Kaisar Biru Samudra

1426 Words
Berdiri di depan jendela kaca, seorang pria leluasa mengawasi pemandangan di depannya. Sejauh mata memandang, suasana Ibukota nampak begitu gemerlap. Kerlap kerlip lampu, gedung yang menjulang, juga jalanan yang semakin ramai di malam hari. Semuanya nampak kecil, bak miniatur. "Pulanglah Rom, aku masih ingin di sini," ujar pria itu. "Saya akan menunggu Tuan saja," pria bernama Romy itu pun menyahut. Jarum jam masih terus bergulir. Telah lebih dari tiga jam yang lalu, jam kantor telah usai. Namun, pria itu masih enggan meninggalkan ruangannya. Pria jangkung dengan perawakan gagah, berdiri dengan memasukkan satu tangannya ke dalam saku. Sorot matanya tajam bak elang. Hidung mancung dengan rahang yang tegas, juga bibir sedikit bervolume. Tubuh kekar, dada bidang lengkap dengan bahu lebar yang akan memberikan kesan hangat bagi siapa pun yang memeluknya. Kaisar Biru Samudra. Orang-orang biasa memanggilnya Kaisar. Sesuai namanya, pria itu memiliki aura bak raja yang karismatik. Orang akan menundukkan kepala ketika berhadapan dengannya. Segala sesuatu yang melekat dalam diri pria itu, adalah hasil karya terbaik. "Besok adalah hari ulang tahunku yang ke dua puluh lima," kata Kaisar. "Saya mengingat itu dengan baik Tuan," Romy menyahut. Pria itu masih setia membayangi Kaisar, berdiri tiga langkah di belakang majikannya. "Bertepatan dengan hari peringatan kematian kedua orang tuaku," imbuh Kaisar. "Saya sudah menyiapkan semuanya dengan baik Tuan. Peringatan hari kematian tuan dan nyonya besar akan berjalan dengan lancar." "Bagaimana dengan kado yang aku minta?" Glek! Romy menelan ludahnya kelat. "Akan Anda dapatkan usai Anda menghadiri ajang penghargaan festival film dan musik besok malam," jawab Romy. Lelaki itu membuang napas kasar, tubuhnya sedikit gemetar jika mengingat rencana yang telah dia susun. Rencana yang akan berdampak besar bagi kehidupan seseorang, nantinya. "Pastikan hanya ada aku dan dia yang akan menjadi raja dan ratu, besok malam." "Pasti," jawab Romi, mantap. Kaisar membalikkan badannya. Kakinya terayun menyusuri bangunan yang telah sepi. Sepatu pantofel hitam berkelas yang membalut kakinya terdengar mengetuk-ngetuk lantai. Tanpa menunggu perintah, Romy terus mengekori pria itu. La Ferrari berwarna merah mengkilap itu membawa mereka menuju mansion Kaisar. "Pastikan semuanya berjalan dengan baik, aku tidak mau rencanaku gagal!" Kata Kaisar, sekali lagi dia mengingatkan asistennya sebelum Romy pergi dari rumahnya. "Baik Tuan." Romy membungkuk hormat. "Makan malam sudah saya siapkan Tuan," ucap Sherly, kepala pelayan di rumah itu. "Bibi istirahat saja, sepertinya aku akan langsung tidur." Tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Kaisar tipikal orang yang irit bicara, dia hanya akan membuka mulut jika ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. "Apa suasana hatinya sedang memburuk?" Sherly menatap Romy penuh tanda tanya. "Kapan kita tahu suasana hatinya baik. Tuan bahkan tak pernah tersenyum, dia itu telah lama mati rasa sehingga tidak memiliki ekspresi sama sekali." "Ah, kau benar. Entah marah atau bahagia, wajah Tuan kan memang selalu seperti itu, datar," balas Sherly. "Apa Bibi sudah menyiapkan semuanya untuk besok?" "Tenang saja," sahut Sherly. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu terlihat begitu yakin. "Jangan sampai ada satu pun yang terlewat. Kelangsungan hidup kita yang akan menjadi taruhannya," ujar Romy memperingati. "Kau tenang saja, aku akan mengurus bagianku dengan baik. Kaulah yang seharusnya waspada karena tanggung jawabmu lebih besar." "Huh, Bibi membuatku takut saja," Romy mendengus. . . Kaisar ke luar dari kamar mandi dengan tubuh terlilit handuk. Droplet-droplet dari ujung rambutnya masih menetes, jatuh menimpa dada bidang juga sebagian tubuhnya. Semakin menambah kesan maskulin pada diri pria itu. Untuk sesaat, Kaisar terus mematut diri di depan cermin. Sudut bibirnya terangkat ke atas, lengkungan sangat tipis terbentuk. Sebuah senyuman yang begitu samar, bahkan tak bisa dikatakan sebagai senyuman. 'Aku menjaga tubuhku untukmu, bentuk tubuh, penampilan. Aku bahkan tak pernah membiarkan orang lain menyentuh kulitku, karena semuanya akan aku persembahkan hanya untukmu. Kaulah satu-satunya wanita yang pantas untuk memilikinya,' Kaisar membatin. Massa otot yang terbentuk di lengannya, perutnya yang pas terbagi menjadi enam kotak. Semua itu ia dapatkan susah payah dengan menjaga pola makan dan juga olahraga teratur. "Wajahku tak kalah tampan dari lelaki sialan itu. Aku cocok menjadi pasanganmu, dan hanya aku yang paling pantas menjadi pendampingmu," monolognya. Selesai mengagumi tubuhnya sendiri, Kaisar meraih kaos polo warna navy lalu gegas merebahkan tubuhnya di pembaringan. Wajah seorang gadis tengah tersenyum padanya terus menghiasi langit-langit kamar. Angan Kaisar melayang, membuatnya terdampar di suatu masa. Masa indah sekaligus kelam yang membuatnya dilema. Susah payah Kaisar berusaha memejamkan mata, tapi kesadarannya masih sepenuhnya ada. Mata itu memang terpejam, tapi angannya enggan. Dia terus sibuk mencumbu bayangan seorang gadis. Ah, bisa gila Kaisar jika terus seperti ini. Dalam hampir sepuluh tahun terakhir ini. Semesta menjadi saksi, betapa Kaisar menghabiskan waktunya dengan hanya memuja seorang gadis. Menikmati dinginnya malam dengan mendekap bayangan itu. Sedikit tersiksa, tapi Kaisar mencoba bertahan. Dia harus bersabar, tidak lama lagi, impiannya akan segera terwujud. Kicau burung terdengar merdu, tetesan embun berjatuhan dari pucuk dedaunan. Kaisar membuka mata, pening, itu yang dia rasakan. Entah jam berapa kantuk menyerangnya hingga akhirnya tubuh itu tumbang, dan mulai mengarungi samudera mimpi. Yang jelas, Kaisar merasa dia tak cukup tidur. Kaisar lekas bersiap-siap untuk kembali memulai rutinitasnya. "Sarapannya sudah siap Tuan," beritahu Sherly begitu melihat tuannya memasuki ruang makan. "Hm." Para pelayan berjajar rapi, tak jauh dari meja makan, takut tuannya membutuhkan sesuatu. "Apa Romy sudah memberitahu pada Bibi, apa-apa saja yang harus Bibi lakukan hari ini?" sepotong putih telur rebus berhasil Kaisar telan. "Sudah Tuan." "Jangan sampai ada yang terlewat, Bibi tahu ... Aku tidak bisa menerima kesalahan, sedikit pun!" tegas pria itu. "Mengerti Tuan." Kembali menyuapkan sesendok telur rebus, Kaisar makan dengan anggunnya. Aura bangsawan begitu melekat dalam dirinya. Fisik yang begitu rupawan, didukung dengan perangainya yang begitu sopan, membuatnya menjadi incaran setiap gadis. Tak terkecuali rekan bisnis wanitanya, tapi percayalah. Dari sekian banyak wanita yang pernah dia temui selama hidupnya, belum pernah ada yang mampu menandingi gadis pujaan hatinya. Dia, tetaplah bertahta di kerajaan hati Kaisar. Tak ada celah, seluruh ruang telah terisi, pengaruhnya yang begitu kuat membuat sosok itu tak tergantikan. Kaisar terus disibukkan dengan pekerjaannya sepanjang hari ini. Baru pada pukul tiga, lelaki itu memutuskan untuk meninggalkan kantornya. Dengan membawa buket bunga anggrek, langkah kakinya terayun menuju sebuah tempat, tanah lapang dengan barisan makan yang tersusun rapi. Kaisar bersimpuh di depan nisan. Dua buah buket bunga itu Kaisar letakkan masing-masing di dua nisan yang saling berdampingan. "Ayah, bunda ... Putramu datang. Maafkan karena hari ini aku masih datang seorang diri. Pada peringatan hari kematian kalian berikutnya, aku janji akan membawanya ke mari," monolog Kaisar. "Ayah dan bunda tenanglah di sana, aku baik-baik saja," ucapnya lagi masih dengan ekspresi wajah datar. Romy yang berdiri tak jauh dari pria itu sampai terheran-heran. Bisa-bisanya Kaisar memasang tampang datar begitu, padahal dia tahu betul bagaimana perasaan Kaisar. Bertahun-tahun mengabdi pada Kaisar, membuat Romy sedikit banyaknya bisa memahami sosok itu. Kaisar paling tidak suka memperlihatkan kesedihan atau kelemahannya di depan orang lain. Sikap dingin dan angkuh yang selama ini dia tunjukkan, semata hanya demi menutupi jati diri yang sesungguhnya. Cukup lama kedua pria itu berada di pemakaman, hingga Kaisar selesai mengutarakan semua isi hatinya. Sama sekali tak ada gurat kesedihan di wajah itu, Kaisar terus melangkahkan kakinya. 'Sudah seperti aktor saja. Pandai sekali Tuan menyembunyikan perasaannya,' batin Romy. Romy terus melajukan kendaraan roda empatnya menuju suatu tempat. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum ia pergi mengantar tuannya menuju gedung tempat diselenggarakannya ajang penghargaan itu. Malam yang begitu dinantikan oleh Kaisar pun tiba. Pria itu duduk di tempat yang telah disediakan khusus untuknya. Selaku pemilik perusahaan media dunia, Kaisar tentunya mendapatkan perlakuan khusus juga. Sepanjang acara berlangsung, Kaisar terlihat gelisah. Bahasa tubuhnya memang tidak terlalu kentara, tapi Romy dapat menyaksikan saat sesekali atasannya itu melirik ke satu titik. Kaisar merasakan jantungnya berpacu dengan cepat. Ya, sosok yang begitu ia dambakan, siang dan malam. Nyata, ada di depan matanya. Gadis yang memakai gaun berwarna off white tanpa lengan itu terlihat begitu cantik. Gaun yang panjangnya menjuntai menutupi mata kaki dengan belahan dada rendah menambah kesan seksi. Surainya yang kecokelatan dia biarkan tergerai dengan hiasan di kepalanya. Tak henti-hentinya Kaisar menyanjung gadis itu. Namun, suasana hatinya mendadak kacau saat seorang pria terlihat mendekat dan mengajak bidadarinya berbincang. Emosi kian merasuki jiwanya terlebih saat mengetahui sosok pria itu. Tangan Kaisar terkepal, rahangnya mengeras dan darahnya terasa mendidih. 'Aku tidak akan membiarkanmu disentuh lelaki lain, apa lagi dimilikinya! Kau adalah milikku, hanya milikku,' batin Kaisar begitu murka. Pria itu lalu menjentikkan jarinya. "Ya Tuan," ujar Romy, mendekat. "Kau sudah pastikan semuanya berjalan sesuai rencana?" "Ya Tuan. Saya jamin rencana kita akan berhasil," setengah berbisik, Romy menyahut. Kaisar mengangguk. Dia mengkode Romy untuk kembali ke tempat duduknya. 'Malam ini juga, aku pastikan kau akan menjadi milikku,' batin Kaisar. Seringai tipis terbentuk di bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD