‘Art Hours’ (2)

1792 Words
POV Rheinatta   “Apa?” tanyaku lagi. Tentunya tetap dengan tatap mata yang  meremehkan Bramantyo. Merasa terpancing, Bramantyo menyahut, “Itu salah satunya kalau ada musibah banjir, kebakaran, dan semacamnya. Kan anak-anak Edelweiss gercep, gerak cepat koordinasinya. Langsung ngecek keberadaan anggota yang terdekat dan availbable sama lokasi dan bagi-bagi tugas. Ada yang kebagian mengontak Petugas berwenang di dekat situ, ada juga yang bawa peralatan, sampai yang meluncur bawa bantuan buat Para Pengungsi,” cetus Bramantyo kalem.  Uraiannya demikian panjang, biarpun aku tahu, tanpa maksud mengungkit apa saja yang pernah dilakukan oleh klub pecinta alam di mana Kelvin dan Bramantyo telah menjadi Sosok pentingnya itu. Eh, tapi Cowok keren in belum selesai lho, ngomongnya... “Terus ingat juga kan kapan hari, pas ada Mahasiswa yang hilang sewaktu mendaki gunung? Kita-kita juga ngajuin diri, buat membantu tim SAR setempat. Ya walaupun tawaran bantuan kita nggak selalu bersambut,” sambung Bramantyo santai. Masuk akal sih jwabannya. Itu memang bentuk kegiatan sosial. Hm, tapi aku mana mau menyerah begitu saja? Belum tahu yang disebut dengan  girl power, ya? Muter-muter sedikit, baru tembak Sasaran utamanya! “Ya itu mah, harus dong! Bukan yang model begitu maksudnya, Bram! Yang jenis pertunjukan begini lho. Sekalian promosi gitu deh, memperkenalkan klub Pecinta Alam Edelweiss ke yang belum bergabung, supaya berminat masuk. Eng.., terutama yang cewek sih, biar gue banyak temannya,” sahutku, seraya memelankan suara di ujung kalimat. Ogah banget, kalau tersirat aku sedang menunjukkan kelemahan di depan mereka. Enggak banget dong. Kesannya aku itu butuh banget punya teman-teman cewek! Ya, walaupun sebenarnya aku agak prihatin dengan fenomena keluar masuknya Anggota cewek di klub Edelweiss. Sudah bukan rahasia. Jarang ada yang bertahan lama, entah apa alasan mereka sesungguhnya. Putus hubungankah dengan Pacar mereka di klub Edelweiss, mendadak menemukan kegiatan asyik lain, dilarang oleh Keluarganya ataukah sebab lainnya. Pokoknya, tahu-tahu menghilang begitu saja, atau mulai on off latihannya. Hei, jangan menuduhku masih rajin mengikuti agenda latihan rutin dan kegiatan Edelweiss hanya karena Kelvin seorang, ya! Enggak juga. Enggak sepenuhnya keliru, maksudku.  “He he he..,” Bramantyo terkekeh. “Ampun deh Vin, Cewek lo. Udah ngomong panjang-panjang, ternyata ujungnya.., ha ha ha!” Bramantyo ngakak sebebasnya. Aku yang semula melayangkan pandangan lurus ke depan, ke arah kerumunan Orang di sisi barat taman Emerald, mengerling sadis padanya lantaran terusik. “Ketawanya nggak usah melecehkan begitu juga, Bram. Nggak nyantai,” tegur Kelvin datar.  Sukurin! Huh, biar tahu rasa, si Bram! Berani-beranian dia nge-bully aku di depan my Honey bunny! Bramantyo merespon dengan mencebik. Ia meniru ekspresi abege Cewek yang telah menghabiskan waktu sekian lama di depan cemin demi dapat berdandan cantik dan mau-maunya duduk manis menunggu dijemput Sang Pacar, namun mendadak dilarang keluar rumah oleh Bundanya tepat saat Sang Pacar tiba. Nggak banget deh ‘penampakkan’nya! Kegantengan plus wibawanya turun grade secara drastis. “Ih, Bram, jangan pasang tampang begitu. Ilfil, tahu nggak!” Sentakku sebal, sengaja mengeksplor mimik jijik sampai ke level paling top. Kelvin hanya mesem kecil. Sepertinya Pacar tersayangku itu memang sudah hafal adegan ini karena kerap berulang di depannya. Bramantyo menatapku acuh tak acuh. Dia melemparkan tangannya ke udara dan berkata ringan, “Gila aja, Rhein, kalau di depan Cowok lo, masih berani-beranian feel ke gue.”  Resek banget dan sok asyik, kan? Ya, meskipun, faktanya dia memang asyik sih. Super asyik malahan. Siapa sangka, ucapan sok asyik-nya itu mengusik Kelvin. “Hei, maksud lo, di belakang gue, kalian..?” Kelvin mengangkat alis, menampar keras siku Bramantyo.  Aku tahu dia bergurau, namun entah mengapa, wajahnya yang disetel serius itu, membuat hatiku bergetar hebat. Eh, segitu cemburu dan posesifnyakah, dia padaku?  Is it a good thing? Ah, Hon-Hon, bikin aku serasa melayang sampai ke langit ke tujuh saja! Beneran! “Ngawur banget deh, Bro!” bantah Bramantyo. “Ya kali aja,” sahut Kelvin sembari mengangkat bahu. “Enggaklah.” “Bagus. Sesama Angkutan umum memang dilarang saling mendahului.” Suara Kelvin datar dan santai. Tapi sudah lebih dari cukup untuk membuat hatiku tergelitik. Perumpamaannya itu lho! Tolong deh! Aku mencubit lengan Kelvin dan sedikit merengek manja, “Hon…, kamu tuh ah!” Refleks, Kelvin menangkap tanganku dan mengelusnya. Sempat-sempatnya pula dia mendaratkan tatapan matanya ke aku, yang langsung bikin hati terasa adem. Bramantyo yang memergoki hal itu menatap jemu. “Tahu nggak tadi itu, gue kepengen banget menyuarakan isi hati para jomblo di kampus. Mereka enggak sekadar cemburu, tapi sudah terganggu berat, sama kemesraan berlebih duo KR, Kelvin Wiryawan  dan Rheinatta Azkhia Wulandari,” terang Bramantyo tanpa diminta. Aku mengerucutkan bibir sejenak, lalu menyahut, “Enggak berlebih, ah! Biasa saja kok. Pas. Tepat pada porsinya.” Dari gelagatnya, terlihat Cowok satu itu akan menyahutiku. Makanya sebelum pembicaraan ngelantur kemana-mana, segera aku kembalikan ke topik semula.  Dengan percaya diri penuh, aku tanyai dia, “Jangan pengalihan issue lah, Bram. Yang model begitu biar Bapak-bapak berdasi dan berjas yang langganan tampil di sejumlah acara talkshow saat kesusahan menjawab pertanyaan dari Pembawa acaranya. Ayo, gimana, gimana, soal kegiatan sosial yang tadi gue usulkan?” Sekarang Bramantyo terkekeh macam Penonton stand up comedy. Menyebalkan! “Rhein, Rhein, itu bukan kegiatan sosial namanya. Bilang saja pertunjukan, begitu!” koreksi Bramantyo. “Ya kan, Vin?” ucapnya kemudian sambil melihat pada Kelvin, meminta dukungan.  Sialnya, Kelvin malahan menganggukinya. Huh! Dasar! Dua lawan satu? Jangan panggil aku Rheinatta, kalau kalah berargumen sama mereka berdua! “Ya kan ada sosialnya juga, Bram. Itu, bikin pertunjukan gratis, menyenangkan hati banyak Orang, apa bukan sosial, namanya? Sosial banget, tahu!” tandasku, pantang mengalah. Bramantyo auto ngakak dan menepuk keras-keras bahu Kelvin.  Kelvin terlihat amat kaget. Entah sungguhan, entah untuk efek mendramatisir. Yang jelas aku sampai terheran dengan mimik kagetnya yang tampak amat natural itu. Sampai sempat terbersit di benakku, apakah Bramantyo memukul terlalu keras barusan? Tega amat kalau iya, sudah kekerasan 'verbal' ke aku sekarang dia lanjutkan dengan kekerasan fisik pula ke Pacarku tersayang. “Ha ha ha, maksa dot com! Dasar pengikut cocokologi!” ucap Bramantyo setengah berbisik. Kemudian, Bramantyo bergumam lirih, “Cewek lo, Vin, kagak ada matinya. Juara, deh! Juara bertahan sepanjang masa.” Uh. Aku tahu maksud Bramantyo. Pasti supaya hanya Kelvin yang mendengar gumamannya. Tapi tetap saja, telingaku ini terlampau tajam untuk menangkap suaranya. Rheinatta kok dilawan! “Iya nih, Bee. Kamu tuh, ah!” Kelvin melepas pegangan tanganku pada lengannya, lalu menyelusupkan jari-jemarinya ke celah di antara jari-jemariku. Kemudian dia mengecup sekilas punggung tanganku yang berada dalam genggamannya. Aksinya yang berurutan itu sukses membuat langkah kakiku terjeda. Otomatis, langkah Kelvin sendiri juga ikut surut. Matanya menatapku demikian intens.  Aku membalas dengan tatap mesraku ke bola matanya. Oh, dunia serasa berhenti berputar. Dan mauku memang begitu. “Heh, ngapain kalian berdua berhenti begitu? Astagaah!” tegur Bramantyo sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan gemas. Berkacak pinggang pula dia, bagaikan Kakak kelas yang tengah memelonco Juniornya. Sebagaimana aku, Kelvin tidak terpengaruh. Dia stay cool saja, menyelusupkan anak rambutku ke belakang daun telingaku. Kuberi Cowok tersayangku ini senyum termanis yang aku punya. Eh, enggak, kami sama sekali nggak berniat pamer kemesraan, apalagi kepada Bramantyo. Ini sifatnya natural saja. Dan jujur dari hati. Namun aku sempatkan untuk melirik pada Bramantyo. Aku mencondongkan kepalaku kepada Kelvin. “Hon, biarpun Sohib-mu yng satu itu ogah terang-terangan kasih lihat ke kita kalau dia menelan ludah atau malah gigit jari setiap kali melihat harmonisnya kita, persis Para  Anggota baru partai jomblo, pasti setidaknya Dia kepengen punya pacar. Inggat kan Hon, Bram itu sudah kelamaan menjadi Anggota senior partai jomblo. Bahaya, telanjur terbiasa dan auto cuek, melihat ‘dunia lain’ di luar kesehariannya. Jadi imun, nggak ada gerah-gerahnya sama sekali, sok-sok berlagak nggak ngiler kalau melihat orang pacaran. Kasih tahu kenapa, Hon? Nggak rela saja aku, melihat dia masiiih terus jalan sendirian. Kalah sama sandal jepit yang selalu berpasangan itu lho!” ungkapku pada Kelvin lantas kembali menatapnya. “Hei! Hei! Kalian mau sampai kapan, lihat-lihatan begitu? Terus, ngapain pakai nyebut-nyebut nama gue segala? Disangkanya gue nggak dengar apa?” sadar jaraknya dengan kami berdua merenggang, Bramantyo bergegas berjalan kembali ke arah kami. “Ah! Loyal member partai jomblo mah, mana tahu bahasa non verbal,” olokku saat dia mendekat. Aneh. Aku menangkap ekspresi terkejut mewarnai wajah Kelvin. Eh? Segitu wow-nya ucapanku barusan? Ah! Menurutku biasa saja. Aku sama Bramantyo kan biasa, bercanda begini. Saling ejek. Biarpun Bramantyo sedang tak mempunyai Kekasih saat ini, mana ada yang berani menyebutnya jomblo, apalagi pakai embel-embel kata ngenes. Ehm, kecuali aku, tentunya!  Kelvin menggeleng pelan sembari memejam mata barang sedetik. Kode halus buatku, supaya tak memperpanjang topik seputar jomblo. Dih, serius bener sih, hidup Pacarku ini! “Ehm! Dari pada kalian, status doang sudah Mahasiswa. Tapi kelakuan 11 - 12 sama anak kelas tujuh yang baru jadian dan lagi cinta-cintanya. Umbar terus, tuh kemesraan! Tahu nggak, itu nggak baik buat Orang-orang yang belum tahu kalian. Nebarin virus iri dengki bagi Pemirsa. Terutama Anak semester satu. Mereka jengah melihat kalian macam itu,” Bramantyo berdeham usai mengurai kata panjang lebar, tanpa kesan bahwa dia sedang membalas dendam ejekanku yang menyebutnya jomblo. Nah, kan? Bramantyo-nya asyik-asyik saja, kok! Kelvin saja tuh, yang terlalu hati-hati, menjaga perasaan sahabatnya.  Jaga perasaanku saja deh, Hon! Itu yang paling penting, tahu! “Wah! Itu sih masalahnya mereka. Gue sama Kelvin kan, nggak mengganggu mereka. Nyenggol pun enggak. Faktanya, kita berdua nggak over acting. Ya kan, Hon?” balasku ringan, sambil meneruskan melangkah. Aku mendapati Kelvin tersenyum samar menanggapiku. Lega hatiku jadinya. Cowok satu ini memang sesuai zodiaknya, Scorpio, jadi diam-diam menghanyutkan. Dan tentu saja romantis. Kalau tidak romantis, mana mungkin aku bucin berat padanya? Yang ini susah dibantah deh. Namanya juga Cowok Scorpio, jangankan kalau beraksi, sekadar diam saja sudah misterius. Dan misteriusnya itu idem sama aura romantis, sekaligus menarik hati Lawan jenis. Ya apalagi kalau sudah beraksi. Pada nggak percaya? Gampang banget buat membuktikan kebenaran ucapanku. Pacari saja Cowok Scorpio, nanti kamu tahu sendiri rasanya bagaimana. “Hon,” kugoyang-goyangkan tangan Kelvin yang menggenggamku. “Ya?” Kelvin menoleh dan memasang tampang siap menyimak. “Dipertimbangkan ya, usulanku tadi,” kataku serius, dengan tatapan mata memohon, padanya. Yang sudah-sudah sih, jenis tatapanku yang satu ini manjur membuatnya susah menolak. “Bram, ditantangin tuh,” Kelvin meneruskannya kepada Bramantyo. Terkesan melempar bola kepada Bramantyo. Herannya, Bramantyo tidak menghindar, malah bersikap seolah pasrah menangkap bola tersebut. Dia menggaruk-garuk kepala. “Bikin apaan, dong? Masa sih, menyelenggarakan pertandingan wall climbing antar kampus begitu? Mikir untuk mencari sponsor yang menyediakan hadiahnya doang sudah bikin males, tahu,” sahut Bramantyo datar. Duh, aku nggak bisa terima aroma apatis yang mengintip genit dalam kalimatnya Si Bramantyo. “Giliran ngumpulin dana buat korban banjir atau yang kena musibah lain, kalian bisa sigap. Gimana, sih? Ini mirip lho, sama-sama cari Donatur, judulnya,” aku bersikukuh dengan pendirianku. * $ $  Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD