Jamuan makan ricuh. Semua tegang. Namun, Ferdi segera memberi perintah agar semua duduk dan kembali tenang. Setelahnya, dia menoleh pada Andini.
Andini menunduk sopan, lalu berkata,“Aku akan memeriksa keamanan dapur dan memastikan pelayan ini mendapatkan pertolongan medis sebelum polisi datang.”
Melati mundur. Napasnya memburu.
Roy menatap ayahnya, seolah mencari alasan untuk membantah semuanya.
“Papa… dia manipulatif. Ini semua siasat. Kasus ini tidak perlu sampai ke polisi!”
Ferdi menghela napas. “Kalau begitu, belajar darinya. Karena sejauh ini, kamu hanya ingin warisan, tapi belum pernah menyelamatkan hidupku.”
Roy mengepalkan tangan.
"Semua pulanglah, kita akan mengadakan jamuan lagi kapan-kapan."
Para tamu pulang lebih cepat. Saat malam turun sepenuhnya, hanya Ferdi dan Andini yang tersisa di ruang makan.
Gelas-gelas kosong. Lilin yang tinggal sumbu, tapi keduanya masih duduk.
“Kamu menjadikan dirimu perisai dan pisau di saat yang sama,” gumam Ferdi.
Andini tersenyum. Mencabut anting dan meletakkannya di meja.
“Aku istrimu, bukan lilin dekorasi.”
“Sekarang, kamu wanita paling ditakuti di rumah ini.”
“Lalu siapa yang beruntung? Aku atau kamu?”
"Tentu saja, kita."
Andini tersenyum tipis.
"Jadi, apa kamu akan melanjutkan kasus ini ke polisi?"
"Aku tidak akan benar-benar melakukan itu. Cuma mau nakutin dia aja. Gimana pun kasus ini akan menjadi skandal bila terdengar orang luar."
"Jadi?"
"Aku hanya ingin membuat mereka seperti orang kebakaran jenggot agar di masa depan, dia tidak akan berani meletakkan satu jarinya pun di rumah ini. Dia harus tahu, bahwa akulah nyonya di rumah ini sekarang. Bukan dia."
"Well, kamu berhasil, My loved."
***
Pagi setelah jamuan. Ferdi duduk di ruang kerja. Kopi belum disentuh. Di luar, suara pertengkaran seperti petir menggema dari ruang tamu utama.
“Putri kami tidak mungkin melakukan hal seburuk itu!”
“Melati tidak tahu apa-apa! Dia hanya ceroboh! Masih muda!”
“Jangan karena satu kesalahan, kamu rusak seluruh hubungan ini!”
Tuan dan Nyonya Surya—orangtua Melati—datang pagi-pagi sekali, tanpa undangan, dengan wajah merah dan suara keras.
Melati sendiri menangis dari tadi. Sesekali tersedak sambil menggeleng-geleng.
Roy? Hanya duduk. Diam.
Tak membela. Tak menyangkal.
Matanya kosong. Pengecut yang kehilangan taring sebelum sempat bertarung.
Andini turun dari lantai dua. Rambut disanggul anggun. Gaun rumah sutra lembut. Ia tidak bicara. Tidak menyela, hanya hadir.
Dalam kehadiran itu, semua suara mulai meredup.
Tuan Surya berdiri. “Nona Andini—maksud saya, Nyonya... kami tahu Anda perempuan cerdas. Kasus ini... ini bisa diselesaikan baik-baik, bukan dibesar-besarkan.”
“Aku juga mau penyelesaian baik-baik,” jawab Andini sambil menuang teh untuk dirinya. “Ketika racun menyentuh rumah ini, bukan aku yang membesarkan masalah,melainkan yang meracik.”
Melati menangis keras. Ibunya mendekapnya.
“Dia hanya anak muda dan terlalu emosional. Dia tak tahu apa yang dilakukan. Kami minta maaf.”
Ferdi bicara akhirnya. Dingin.
“Sayangnya, tubuhku terlalu tua untuk main tebak-tebakan soal racun.”
Herdi Martenez, adik bungsu Ferdi masuk ke dalam rumah. Dasi setengah lepas. Duduk santai di lengan sofa, kaki satu naik.
“Drama pagi ini luar biasa. Aku datang buat ngopi, eh dapat pertunjukan. Bravo, Nyonya Andini.”
Andini tersenyum kecil. Herdi adalah tipe yang bisa jadi sekutu—atau pemicu kekacauan tambahan.
“Kalau aku tahu kamu sepintar ini, harusnya aku yang menikahimu. Setidaknya aku masih bujangan.” Dia tersenyum penuh arti. “Bagaimana, kakak ipar? Menyesal?”
Ferdi melirik tajam, tapi Andini hanya tersenyum tipis.
“Aku tidak mencari yang muda. Aku mencari yang layak.”
Herdi terkekeh. “Aduh... sakitnya masuk sampai ke ego.”
Farhat Martenez (48) dan istrinya Jihan (45) masuk. Mereka adalah pasangan formal. Dingin. Tajam. Di belakang mereka berdiri Maura, putri mereka. Dia tinggi, modis, dengan tatapan menghina sejak turun dari mobil.
Farhat langsung bicara,“Pernikahan ini... adalah aib.”
Jihan menyambung, “Kami tidak akan mengakui Andini sebagai bagian dari keluarga.”
Maura melipat tangan.“Aku juga tidak butuh tante tiri yang haus kekuasaan sampai tidur dengan kakak ayahku.”
Suasana seperti pisau di udara. Andini menatap Maura. Tidak marah. Tidak terguncang. Justru ada senyum kecil... seperti seorang ibu yang tahu anak ini belum pernah dilukai dunia.
“Kelak kamu akan tahu bahwa pernikahan bukan soal siapa yang lebih muda, lebih cantik, atau sepadan... tapi tentang saling mengandalkan tanpa pengkhianatan.”
Maura mendengus, tapi tidak membalas.
Ferdi berdiri. Nadanya cukup keras untuk memotong atmosfer.
“Andini adalah istriku. Siapa pun yang meragukannya, silakan keluar dari rumah ini.”
Farhat mengepal. “Ini belum selesai.”
“Tentu belum,” sahut Andini ringan. “Karena kalian belum pernah menghadapi wanita yang bisa menjawab dengan kepala tegak, bukan air mata.”
Farhat dan keluarganya pergi dengan kesal. Orang tua Melati hanya diam. Semua terbungkam keanggunan Andini.
***
Di malam hari, Ferdi dan Andini duduk di balkon pribadi.
“Tadi pagi kamu membuat banyak musuh.”
“Nggak masalah. Yang penting aku tetap menang.”
Ferdi mengangguk lalu diam sebentar.
“Kamu berhasil membuat semua Martenez berhenti meremehkanmu.”
“Kapan aku dapat posisi di perusahaan?”
Ferdi tersenyum. “Senin pagi. Lantai delapan. Ruang Wakil Ketua Dewan.”
"Makasih ya."
"Kamu akan membuat mereka semakin takut," gumam Ferdi. "Serigala yang takut, akan semakin berkumpul untuk melawan."
Andini tersenyum kecil. Ia menyandarkan punggung ke kursi malas yang dilapisi wol halus.
“Aku nggak akan mundur. Aku akan terus maju dan melawan meskipun mereka berusaha menelanku bareng.”
Ferdi tersenyum, ada perasaan kagum dan puas.
“Kamu tahu, aku menikah denganmu awalnya hanya karena logika, tapi hari ini, aku pikir sedang diajari untuk tidak meremehkan siapa pun yang datang dengan luka, bukan permintaan.”
Andini menatapnya. Matanya lembut, tapi penuh ketetapan.
“Aku nggak butuh cinta, tapi nggak nolak andai kamu jatuh hati. Pelan-pelan saja.”
Ferdi mengangguk pelan. “Kalau aku gagal?”
“Seenggaknya kamu akan diingat sebagai lelaki yang menepati perjanjian dan tetap hidup karena tidak keras kepala.”
Hening. Angin malam menggoyang tirai.
Andini berdiri perlahan, lalu berjalan mendekati Ferdi.
Ia berhenti di samping kursinya. Membungkuk sedikit dan mencium pipinya. Bukan ciuman penuh hasrat. Bukan juga kelembutan palsu, tapi tanda dari seseorang yang tahu cara memberi hadiah tanpa menjual dirinya.
“Selamat malam, Tuan Martenez.”
Ferdi terdiam. Pipi kirinya masih terasa hangat.
Sebelum ia sempat menjawab, Andini sudah melangkah pergi—gaun malamnya berdesir seperti bisikan rencana di masa depan.