"Kau sangat cantik malam ini," Keenan memuji kekasihnya.
"Apa aku pernah terlihat jelek?" Kristal tersenyum geli membayangkan dia mengatakan hal itu.
"Mana mungkin, sedangkan kau tahu kalau hidupmu dipenuhi dengan keberkatan."
Kristal kembali tersenyum, memamerkan barisan giginya yang putih dan berjajar rapi. Siapa yang tak akan terpesona dengan senyumnya yang menawan? Semua yang ada dalam diri gadis itu bagai candu yang memabukkan. Takut tak bisa menahan diri, hal itulah yang membuat Keenan ingin meresmikan hubungan mereka secepatnya.
Dua sejoli itu terus larut dalam obrolan pribadinya, membiarkan sang pembawa acara dengan tugasnya berdiri di panggung. Acara pun di mulai.
"Tentang lamaranku tempo hari ...," Kenan menggantung ucapannya.
"Beri aku waktu. Aku akan memberitahukannya terlebih dulu pada Om Rafly dan Tante Amira."
"Aku akan menunggu. Semoga secepatnya kita dapat meresmikan hubungan ini."
"Aku harap pun begitu." Menerima gelas yang disodorkan Keenan untuknya.
Ah, caranya mereguk cairan dalam gelas itu terasa begitu mengundang. Bibir tipis berpoles gincu merah itu, ingin sekali Kaisar melumatnya.
Kaisar. Ya, pria itu sedari terus mengawasi interaksi Kristal dan kekasihnya. Giginya terus bergemerutuk saat Keenan membuat gadis itu tertawa. Berusaha untuk tetap tenang, wajahnya pun biasa-biasa saja, cenderung tanpa ekspresi, tapi kenapa hatinya terasa nyeri? Seolah ada kobaran api yang menimbulkan sesak dan hawa panas secara bersamaan.
Senyuman terus terkembang di bibir tipis Kristal. Gadis itu baru saja turun dari panggung setelah mendapatkan banyak piala penghargaan di ajang penghargaan festival film dan musik tahun ini. Kebahagiaan yang tengah ia rasakan seolah bertambah berkali-kali lipat. Setelah lamaran mengejutkan yang cukup romantis siang hari ia dapatkan, malamnya dia berhasil memboyong beberapa penghargaan sekaligus. Tak sendiri, ada juga dua penghargaan yang dia dapat bersama kekasihnya, Keenan. Tak mengherankan memang, mengingat mereka berdua sering terlibat adu akting dalam satu proyek.
Melihat Kenan memberikan tangannya pada Kristal, juga caranya membimbing jalan, membuat Kaisar kehilangan kendali. Pria itu pergi begitu saja tanpa pamit, dan seperti biasa, meskipun wajahnya masih datar-datar saja akan tetapi faktanya Romy tahu kalau majikannya itu tengah terbakar api cemburu.
"Kau bisa menyetir dengan cepat, tidak? Atau kau mau aku mengemudikan mobil ini sendiri," sinis Kaisar.
"Tentu saja tidak, Tuan. Mana berani saya menyuruh Anda menyetir. Kendalikan diri Anda, karena Anda masih harus menyimpan tenaga untuk malam nanti," ucap Romy, hati-hati. Alih-alih membuat emosi Kaisar mereda, yang ada pria itu akan semakin mengamuk.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam sepuluh Tuan, tersisa satu jam lagi dari rencana yang sudah kita targetkan."
"Suruh anak buahmu bekerja dengan benar! Perintahkan mereka untuk tidak menyakiti wanitaku, atau ... Mereka akan tahu akibatnya."
Pening sekaligus merinding mendengar Kaisar terus berkata begitu. Sudah tak terhitung lagi jumlahnya, Romy sampai jengah karena Kaisar terus mengatakan hal yang sama sejak beberapa hari lalu, hingga detik ini.
"Saya sendiri yang akan menjadi jaminannya, Tuan." tak ada yang dapat Romy ucapkan selain hanya berusaha untuk meredam kemarahan Kaisar. Romy paham betul, Kaisar hanya akan banyak bicara jika ia benar-benar telah kehilangan kesabaran.
Mobil super itu terus menembus gelapnya malam. Lupakan berendam dengan air hangat sebelum tidur, karena nyatanya hal itu hanya akan menjadi mimpi saja bagi Romy.
'Malam ini juga, kau harus menjadi milikku, Kristal.' Kaisar terus meremas kedua tangannya.
Di sisi lain.
Setelah pagelaran akbar itu berakhir, Kristal berniat pulang ke apartemen. Tak sabar rasanya dia ingin mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat letih. Beruntung dia mendapat jatah libur besok.
Keenan yang tak bisa mengantar kekasihnya pulang dengan alasan tak mau hubungan keduanya terendus publik, memilih untuk pulang lebih dulu. Kristal yang paham dengan situasi mereka pun tak mempermasalahkannya. Gadis itu mengendarai kereta besinya sendiri karena Yura mendadak diare dan berpamitan untuk pulang terlebih dulu ketika acara baru berjalan setengahnya.
Kristal terus menekan pedal gasnya. Malam kian merambat, dan jalanan cukup lengang. Segera tidur di kasur empuknya dan bangun siang sudah ada dalam bayangan gadis itu.
Butuh waktu empat puluh menit dari lokasi tadi menuju apartemen Kristal. Gadis cantik itu pun membelokkan mobilnya. Jalanan yang sepi tak menyurutkan niatnya untuk segera sampai. Hingga tiba-tiba.
Sreekkk!
Bunyi decitan ban dengan aspal terdengar memekakkan telinga. Hampir saja tubuh Kristal membentur kemudi seandainya saja sabuk pengaman tidak melekat di badannya.
"Apa orang itu belum memiliki SIM? Dia kira jalan ini milik nenek moyangnya apa, main ngerem mendadak begitu." Kristal mengumpati mobil di depannya yang tiba-tiba mengerem mendadak, dan menghalangi jalannya.
Baru saja Kristal berniat menjalankan mobilnya lagi, tapi tiba-tiba dia melihat segerombolan orang mengepung mobilnya. Orang-orang berbadan tinggi besar yang berpakaian serba itu terlihat begitu menyeramkan.
"Cepat keluar!" Ujar salah satu dari pria itu.
Belum lagi Kristal menguasai keterkejutannya, mereka dengan paksa berusaha membuka pintu mobil. Kristal meneguk salivanya kelat. Butiran peluh merembes di keningnya, tubuhnya bergetar hebat.
'Ada apa ini? Kenapa adegan seperti ini seolah tak asing lagi. Ini adalah adegan ... Ya Tuhan, apakah aku akan diculik, dirampok, atau ...' Kristal tak sanggup melanjutkan kalimatnya, dia tersengal, napasnya memburu. Kristal begitu ketakutan.
"Cepat buka pintunya sebelum kesabaran kami habis dan kami akan bertindak kasar padamu, Nona."
"Argh!" Kristal menjerit saat salah satu dari mereka berhasil membuka pintu mobil dan membawanya paksa ke luar dari sana.
"To ... Tolong, jangan sakiti aku. Kalian bisa mengambil apa saja, tapi tolong jangan sakiti aku," pinta Kristal.
Di saat genting seperti ini, Kristal baru menyadari betapa pentingnya pengawal. Bodohnya dia yang menolak pengawalan dari pihak managemen untuk mengantarnya pulang tadi. Sedangkan pengawal pribadinya sengaja dia suruh istirahat di rumah.
'Celakalah aku,' batin Kristal menjerit.
"Anda mau masuk sendiri ke dalam mobil ini, atau perlu kami melakukan kekerasan," lagi, pria berkepala pelontos itu mengancam.
"Jadi kalian tidak mau merampokku? Lalu apa mau kalian?" Masih dengan tubuh bergetar, Kristal memberanikan diri untuk bertanya.
"Yang jelas kami hanya menjalankan perintah. Kami tidak akan menyakiti Anda jika Anda bisa diajak bekerja sama."
"Ma ... Maksud kalian?"
"Cepat naik, atau kami akan ..."
"Janji dulu, kalian nggak akan menyakiti atau menyentuhku?"
Kembali, Kristal merutuki kebododohannya, bisa-bisanya dia bertanya begitu di saat genting seperti ini. Kristal terus berpikir keras, memikirkan jalan bagaimana dia bisa lari dari sekelompok orang jahat itu. Kristal terus menghitung mundur dalam hati.
Tiga
Dua
Satu
Secepatnya Kristal berlari dari sana, tak peduli sesekali kakinya terseok karena sepatu hak tinggi yang dipakainya. Kristal terus mengayunkan kakinya, seiring dengan air mata yang mulai berjatuhan.
'Ya Tuhan, tolonglah aku.'
"Hei Nona, jangan lari! Kau tidak akan bisa lari dari kami."
Kristal semakin mempercepat larinya, sementara tujuh orang lelaki di belakangnya, terus mengejarnya. Bayangkan saja, satu wanita lawan tujuh pria berotot. Makin lama, Kristal tak sanggup lagi. Kakinya terasa sakit, dan dia pun terjatuh.
"Jangan! Kalian boleh mengambil apa saja milik saya, tapi tolong ... Jangan sentuh aku! Jangan dekati aku, aku mohon!"
Dua dari tujuh pria itu mendekati Kristal, tak peduli dengan lolongan gadis itu. Kristal terus meronta, sampai habis tenaganya, tapi semua seolah tak ada artinya. Yang Kristal tahu, hidupnya dalam bahaya, sebelum akhirnya kesadarannya hilang usai sapu tangan merah berhasil menyentuh hidungnya.
.
.
Kristal mengerjapkan matanya, kepalanya terasa sangat pening. Dia terus memindai ruangan bercat abu-abu itu. Kamar berukuran super luas dengan segala perabotan yang ada di sana menyiratkan nuansa maskulin. Kamar lelaki, pikir Kristal.
Susah payah gadis itu berusaha bangkit dari kasurnya. Lagi, Kristal terus mengedarkan pandangannya. Dia ingat, terakhir kali dia berhasil ditangkap oleh orang jahat itu. Sontak Kristal menjerit, serta merta dia meneliti tubuhnya. Baik-baik saja, dia tidak merasakan apa pun, pakaiannya juga masih utuh. Jika dia diculik, faktanya dia tidak akan leluasa dibiarkan begitu saja dalam kamar semewah itu, minimal tangannya terikat tali, itu yang sering dia lihat dalam salah satu adegan penculikan.
Namun, apa tujuan pria tadi itu membawanya kemari?
Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam benak Kristal. Penasaran. Gadis itu pun menyeret kakinya untuk menelusuri ruangan itu. Pintu atau jendela, menjadi tujuan utamanya. Berharap menemukan jalan keluar.
Langkah kaki Kristal terhenti saat dia melihat seorang pria duduk di kursi malas yang tak jauh dari daun pintu. Jantungnya seakan melompat manakala pria itu menoleh padanya.
"Si ... Siapa Anda?"
Setiap langkah pria itu membawanya kian mendekati Kristal. Tubuh Kristal menggigil. Bukan karena wajah pria itu menyeramkan. Sebaliknya, wajah lelaki itu begitu tampan. Sangat tampan, sampai membuat Kristal tercenung.
Namun, lagi-lagi Kristal tersadar jika dirinya tengah berada di tempat asing saat ini. Semuanya tak bisa Kristal perkirakan selain adanya bahaya yang sedang mengincarnya. Kristal ketakutan saat menyadari tak ada lagi jarak di antara mereka. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan, hingga tak ada lagi jarak di antara mereka.
Cup.
Kristal mendelik saat benda kenyal nan basah menyergap bibirnya. Otaknya sama sekali tak menemukan satu pun jawaban atas banyaknya pertanyaan yang memenuhi rongga dadanya.
'Apa yang sebenarnya terjadi?'