7. Bertemu dan Melupakan

2195 Words
Milda selalu menyukai pesta, apapun bentuknya. Pesta bertema, pesta topeng, pesta ulang tahun, pesta pernikahan, bahkan pesta tanpa konsep yang dibuat dadakan oleh teman-temannya saat masih kuliah dulu.   Bisa dihitung jari sepertinya saat seorang Milda tidak menyukai sebuah pesta. Dan pesta malam ini sepertinya akan resmi Milda tambahkan ke dalam list pesta yang tidak disukainya.   Bukan karena pesta itu terasa membosankan dengan alunan musik klasik yang dipaksa menjadi sebuah hiburan. Bukan juga karena ruangan tempat Milda berada saat itu hanya diisi oleh orang-orang berumur dengan obrolan mereka seputar bisnis di dunia medis. Bahkan mengobrol dengan bapak-bapak botak yang punya selera humor jelek bernama Barney atau Bernard itu jauh lebih baik dibanding duduk berhadapan dengan Revin saat ini.   Milda pikir, tiga belas tahun lama waktu mereka saling lost contact bisa dijadikannya sebuah alasan untuk pura-pura lupa siapa lelaki di sebelahnya saat ini. Tetapi sayangnya Revin justru tidak memiliki pemikiran yang sama dengan Milda. Karena lelaki itu bahkan langsung menyapa Milda dengan ramah setelah berhasil mengatur rasa terkejutnya saat bertemu Milda kembali.   Jika mereka bertemu lagi di usia dua puluhan, mungkin Milda tidak akan malu untuk mengabaikan saja lelaki itu dan membiarkan Revin tahu jika kebencian serta amarah masih perempuan itu simpan rapi. Tetapi saat ini, Milda sudah berusia tiga puluh satu tahun, bukan lagi usia yang pantas untuknya marah dan mendendam karena masalah di masa lalu. Saat umur mereka masih delapan belas tahun. Itu tidak keren sama sekali. Jadi tidak ada pilihan lain selain Milda menanggapi Revin meski dengan sangat terpaksa.   “What’s wrong, Milda? Apa makanannya tidak enak?” tanya Colin yang merupakan seorang dokter dan juga selaku representative The Royal Adelaide yang kebetulan duduk satu meja dengan Milda dan juga Revin malam itu.   Milda mengenal Colin karena Colin adalah perwakilan rumah sakit dalam urusan bisnis. Dan dunia terasa begitu sempit karena Colin adalah kenalan dekat Revin karena lelaki itu pernah magang di rumah sakit tempat Colin bekerja sebelum pindah ke The Royal Adelaide. Hal itu membuat Milda akhirnya terjebak untuk duduk di satu meja yang sama dengannya karena memang Milda tidak begitu mengenal orang-orang lain di sana selain Colin.   Tetapi tentu saja Milda menyesali pilihannya saat ini. Karena sejak ia duduk di kursi itu sekitar dua puluh menit yang lalu, sejak itu juga dia bisa merasakan tatapan Revin yang duduk persis di hadapannya itu terarah lurus kepadanya.   Di dua puluh menit awal, mungkin Milda tidak berani memastikan dan menatap lelaki itu balik. Tetapi Milda juga merasa dirinya tidak memiliki alasan untuk takut. Jadi Milda pun menegakkan kembali kepalanya dan membalas tatapan Revin yang benar saja—memang terarah padanya.   Lelaki itu akhirnya tersenyum ketika Milda telah memberikan apa yang diinginkannya. Perhatian. Milda bisa melihat bagaimana sudut bibir Revin langsung terangkat begitu kedua mata mereka saling bertemu.   Apa sih maunya lelaki ini? Milda tidak habis pikir. Tetapi sebagai wanita dewasa yang tentu saja punya manner dan otak, Milda mencoba mengabaikan fakta bahwa Revin sedang melucutinya dengan tatapan intens. Tidak sopan!   “Dunia sempit sekali, bagaimana bisa Adelaide mempertemukan dua teman SMA yang sudah terpisah lebih dari sepuluh tahun lamanya!” Anehnya, Colin adalah orang yang paling antusias atas reuni dadakan Revin dan Milda. “Apa kalian berdua dekat saat SMA?”   “Tidak!”   “Iya.”   Milda mendelik ke arah Revin yang masih senantiasa menatapnya dengan senyuman yang tidak bisa Milda artikan maksudnya. Lelaki itu terlihat sangat tenang dan santai, berbeda dengan Milda yang mencoba sekuat diri untuk tidak terlihat salah tingkah sejak tadi.   “Jadi iya atau tidak?” tanya Colin memastikan karena jawaban keduanya bertolak belakang. “Tapi sepertinya memang tidak, kecanggungan kalian bisa tercium sampai sini.”   Revin tertawa. Jelas jenis tawa yang sangat mengganggu Milda karena tawa itu terdengar meremehkan. Entah itu memang maksud dari tawa Revin atau hanya karena perasaan Milda yang terlanjur sensitif.   Milda menusuk potongan asparagusnya di piring, menyuapnya ke mulut untuk kemudian tersedak karena tidak sengaja melihat lagi-lagi Revin memandanginya seperti Milda adalah tontonan.   Ok, Milda tidak akan sampai tersedak jika Revin hanya menatapnya saja. Masalahnya, lelaki itu menatap Milda sambil memainkan gelas berisi winenya, dengan jenis tatapan yang seductive—apa-apaan sih, Milda! Inget, itu Revin!   Milda dengan cepat menerima uluran gelas berisi air dari Colin. Tersedaknya sih tidak sakit, tapi rasa malunya membuat pipi Milda memanas.   Setelah meneguk sedikit air, Milda beralih ke gelas wine berwarna ungu pekat di hadapannya. Gelas dan wine yang sama seperti yang berada di tangan Revin saat ini.   “Milda, apa kamu penasaran bagaimana Revin saat masih menjadi co-assistant doctor di tempatku bekerja dulu?”   “Sebaiknya jangan diceritakan, bisa-bisa dia naksir padaku.”   Lelaki berambut pirang itu menatap Revin tidak percaya. Setahunya, Revin bukanlah tipe orang yang senang berkata dengan nada menggoda seperti itu. Selama ini Revin yang dikenal Colin adalah laki-laki serius dan terbilang pendiam. Itu berarti benar apa kata Revin tadi, mungkin dirinya dan Milda memang teman dekat saat SMA dulu.   Milda benar-benar mencoba untuk menahan dirinya agar tidak melempar garpu di tangan kanannya itu ke wajah Revin. Apa laki-laki itu sengaja ingin meledeknya di depan Colin?   Oh, kalau Revin memang ingin bermain dengannya maka Milda tidak akan takut.   “Naksir? Memangnya stock laki-laki baik di muka bumi sudah habis sampai aku harus naksir kamu?”   Colin tertawa mendengar balasan sarkas dan pedas Milda. “You are so funny, Milda, I like you.” Tentu saja suka yang dimaksud Colin di sini bermaksud platonik, bukan dalam konteks romansa.   Milda belum sempat membalas karena Revin lebih dulu menyahut, “Dia sudah naksir padaku, Colin, percuma menggodanya.”   Milda benar. Seharusnya sejak awal ia memilih duduk bersama di meja bapak-bapak tidak dikenalnya saja di meja lain. Dibanding di sini, berhadapan dengan Revin saja sudah menguras emosinya, ditambah harus meladeni laki-laki itu, Milda benar-benar harus banyak bersabar.   “Aku dengar dari Colin, perusahaan kamu adalah supplier peralatan medis di sini. Aku pikir karena kita bertemu di rumah sakit, kamu juga jadi dokter.”   “Nggak semua orang di rumah sakit itu dokter, kali.” Kali ini Milda membalas ucapan Revin dalam bahasa Indonesia yang membuat Colin menatap bingung ke arah keduanya.   “Hey, bicaranya pakai bahasa Inggris saja, aku ingin tahu apa yang kalian bicarakan.”   “Bacot lo.” Milda mendesis pelan. Meski sebenarnya sekalipun ia berteriak di depan Colin, lelaki itu tidak akan mengerti maksud ucapannya.   Mendengar itu, Revin justru tertawa. Tiga belas tahun berlalu tetapi Ramilda Jean Hadinata di hadapannya masihlah seperti gadis yang sama yang ada di ingatannya.   Hanya saja, perempuan itu kini telah menjalani hidupnya dengan baik. Sangat baik. Milda tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik, meski tubuhnya masih sama mungilnya seperti yang terakhir Revin ingat. Revin bahkan tidak yakin apakah fisik Milda berubah. Secara fisik, hanya penampilan Milda yang jauh lebih dewasa dengan make up dan potongan gaya rambut yang berbeda, selebihnya Milda benar-benar sama persis dengan Milda yang dikenalnya tiga belas tahun yang lalu.   Dan satu hal yang paling membuat Revin lega dengan pertemuan tidak terduga mereka saat ini, yaitu mengetahui fakta bahwa Milda masih membencinya hingga detik ini.   ***   Salju turun lagi ketika Milda dan Revin berjalan keluar dari lobby hotel tempat restoran mereka menghadiri after party malam itu. Sebanarnya pesta itu tidak bisa dikatakan benar-benar pesta karena hanya berupa makan malam dengan musik klasik sebagai hiburannya.   Revin sendiri kebetulan memang menginap di hotel itu, seharusnya tidak ada alasan untuk lelaki itu mengintili Milda hingga ke lobby hotel seolah tidak rela jika mereka harus berpisah lagi.   Yah, tapi Revin sendiri bahkan tidak tahu apa setelah ini dia bisa bertemu Milda lagi. Jadi yang lelaki itu lakukan adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin. “Lo mau langsung flight balik ke Sydney? Atau stay di Adelaide dulu semalem?” tanya Revin penasaran.   Setelah tahu ternyata Milda menetap di Sydney, lelaki itu jadi penasaran bagaimana perempuan itu akan pulang karena hari sudah malam dan bersalju. Meski mungkin penerbangan masih tetap ada karena salju yang turun juga tidak terlalu lebat sih. Tapi wajar kan kalau Revin khawatir? Biar bagaimanapun mereka pernah punya masa lalu. Meski menyakitkan dan rumit.   “Bukan urusan lo.” Seharusnya Milda tidak menanggapi lelaki itu, tetapi rasanya lebih puas jika Milda justru menanggapinya tetapi tentu saja dengan sinis.   “Tiga belas tahun masih aja ya sama?” Revin mulai lagi dengan konfrontasinya. Lelaki ini sepertinya memang senang memancing keributan dan emosi Milda.   “Sama galaknya maksud lo?” tanya Milda terpancing.   “Sama imutnya.” Revin kemudian memamerkan senyuman menggoda. Senyuman yang bahkan tidak pernah Milda ingat pernah dimilikinya saat SMA dulu. “Tingginya juga masih sama, sama pendeknya.”   Milda memang seharusnya mengabaikan Revin sejak awal. Lelaki itu tidak pantas mendapatkan perhatiannya.   Suara ponsel Milda kemudian menginterupsi. Perempuan itu segera menerima panggilan tersebut. “Kamu benar-benar jemput aku?”   Revin bisa mendengar perempuan itu bicara dengan entah siapa itu di telpon. Sepertinya seseorang datang untuk menjemput Milda. Setidaknya Revin bisa tenang karena perempuan itu tidak harus pulang sendirian malam-malam.   Tetapi perasaan lega itu kini berganti rasa penasaran. Siapakah yang menjemput Milda? Apakah kekasih atau bahkan suaminya? Tapi Revin yakin tidak melihat cincin melingkar di jari Milda saat makan malam tadi. Tapi memangnya itu bisa jadi patokan?   Dan kenapa juga Revin harus penasaran?   Sebuah taksi berhenti di hadapan mereka. Seorang laki-laki mengenakan coats hitam turun dari sana. “Milda!”   “Kamu langsung ke sini dari bandara?” tanya Milda begitu orang itu sudah menghampirinya.   Revin tidak tahu kenapa ia juga masih bertahan di sana meski Milda sudah dijemput oleh seseorang. Lebih tepatnya laki-laki.   “Nggak kok, I’ve been here since lunch break.”   Revin mengernyit karena lelaki itu ternyata bicara dengan bahasa Indonesia juga. Ternyata memang orang Indonesia. Hanya saja tubuhnya jauh lebih buff alias berotot dibanding tubuh Revin yang cenderung agak kurus.   “Hah, ngapain? Kenapa nggak bilang mau nyusul?”   “Nungguin kamu biar kamu nggak pulang sendirian. Aku nggak bilang karena kamu pasti marah dan nggak ngizinin aku ke sini kalau tahu.”   “Ya iyalah, buang-buang waktu sama duit buat beli tiket pesawat.”   Revin memang seharusnya pergi saja sejak lelaki itu turun dari taksi dan menghampiri Milda. Alasannya mengikuti Milda hingga ke lobby hotel kan hanya untuk memastikan perempuan itu tidak pulang sendirian malam-malam. Apa lagi yang dilakukannya di sana saat ini? Menguping pembicaraan sepasang kekasih seperti orang kurang kerjaan.   Revin menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia berbalik begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal seperti tiga belas tahun yang lalu. Tetapi kan Revin tidak tahu kapan dan apakah memang akan ada pertemuan berikutnya lagi antara dirinya dan Milda di masa depan?   Melihat Milda yang sudah memiliki kehidupannya yang baik di sini seharusnya sudah cukup membuat Revin merasa rasa bersalahnya sedikit terangkat. Tetapi tentu saja, perasaan bersalah itu tidak akan pernah bisa hilang jika kata maaf tidak pernah diucapkan.   That’s it. Mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyudahi kemarahan di antara mereka selama ini. Setidaknya mereka perlu itu untuk bisa melanjutkan hidup dengan perasaan jauh lebih lega masing-masing.   “Vin—”   “Mil—”   Keduanya tidak menyangka akan saling memanggil di saat bersamaan. Revin terlalu larut dalam pikirannya sampai bahkan tidak sadar Milda ternyata sudah berjalan menghampirinya.   Dari ekor mata Revin, lelaki itu bisa merasakan sepasang tatap tengah memindainya. Mungkin sedang menerka-nerka siapa Revin karena sudah pasti Milda tidak pernah membahas tentang dirinya kepada lelaki itu.   Tentu saja tidak pernah, memangnya Revin sepenting apa sampai harus Milda ceritakan pada pacarnya? Mereka hanya sepasang rival sejak kelas satu dan kemudian menjadi teman belajar dan banyak bersama-sama menghabiskan waktu.   Mereka memang pernah punya masa lalu tetapi mungkin itu hanya berarti sesuatu untuk Revin dan tidak dengan Milda. Dan Revin juga paham kalau memang Milda benar-benar merasa begitu. Apalagi kenangan antara mereka tidak bisa dikatakan cukup baik.   “Kenapa?” tanya Revin setelah membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka selama beberapa saat.   “Gue...cuma mau bilang kalau gue balik duluan.”   Revin mencoba menatap lurus dua manik itu lagi. Manik yang sama yang mengeluarkan kristal-kristal bening karena perbuatannya tiga belas tahun yang lalu.   “Oh oke. Take care, have a safe flight.”   “Hm. You too.”   “Haha thanks tapi gue kan nggak mau naik pesawat.”   Milda mendelik lagi. Sepertinya beberapa jam saja sejak pertemuan mereka hari ini, Milda sudah lebih dari dua puluh kali melemparkan delikan mata mau itu. “Maksud gue take carenya—ah ya gitu lah pokoknya.”   “Iya-iya ngerti.” Revin mengulum senyumannya. Kenapa satu kata itu tidak kunjung juga keluar dari bibirnya.   Is it too hard to say sorry? Come on, Revin.   Milda masih terlihat menunggu. Entah untuk kata maaf atau kalimat sampai jumpa. Atau mungkin selamat tinggal?   “Bye, Mil.” Akhirnya hanya satu kata itu yang Revin ucapkan.   Milda mengangguk singkat. “Bye.” Dan perempuan itu berbalik pergi meninggalkan Revin yang hanya bisa membiarkannya pergi menjauh.   Udara malam itu semakin mendingin. Seharusnya Revin membawa padding jacketnya juga karena coats yang digunakannya saat ini sama sekali tidak bisa menghalau dinginnya suhu.   Tapi Revin ragu, mana hal yang lebih dingin. Apakah itu butiran salju atau justru dirinya yang mengucapkan kata maaf saja pun tidak mampu?   Mungkin pertemuan hari ini memang bukan dirancang Tuhan untuk mereka saling memaafkan. Tetapi mungkin, pertemuan ini memang ada untuk mereka saling melupakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD