Milda menatap kosong pada gelas karton berisi vanilla lattenya yang sudah mendingin. Isinya masih penuh karena Milda hanya menyesapnya dua kali saja sejak minuman itu dibeli satu setengah jam yang lalu.
Beberapa kali suara pemberitahuan terdengar silih berganti menginformasikan tentang kedatangan atau keberangkatan penerbangan ke dan dari berbagai tujuan. Tetapi pesawat yang akan membawa Milda dan juga kedua orang tuanya tak kunjung terdengar karena memang mereka masih memiliki waktu beberapa puluh menit lagi untuk menunggu.
Kini tatapan Milda beralih ke ujung sepatu putihnya. Seharusnya Milda tidak sedang berada di lounge maskapai penerbangan yang akan membawanya pergi dari Indonesia. Seharusnya Milda saat ini sedang menatap cemas pada layar laptopnya karena sebentar lagi pengumuman hasil ujian seleksi Atmadja University diumumkan. Jika saja Milda tidak dikeluarkan dari ruang ujian lalu diblacklist sebagai peserta yang ketahuan membawa contekan tentu saja.
Milda tertawa getir. Kejadian itu sudah dua bulan yang lalu, tetapi sakitnya masih terasa hingga detik ini. Padahal sebentar lagi Milda tidak akan menginjakkan kakinya di Indonesia lagi, seharusnya dalam waktu satu bulan kemarin Milda gunakan untuk merelakan. Tetapi mana bisa?
“Mil, kamu benerang nggak mau makan apa-apa? Ada cheesecake kesukaan kamu loh, kalau nggak mau makan berat ngemil aja gih?” Lina muncul sambil mengelus lembut rambut putrinya yang hari itu dibiarkan tercepol asal.
Milda menggeleng. “Nggak Ma, nanti aja aku makan in flight meals,” jawabnya pelan.
“Mil, Mama tahu mungkin kamu capek denger Mama tanya ini ke kamu tapi untuk terakhir kalinya Mama mau mastiin, are you sure, honey? Kamu yakin ini yang kamu mau?” tanya Lina memastikan. Dan seperti katanya, ini sudah ke sekian kalinya wanita itu memastikan kepada sang putri akan keputusannya berada di sini saat ini. “Kamu tahu, Mama sama Papa bisa kembali begitu pengobatan Papa selesai. Kamu masih bisa di sini, tinggal sama Eyangti dan Ares.”
Milda tersenyum, meski Mamanya pasti tahu bahwa senyuman itu terlalu dipaksakan olehnya saat ini. “Kuping Milda belum setebel kupingnya Are—Mas Ares,” Milda dengan cepat mengoreksi panggilannya pada Ares yang lebih terbiasa tanpa embel-embel panggilan Mas jika hanya berdua saja. Karena usianya dengan sang kakak sepupu itu juga tidak terlalu jauh, Milda lebih sering memanggilnya hanya dengan nama. “—Milda belum sanggup harus ngehadapin omongan Om sama Tante, atau dengerin omongan sok pamer anak-anaknya. Mendingan Milda ikut Mama sama Papa.”
Lina mendekatkan dirinya pada sang putri dan memberikan pelukan lembut. “Everything will be fine later, I promise.”
Milda menggigit bibir bagian bawahnya, lagi-lagi perasaan sesak dan bersalah menguasainya. Tetapi Milda tidak ingin menangis di sini, di hadapan sang Mama yang sudah begitu sabar dan pengertian terhadapnya. Jika Mama saja tidak pernah menuntut Milda apa-apa dan memaafkan kesalahannya, kenapa Milda juga harus menyiksa dirinya sendiri dengan perasaan bersalah?
“Iya Ma, everything will be fine. Soon.”
Hari itu, Milda tidak saja meninggalkan tanah kelahirannya tersebut untuk menemani Papanya yang akan melakukan pengobatan untuk kakinya yang terluka ke Sydney Australia. Tetapi juga memulai kehidupan yang baru di sana.
Milda akhirnya mencoba mendaftar di jurusan kedokteran di salah satu universitas swasta di Sydney. Ia pikir, ia masih ada harapan di jurusan kedokteran. Tetapi pada akhirnya Milda sadar ia hanya memaksakan diri, hingga akhirnya Milda pun mundur pada saat tahap terakhir pendaftaran. Setelah itu Milda memutuskan untuk mengambil gap year satu tahun sambil menemani dan membantu Mamanya untuk menjaga sang Papa.
Dalam waktu beberapa bulan tinggal di sana, Milda sudah memiliki banyak teman karena mengikuti beberapa perkumpulan khusus untuk remaja dan mahasiswa yang ada di Sydney. Dari sana Milda mulai mendapatkan teman-teman baru yang pada akhirnya membuat Milda sejenak melupakan kenangan pahitnya di Indonesia. Lalu di tahun berikutnya, Milda pun secara resmi masuk ke salah satu universitas swasta terbaik di Sydney dengan mengambil program bisnis.
Melihat sang putri yang mulai terlihat nyaman di sana, Bram dan Lina akhirnya setuju untuk mengurus kepindahan serta izin tinggal mereka secara resmi. Tentu saja dengan biaya yang tidak sedikit.
Kebetulan Lina sendiri memiliki seorang kakak perempuan yang sudah berkewarganegaraan Australia karena menikah dengan seorang pria asal sana. Dengan bantuannya, Lina dan Bram akhirnya membangun bisnis bersama yaitu sebuah toko alat-alat medis yang diberi nama HD Medical Supplies yang kemudian berkembang menjadi salah satu perusahaan supplier dan distributor terbesar peralatan medis bukan hanya di kota Sydney tetapi juga di sepenjuru New South Wales.
Toko itu pada awalnya adalah toko yang tidak terlalu besar. Butuh waktu bertahun-tahun untuk Lina dan Bram mengembangkan toko itu hingga menjadi perusahaan kecil yang terus berkembang dan sepuluh tahun kemudian akhirnya menjadi HD Medical Supplies Pty Ltd.
Begitu lulus kuliah, Milda pun memutuskan untuk bekerja dan membantu mengembangkan usaha orang tuanya. Tidak peduli jika itu membuatnya terlihat seperti burung dalam sangkar karena memutuskan bekerja di perusahaan keluarga. Dan keberhasilan perusahaan keluarga mereka pun tentu tidak lepas dari kegigihannya dalam bekerja.
Di usia tiga puluh tahun, Milda pun sudah menjabat sebagai Business Development Manager di HD Medical Supplies. Selain itu, Milda juga yang selalu menjadi representative perusahaannya ketika harus bekerja sama dengan rumah sakit-rumah sakit yang ada di seluruh penjuru New South Wales.
Sejak memulai kehidupan barunya di Sydney, Milda terhitung jarang sekali pulang ke Indonesia sekalipun Lina dan Bram selalu ‘pulang kampung’ setiap tiga bulan sekali. Milda selalu mencari alasan untuk tidak ikut. Hanya sekali Milda pulang yaitu saat ia berusia dua puluh empat tahun, ketika Eyang Uti atau nenek kandung dari pihak ayahnya itu meninggal dunia.
Katakanlah Milda menghindar. Bukan hanya dari kenangan pahitnya di sana tetapi juga dari keluarga besarnya yang menyebalkan. Semenjak menjalani kehidupan barunya, Milda berubah. Tidak banyak perubahannya memang, secara sifat dan kepribadian Milda masih sama. Hanya saja Milda memilih untuk menjalani hidupnya bebas, sesuai dengan apapun yang diinginkannya dan membuatnya bahagia selama itu tidak akan menyakiti kedua orang tuanya.
Milda tidak ingin lagi hidup untuk memenuhi ekspetasi orang lain. Dan hal itu membuatnya jauh merasa lebih bahagia. Dan perlahan, Milda benar-benar bisa melupakan kenangan-kenangan menyakitkannya dari masa lalu. Termasuk tentang Revin meski lelaki itu pernah menjadi salah satu luka terhebatnya.
***
Musim dingin datang lebih cepat di Australia. Pada bulan Juni, suhu maksimum di Sydney adalah 17 derajat. Dan hal itu membuat Milda senang karena hari ulang tahunnya selalu dirayakan saat hari sedang dingin dan bersalju.
Biasanya di hari ulang tahunnya, Milda memilih untuk berada di rumah bersama Mama dan Papanya. Menghabiskan waktu bersama mereka, mulai dari belanja bersama sejak siang yang kemudian ditutup dengan acara tiup lilin dan potong kue saat dinner bersama. Milda bahkan tidak pernah menerima kejutan ulang tahun di hari lahirnya itu dan membiarkan teman-temannya merayakan ulang tahun Milda satu hari atau beberapa hari setelahnya. Padahal sejak menjadi mahasiswa, Milda termasuk orang yang gemar berpesta dan nyaris tidak pernah absen dari setiap pesta yang diadakan baik oleh kampus, organisasi yang ia ikuti atau teman-temannya.
Tetapi hari ulang tahunnya yang ke tiga puluh satu tahun ini terasa berbeda dari hari ulang tahunnya yang lain. Hari ini Milda memiliki undangan untuk menghadiri sebuah acara di salah satu rumah sakit di Adelaide, South Australia.
Menyebalkan rasanya saat hari di mana seharusnya Milda hanya menghabiskan waktunya di rumah, di bawah selimut tebalnya sambil menunggu Mama memasakkan makanan-makanan kesukaannya, Milda justru harus sudah berada dalam penerbangan dua jam menuju Adelaide. Tetapi Milda lebih tidak tega jika harus membiarkan Papanya yang berangkat ke Adelaide saat hari sedang bersalju seperti ini.
Dari bandara, Milda langsung naik taksi menuju The Royal Adelaide Hospital yang merupakan rumah sakit terbesar di Australia Selatan tersebut. Rumah sakit itu adalah salah satu rumah sakit yang juga bekerja sama dengan HD Medical Supplies sejak tahun lalu. Itu sebabnya tidak etis rasanya jika tidak ada perwakilan dari HD Medical Supplies yang datang ke acara yang diadakan rumah sakit tersebut saat direkturnya sendiri yang mengirim undangan.
Acara yang digelar di ruangan auditorium itu terasa membosankan. Milda bahkan tidak kuasa menahan kantuk hingga kelepasan menguap ketika direktur rumah sakit berpidato. Dan Milda yakin seratus persen, orang-orang di ruangan itu merasakan hal yang sama dengan perempuan itu saat ini. Milda benar-benar butuh kopi atau dirinya akan benar-benar ketiduran di sana sebentar lagi.
Ketika seorang wanita di sebelah Milda berdiri—yang sepertinya hendak pergi ke toilet—Milda pun tidak melewatkan kesempatan tersebut untuk mengekori wanita itu. Meski akhirnya Milda tidak mengikutinya ke toilet melainkan berbelok ke koridor di mana vending machine terletak untuk membeli sebuah kopi.
Setelah gelas kartonnya terisi kopi, Milda pun memegang gelas berisi cairan kecoklatan itu dengan hati-hati. Milda pun bisa meraskaan seseorang sedang mengantri di belakangnya untuk mendapatkan minuman hangat dari sana, jadi Milda dengan cepat bergeser untuk memberikan ruang untuk orang itu.
Milda pikir, berada di sana di hari ulang tahunnya hari ini sudah menjadi hal yang cukup buruk. Tetapi Milda tidak pernah menyangka bahwa di hari ulang tahunnya yang bahkan belum lewat setengah hari itu Milda sudah mendapatkan bagian terburuknya.
Bagian terburuk itu tidak bukanlah kejadian sial atau hal yang memalukan. Melainkan berbentuk seorang laki-laki dengan coats coklat s**u yang berdiri hanya beberapa langkah darinya.
Menatapnya dengan tatapan yang mungkin sama dengan milik Milda saat ini. Terkejut.
Ada berapa besar ketidak mungkinan Milda bisa bertemu lagi dengan laki-laki yang paling ia tidak ingin temui sejak tiga belas tahun yang lalu? Jelas banyak.
Pertama, mereka sudah putus kontak sejak insiden itu.
Kedua, mereka berada di negara yang berbeda—meski Milda sendiri tidak tahu dan juga tidak mau tahu di mana lelaki itu berada seharusnya, yang pasti bukan di hadapan Milda.
Ketiga, kalau pun lelaki itu di Australia, Australia itu sangat luas bahkan terbagi ke enam negara bagian!
Dan kenapa dari semua ketidak mungkinan yang ada di seluruh alam semesta, kenapa dari semua tempat yang mungkin ada di Australia atau setidaknya di Adelaide, kenapa ia harus bertemu dan berhadapan lagi dengan laki-laki yang seharusnya sudah ia hapuskan dari sel otaknya sejak tiga belas tahun yang lalu, Revindra Septa Adhipratama.