yang dia khianati.” Ferdi menghela napas, menatap pantulan Andini di jendela. “Baik. Aku akan menyuruh Yanto untuk meminta pengacara kami menyiapkan draft kontrak. Dua tahun tanpa cerai. Kursi khusus di yayasan keluarga. Lima persen saham perusahaan dan satu asistennya langsung di bawah perintahmu.” “Tambahkan satu klausul,” kata Andini cepat. “Apa itu?” “Aku ikut rapat dewan direksi. Tidak bicara, tapi hadir. Aku ingin tahu bagaimana semua ini berjalan.” Ferdi tersenyum samar. “Kamu berbahaya, Nona Andini.” “Aku terluka. Itu lebih buruk daripada berbahaya.” Ferdi tertawa pendek. Untuk pertama kalinya, bukan karena sinis, tapi karena kagum. “Kalau begitu, kita akan menikah besok pagi di rumah notaris.” Andini mengangguk. “Aku akan siapkan gaun putih seadanya.” “Kamu tidak butuh gaun putih, kamu butuh baju besi.” “Aku akan kenakan keduanya meski berat.” Ferdi tertawa kecil. Ini pertama kalinya sejak istrinya meninggal, dia menemukan seseorang yang bisa membuatnya tertawa. *** Jam 09.47 pagi, kantor notaris Sujaya & Rekan. Andini duduk di kursi tunggu. Gaun putih gading yang dipinjam dari tetangga kosnya terasa terlalu mewah untuk ruang sempit berbau kertas hukum. Tak ada bunga. Tak ada musik. Hanya tumpukan berkas dan kopi pahit di atas meja kaca. Ferdi datang tepat waktu. Setelan hitam rapi, wajah bersih, dan senyum sopan yang tak benar-benar hangat. Ia mengangguk pada notaris, lalu pada Andini. “Sudah siap?” Andini berdiri. “Aku selalu siap kalau harga diriku yang dipertaruhkan.” Notaris Sujaya membacakan dokumen dengan suara monoton, tapi isinya menusuk tajam: “Bahwa dalam pernikahan ini, kedua belah pihak sepakat untuk tidak bercerai dalam jangka waktu minimal dua tahun; memberikan hak kepemilikan saham sebesar lima persen kepada pihak kedua; dan mengangkat pihak kedua sebagai pengawas yayasan serta wakil tidak tetap dalam rapat dewan direksi.” Andini menandatangani duluan. Tangannya tidak gemetar. Ferdi menatapnya sejenak, lalu ikut menandatangani. “Dengan ini, pernikahan sah secara hukum dan tercatat resmi,” ujar notaris. Tak ada ciuman. Tak ada selamat. Hanya keheningan yang menandai dimulainya perang yang sah. Di mobil Ferdi, Setelah pernikahan, Andini duduk diam. Ferdi menyetir sendiri. Dia menikah dan bahkan sekretaris pribadinya tidak diundang. “Nanti malam, kamu pindah ke rumah utama,” katanya. “Di kamar istri lamamu?” “Tidak. Kamar tamu utama. Istriku meninggal lima tahun lalu, tapi aku tidak sekejam itu.” Andini mengangguk. “Aku hanya butuh tempat untuk memulai ulang.” “Roy gimana?” “Kalau dia mengamuk, bagus. Kalau dia menangis, lebih bagus.” Ferdi meliriknya. “Kamu bukan gadis biasa.” “Aku perempuan yang belajar keras dari luka.” Sementara itu, di sudut kota yang lain, Roy dan Melati sedang sarapan di balkon apartemen Roy. “Besok kamu tunjukkan surat rekomendasimu ke Papa, ya,” kata Melati sambil mengoles mentega di roti. Roy mengangguk santai. “Hari ini juga bisa. Papa pasti sudah luluh.” Tiba-tiba ponsel Roy berbunyi. Notifikasi dari grup internal direksi perusahaan: 📢 “Selamat untuk Pak Ferdi Martenez dan istri barunya, Ibu Andini Martenez. Semoga bahagia selalu.” Roy membeku. “Apa ini?” Melati melirik ponselnya dan mendadak pucat. “Itu… Andini, kan? Gak mungkin. Itu pasti salah ketik.” Roy berdiri. Kursinya terjatuh ke lantai. “Tidak. Tidak mungkin.” Ia membuka akun perusahaan. Foto resmi terpampang jelas: Ferdi dan Andini berdiri berdampingan. Tersenyum. Tangan Andini memegang akta nikah. Roy menjatuhkan ponsel. “Dia... menikahi Ayahku.” Roy terlihat sangat shock dan terkejut. Dia bahkan sampai kehilangan kata-kata. Perutnya mual dan mendadak tubuhnya berkeringat dingin. “Enggak, ini pasti orang lain. Mungkin cuma nama yang sama…” Saat dia melihat foto itu… matanya melebar. "Apa yang dia rencanakan? Kenapa begini? Roy, kamu nggak tahu kalau dia memacari ayahmu atau tua bangka itu sudah gila?" Melati tidak bisa menghentikan rasa terkejutnya sampai membuat sebuah pernyataan yang cukup kasar. "Diam dulu, Melati. Aku tahu Andini orang yang setia. Dia bahkan nggak tahu kalau aku adalah anak CEO di perusahaan di mana kami bekerja selama ini." "Terus gimana kamu jelasin ini? Berita ini nggak mungkin bohong! Ini internal, orang luar nggak akan bisa bergosip tanpa alasan!" Melati memegang rambutnya dengan kedua tangan. Mulutnya bergerak dalam diam seolah ada banyak yang ingin disampaikan, tapi tidak bisa diutarakan. Roy tidak memberikan reaksi. Kabar itu terlalu mengejutkan. Ponselnya masih di tanah, tapi pikiran mereka berdua ke mana-mana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD