Eleanor Anabelle Kristal

1330 Words
Gumpalan awan seputih kapas berarak menyambut kedatangan penguasa langit. Mentari nampak anggun menapaki jalan menuju singgasananya. Kemilaunya begitu indah berpadu dengan permadani raksasa berwarna putih yang membentang luas. Pagi telah menjemput sepenuhnya. Tempat jiwa-jiwa memenuhi haknya untuk beristirahat telah usai. Seorang gadis berbulu mata lentik nampak mengerjapkan matanya. Bias sinar mentari yang menebus jendela dan menerpa wajahnya terasa menyilaukan. "Kris, aku sudah siapkan sarapan untukmu. Cepat pergi mandi karena syuting akan dimulai jam delapan nanti." Gadis berbaju cokelat susu itu mengingatkan. "Baiklah. Aku akan mandi dengan cepat." Eleanor Anabelle Kristal, gadis berusia dua puluh tiga tahun yang akrab di sapa Kristal itu pun bangkit dari pembaringannya. Ritual mandinya tak memerlukan banyak waktu seperti kebanyakan gadis lainnya. Tuhan menganugerahkan kulit seputih susu yang berkilauan. Jika dilihat dari dekat, kulitnya bahkan seperti tak memiliki pori-pori, begitu halus dan lembut. Tinggi badannya seratus enam puluh tujuh centi dengan berat badan empat puluh delapan kilogram. Bentuk dada yang membusung indah dan padat, di dukung dengan bokong yang berisi. Sangat ideal. Dapat dibayangkan seindah apa tubuhnya. Kristal mengeringkan surai panjangnya yang berwarna cokelat seperti madu. Kulit wajah serta tubuhnya begitu mulus tanpa cela. Tulang pipinya membentuk indah wajahnya yang berbentuk V. Dagu lancip bak lebah bergantung. Tanpa bulu mata palsu, barisan rambut di atas kelopak matanya itu hitam, sangat lentik juga panjang. "Benar-benar sempurna. Kau memiliki tubuh yang diberkati Kris. Lihat, dari ujung rambut hingga ujung kaki, kau terlihat memukau. Aku sampai tak percaya, kau ini sebenarnya manusia atau jelmaan bidadari yang tersesat di bumi?" Kristal yang tengah mengoles perawatan tubuh paginya pun terkekeh mendengar penuturan teman sekaligus manajernya. "Kenapa tertawa," sinis Yura. "Habis, kau seperti belum pernah melihatku saja." "Aku berani bersumpah demi apa pun Kris, kau memang selalu membuatku terpana. Aku saja sebagai sesama perempuan begitu tertarik padamu, apa lagi pria?" Yura berjalan mendekati meja rias. "Alismu hitam dan tebal seperti semut beriring, matamu sedikit besar dengan manik mata kecokelatan yang indah. Hidungmu mancung, bibirmu tipis berwarna merah jambu, sangat alami. Hm, satu lagi. Pipimu selalu bersemu merah seperti buah persik. Melihatmu sudah seperti melihat sesuatu yang sangat menyegarkan dan membuat orang yang melihatmu tak pernah bosan, justru mereka akan semakin tertarik padamu. Tak heran kalau kariermu langsung melejit dalam kurun waktu dua tahun ini," Yura terus berceloteh. "Simpan saja pujianmu, aku sudah lapar." Kembali meletakan kotak krim wajahnya di meja rias. "Dasar!" Yura mendumel. Selalu saja begitu, setiap kali Yura berusaha mengatakan hal itu, Kristal pasti akan mengabaikannya. Duduk di meja makan dengan sepotong salmon panggang, satu butir telur rebus dan beberapa potong sayur segar, Kristal begitu menikmati sarapannya. "Yu, apa saja jadwalku hari ini?" "Syuting sinetron sampai jam dua. Jam tiga pemotretan untuk acara pembukaan kosmetik baru. Jam lima ada kelas pilates, jam tujuh kau harus menghadiri ajang penghargaan festival film dan musik. Kemungkinan kita baru bisa tidur di kasur jam satu malam," Yura mengeja kegiatan Kristal selama seharian ini. "Tidak masalah, asal saldo dalam rekeningmu menjadi gendut. Bukan begitu?" "Tentu saja." kedua gadis itu tertawa bersamaan. "Kau yang selalu bilang begitu saat aku sedang mengeluh padamu," Kristal menimpali. "Ya baiklah." Segelas susu rendah lemak menjadi pelengkap sarapan pagi mereka sebelum kembali disibukkan dengan rutinitas harian. Yura terus memacu kendaraan roda empatnya, menembus hiruk pikuk kota yang mulai menggeliat. Kebetulan lokasi syuting terletak di kawasan perumahan elit yang dekat dengan taman hiburan, dan ruas jalan yang mereka lalui akan menjadi macet di jam-jam tertentu. Usai berkendara sekitar tiga puluh menit, Yura memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus. Pintu mobil terbuka, menampilkan kaki jenjang Kristal yang terbalut stiletto setinggi sembilan centi. Cara jalannya yang anggun membuat tubuhnya seakan meliuk-liuk di atas papan jalan para model. Dress motif bunga sepanjang lutut dengan aksen tali spaghetti di pundaknya, menonjolkan bahunya yang indah dan tegak. "Kak Jer. Selamat pagi," sapa Kristal pada Jerry, sutradara sekaligus sepupunya. "Pagi, cantik. Hm, berapa lama kau tidak pulang? Mami dan Papi sangat merindukanmu," ujar pria bertopi hitam itu. "Ah, ya. Sejujurnya aku pun sangat merindukan Tante Amira dan Om Rafly, tapi Kakak kan tahu sendiri kegiatanku seperti apa. Sudah hampir satu bulan ini aku hanya tidur dua jam di setiap malamnya Kak," layaknya anak kecil, Kristal mengadu. "Jangan terlalu menyiksa diri. Kau masih muda, tapi bukan berarti dengan begitu kau bisa mengambil banyak pekerjaan sekaligus. Akan aku tegur si nenek pirang itu kalau dia memaksamu bekerja keras," omel Jerry. "Hei! Kenapa kau membawa-bawa namaku!" Hardik Yura. Gadis itu berkacak pinggang seolah menantang Jerry untuk berkelahi. Jerry menjulukinya dengan sebutan nenek pirang, dan dia sangat tidak suka. "Awas bedakmu luntur jika kau marah-marah," goda Jerry. "Dasar sutradara gila! Jika saja tidak sedang ada di sini, sudah aku jahit mulutmu itu!" "Sudah ... Sudah, sebentar lagi syutingnya di mulai. Sebaiknya kau segera membantuku untuk bersiap," pinta Kristal. "Lain kali, jangan harap kau akan selamat," Yura mengancam Jerry. Melakukan gerakan menyayat leher sebelum akhirnya gadis itu berlari mengejar Kristal. Tak butuh waktu lama untuk Kristal bersiap-siap. Inilah salah satu kelebihan yang membuat orang-orang di sekitarnya begitu menyukai gadis itu. Kristal begitu fleksibel sehingga dia dengan mudah menyesuaikan diri di segala situasi. Kristal kembali melenggang menuju tempat syuting dengan Yura yang terus mengekorinya. "Sayang." Kristal menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya. "Ooh, Kak. Tumben telat?" "Jalanan macet. Aku ganti baju dulu ya," ucap pria itu seraya mendaratkan kecupan di pipi Kristal. "Cie ... Aku perhatikan kalian makin romantis saja, padahal nanti kalian harus beradegan marahan lho." "Tenang saja, aku sudah terlatih profesional, begitupun dengan calon istriku, bukan begitu, Sayang?" Kristal merasakan pipinya memanas. Entah sudah semerah apa wajahnya sekarang. Menikah? Dengan lelaki yang dicintainya? Siapa yang akan menolak? "Sudah?" Senyum Kristal menyurut saat melihat Yura sedang menatapnya dengan serius. "Menganggu saja," Kristal mencebik. "Dia sudah pergi, dia sedang berganti baju. Kalian juga akan kembali bertemu sebentar lagi, jadi tidak perlu kau memajukan bibir seperti itu. Sudah kubilang untuk jangan mengerucutkan bibir seperti itu, kau tahu ... Hanya dengan merajuk saja kau sudah mengundang hasrat para lelaki untuk mencium dirimu." "Ish, mengerikan sekali, Yu. Apa hubungannya merajuk dengan sebuah ciuman?" "Tentu saja ada. Tidur pun, kau kelihatan seksi, apa lagi saat sedang merajuk dengan memajukan bibir begitu," cecar Yura. "Berapa kali aku ingatkan, kau itu sangat cantik, kau harus lebih bisa menjaga diri lagi." "Astaga, Tante Amira saja sebagai Tanteku masih kalah cerewetnya denganmu," gumam Kristal. Wanita itu berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Yura yang masih mengomel. Adegan demi adegan sukses Kristal lewati dengan baik, tinggal pengambilan satu adegan terakhir dan syuting hari ini akan berakhir. Berjam-jam berada di ruang terbuka saat udara panas membuat Kristal menepi duduk di bangku taman. "Untukmu," ujar seseorang saat menyodorkan satu kotak kecil es krim cokelat. Kedua sudut bibir Kristal melengkung ke atas saat melihat sosok yang saat ini ada di sampingnya. Pria jangkung bermata sipit itu pun menyendokan es ke dalam mulutnya. "Makanlah," ujarnya lembut. Sudah hampir tiga tahun keduanya saling kenal. Keenan, nama pria itu. Ganendra Keenan Athaya, pria yang hanya selisih dua tahun di atas Kristal itu memang sejak satu tahun terakhir ini menjalin hubungan spesial dengannya. Seringkali dipertemukan menjadi pasangan dalam sebuah sinetron ataupun film, membuat keduanya terlibat cinta lokasi. Rasa cinta yang awalnya hanya mereka perlihatkan di depan layar, berubah menjadi cinta yang sebenarnya, dan rasa ingin saling memiliki. "Terima kasih," kata Kristal. Memakan es krim di tengah hari terik begini terasa begitu nikmat. Kristal tanpa sadar terus menyuapkan es padat itu ke dalam mulutnya. "Ehm," Kristal menggeram, dia merasakan ada yang aneh dalam es krim yang dia makan. Keenan tersenyum melihat kekasih hatinya mengeluarkan sesuatu dari mulutnya. Kristal terbelalak saat melihat benda yang saat ini ada di tangannya. Beruntung, benda itu tak tertelan. Kristal terus mengamati benda itu. Benda mungil berbentuk lingkaran berwarna putih bertahtakan berlian tiga karat di atasnya. Semua itu tidak mungkin terjadi, kecuali ... "Kak," panggil Kristal, lembut. Kenan mengangguk. "Aku tidak main-main dengan ucapanku. Menikahlah denganku." Kristal bergeming. Bagaimana Keenan dengan sikapnya yang selalu membuat Kristal tersipu, lagi-lagi semburat merah menyembul di pipinya. Debaran jantung dan cerahnya alam seolah musik pengiring yang mengalun merdu di gendang telinga wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD