‘Art Hours’ (1)

1483 Words
POV Rheinatta   ART HOUR (s). SATURDAY, AUGUST 8TH, 2020, 08.50 am. ( TANGGAL CANTIK, GAEEEZZ... 08-08-2020! ) WEST SIDE OF EMERALD PARK, CAMPUS D UNIVERSITAS PRATAMA Jl. Biru Toska Raya, kavling 7-8, Jakarta BE THERE, OR BE LEFT! FREE OF CHARGE, GAEEZ! ( Kalian paling demen, kan, sama yang gratis-gratis? ) Nggak apa, ini persembahan dari hati kami, Mahasiswa-mahasiswi Fakultas Sastra J. Be there, don’t be left! See you J.   Senyumku mengembang menatap spanduk warna-warni yang terpampang di sepanjang jalan masuk menuju Emerald Park hingga di sekitar venue. Spanduk yang bersaing perhatian dengan asrinya deretan pohon cemara di belakangnya. Spanduk serupa, dengan yang kulihat juga di fakultas lain, yang kebetulan bertempat di campus D ini. “Alamaaak, bagusnyaaa..,” ungkapku spontan. “Fakultas Sastra tuh memang deh, gudangnya orang-orang kreatif. No doubt. Jagonya kalau soal menyelenggarakan acara beginian. Pantang kalah sama anak SMA yang doyan ngadain pensi,” sambungku setelahnya. Tiada sahutan dari dua Orang Cowok yang tengah berjalan bersamaku saat ini.  Dua-duanya masih saja berjalan dalam diam, tampaknya asyik menekuri langkah mereka. Gemas aku jadinya. Ngapain sih, mereka? Semedi sambil jalan, apa? Atau jangan-jangan, hanya badan mereka yang berada di sini, sementara hati dan pikiran mereka mengawang-awang, in the middle of nowhere? Haiish! Please deh! “Hon, kok diam?” Pantang membiarkan komentarku tadi digratisin begitu saja, aku meraih lengan Kelvin, Kekasihku yang berjalan di antara aku dan Sahabat kentalnya, Bramantyo Kristiyadi. “Hm? Apa, Bee?” Menyadari entakan lembutku di lengan kanannya, langkah Kelvin auto melambat. Dia menatapku dengan jenis tatapan mata yang selalu sanggup membuatku mabuk kepayang. Kalau saja tidak ingat bahwa aku sedang berjalan saat ini, barangkali telah kurelakan diriku menggelosor, lantas berubah menjadi genangan air di atas paving block yang sekarang kuinjak.  Hm, kamu berpikir bahwa aku agak lebay?  Enggak juga kok. Memang begini rasanya menjadi Pacar dari Seorang Kelvin Wiryawan. Senantiasa dibuatnya jatuh cinta. Catat, SELALU! Bukan sekadar dari caranya memanggilku ‘Bee’ yang terdengar melodius di telingaku, tapi nyaris semua yang ada di dirinya membuat kadar ketergantunganku padanya, kelihatannya bakal bertumbuh terus seiring waktu.  Tapi kuingatkan pada kalian, jangan mimpi jadi Pacarnya Kelvin atau mencari-cari kesempatan dan mencoba untuk menggodanya. Minta dikeramasin sama aku, memangnya? Boleh sih, aku pakein karbol ya, ngeramasinnya! Atau pakai Porstex sekalian. Uuups..., tuh kan aku jadi sebut merk, walaupun sama sekali enggak dibayar untuk jasa endors. Habisnya, baru membayangkan akan ada Cewek lain yang cari perhatian sama Cowok Kesayanganku ini lalu jadi Sainganku saja, sudah mau naik darah lho, aku. “Kalian ngapain, kok jalannya seperti sambil ngelamun, ha?” tanyaku berbalut protes. “Nggak, kok,” sahut Kelvin sambil tersenyum tipis. Jenis senyum yang mampu mengalirkan rasa nyaman, sekaligus menyiratkan secuil misteri. Type senyum yang kuharap, tidak sembarangan dan dengan mudah diobralnya kepada Cewek lain. Ya kecuali Ibunya. Boleh deh kalau itu mah. Sepupu atau Kerabat dekatnya yang Cewek juga boleh. Intinya, yang nggak ada kemungkinan untuk menjadi Pacarnya Kelvin-ku Tersayang deh! “Hayo, kenapa? Terpaksa ya, nemanin aku nonton art hours? Kok mukanya terkesan nggak happy gitu? Enggak enjoy sama keramaian begini? Hah, Bram?” kali ini kulemparkan pertanyaan bukan hanya pada Kelvin seorang, melainkan kepada Bramantyo juga. “Ha?” itu saja yang terucap oleh Bramantyo. Pasang tampang melongo pula dia. “Terpaksa? Enggak dong, Bee." Jawaban tegas Kelvin melegakan perasaanku. Aku lihat, Dia menoleh sekejap pada Bramantyo, yang berjalan di sebelah kirinya. Bagai ada frekuensi yang sama di antara mereka berdua, kebetulan Bramantyo juga tengah melihat ke arahnya. Jadi deh keduanya saling berpandangan. Huh, kalau saja Bramantyo itu Cewek, bisa-bisa aku cemburu campur insecure deh! Bagusnya, Bramantyo itu Cowok, dan pandangan matanya sekarang bukan jenis pandangan mesra, melainkan tatapan protes, ha ha ha! Dia sok-sokan mengerutkan kening dan mengeset wajahnya dengan mode double chin sebagai reaksinya. Lucu banget lho, Cowok satu ini! Nggemesin, aslinya! “Apa sih? Caranya ngelihat gue, kok kesannya nuduh, sih? Enggaklah, gue sama sekali enggak terpaksa. Gimana pun, ini acara yang membanggakan. Ya... meskipun..,” Bramantyo menggantung ucapannya. “Meskipun apa, Bram?” sambarku cepat karena benar-benar ingin tahu. Apalagi, aku melihat gelagat kalau Bramantyo itu sedang menahan senyum tengilnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala sebelum berkata, “Ya ampun, Rheina! Itu muka, nggak usah terlalu serius juga dong. Intinya, gue enggak anti sama acara semacam ini. Ya biarpun, lebih asyik dan nikmat buat seru-seruan di alam, sebetulnya.” Aku manggut kecil, lantas mengembuskan napas dan menyahut, “Gue ngerti. Nikmati aja acaranya nanti. Kan, kapanpun kita mulai merasa nggak enjoy, bisa meninggalkan tempat acara. Memangnya ada paksaaan buat penonton, supaya bertahan di venue sampai akhir acara, mentang-mentang tontonannya gratis? Enggak lah, ya!” Bramantyo mengangguk singkat. “Betul Rhein. Tapi ngomong-ngomong, tadi kalimat gue tuh masih koma, belum titik. Maksudnya, gue enggak masalah, ada di sini. Enggak tahu deh kalau Kelvin.”   kali ini Bramantyo mesem tengil di akhir kalimatnya. Pakai mengerling pula, ke arah Kelvin.  Uh, aku jadi curiga, jangan-jangan Dia punya bakat untuk mengadu domba, ini! Adu domba yang manis dan lucu sih, maksudku. “He! Kenapa jadi my Honey bunny yang disalahin? Jangan begitu deh, Bram!” Kontan, aku nyolot pada Bramantyo. Spontanitasku segera mengundang senyuman maut Kelvin lagi. Senyum yang pas. Tidak diumbar, tanpa kesan angkuh, tapi menyentuh hingga ke dasar hatiku yang terdalam. Bila diibaratkan makanan, sungguh sesuai porsi dan sempurna racikannya, dan meresap bumbunya.  Kali ini Kelvin menyentuhkan jemarinya, mengusap lembut punggung tanganku yang masih menggayut di lengannya. Sentuhannya membuat hatiku menghangat seketika.  Hon, Hon, jangan bikin lemes gini, dong... Kamu bikin aku kepengen nyenderin kepala aku di bahu kamu deh... “Ehm...! Pakai tanya! Dia kan, lebih demen ke tempat yang relatif syahdu gitu. Hobby ngobrol sama debur ombak, desir angin, titik hujan, suara gemerisik daun yang bergesekan, gemuruh suara air terjun sampai suara geludug, dan Segenap Gank-nya. Sekalian kontemplasi, kayaknya dia itu. Heh, Rhein! Pasti masih ingat kan, kalian berdua ketemunya di mana?” olokan Bramantyo sukses membuat ambyar nuansa manis yang baru saja tercipta. Kurang ajar memang, Cowok satu ini! Sirik tanda tak mampu dia ini! Aku memonyongkan bibirku padanya. “Bram, jangan jadi kompor, deh! Ngerusak momen, tahu! Ngaca gih, buruan. Di kepala elo mulai tumbuh sepasang tanduk tuh sekarang,” sela Kelvin. Ucapannya tak sekadar memancing tawa Bramantyo. Dia sendiripun terbahak setelahnya.  Tawa bersamaan yang begitu tulus dan lepas. Aku tersapa iri sekaligus bangga melihat kekompakan Dua Cowok ini. Eh, jadi terpikir nih, apa di antara mereka berdua ini benar-benar nggak ada rahasia barang sedikit pun? Entahlah! Otakku belum sampai untuk mikir hingga ke titik itu.  “Hon, anak Sastra selalu total to the max, ya! Aku optimis acaranya bakal meriah. Dijamin, kalian nggak akan rela buat beranjak dari venue sebelum acara benar-benar selesai,” ucapku, ketika tawa mereka berangsur mereda. Aku amati, Kelvin mengangguk kecil saja. Tapi aku menangkap ketulusan kok dari anggukkan kepalanya itu. Itu sungguh bukan anggukkan keterpaksaan buat sekadar menyenang-nyenangkan hati aku. Hm, masa iya sebagai Pacar Kelvin aku nggak terlatih kepekaannya? Nggak mungkin dong! “Dipikir-pikir, bener apa kata Cewek lo Vin! Otak anak Sastra memang super kreatif, termasuk soal mencari Sponsor,” timpal Bramantyo kemudian. Mendengarnya, aku langsung mendapat peluang untuk menantang kedua Sahabat karib ini. “Makanya kalian jangan kalah, dong! Bikin kegiatan sosial apa kek, yang dimotori Edelweiss, klub pecinta alam-nya kita. Jangan sebatas senang-senang melulu,” ujarku yang merasa mendapatkan celah. Bukannya segera menyahutiku, Kelvin dan Bramantyo malah saling menatap barang tiga detik, lalu tertawa geli bersamaan. Tanpa aba-aba. Heh, bikin aku terusik saja! Cara mereka berdua berkomunikasi secara non verbal seperti ini, sesekali masih menguji rasa percaya diriku. Seakan-akan, biarpun aku dan Kelvin telah sekian lama menjalin hubungan, tetap saja kalah chemistry dibanding dirinya dengan Bramantyo. Ah, perasaanku tergelitik sewaktu mengira-ngira, pernahkah, para Istri dari Pasangan Atlet ganda putra bulutangkis legendaris favoritku, Hendra Setiawan dan Mohammad Akhsan, sama-sama cemburu, menyaksikan komunikasi keduanya di lapangan, yang demikian cair? Eh, eh, kok sampai ke sana sih, mikirnya aku nih? Mentang-mentang belakangan ini aku juga mendadak suka kepo-in akun sejumlah fanbase badminton Lovers. “Ye, kenapa ketawa? Sebelah mana coba, lucunya? Adain kek, kegiatan sosial, Bram!” ulangku, semata demi mengusir perasaan ganjil yang sempat melintas barusan. Sengaja kutujukan kalimatku kepada Bramantyo, alih-alih pada Kelvin, Kekasihku sendiri. Rasanya memang lebih enak dan bebas menuntut ke Orang lain sih, ketimbang ke Pacar sendiri. Nggak tega soalnya..., he he..! Nah, sukses kan? Buktinya Bramantyo memperlambat langkah, nyaris berhenti.malahan. Lantas, dia menggoyang-goyangkan kepala dengan gaya orang India saat mengucapkan, “Acha... achaaaa..” Aku nggak mau menyerah sepagi ini.  “Yeee..., mau ngeles bajaj? Ogah, ngadain kegiatan sosial? Bilang terus terang,” cemoohku sok sinis. Dan untuk menambahkan kesan dramatis, kuarahkan pula jari telunjukku ke hidungnya. Dengan santai, Bramantyo meminggirkan jari telunjukku. “Lho, kegiatan sosial mah, sering dong, Rheina!” sahut Bramantyo ringan setelahnya. “Apa? Coba sebut salah satunya,” balasku cepat, masih saja dengan nada mencela. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD