“Andaru!”
Daru menghentikan langkah ketika suara seseorang memanggilnya. Pria ini membalikkan tubuh sampai berhadapan dengan seseorang itu, namun dengan jarak yang tidak dekat.
“Kamu ke mana saja? Mama tadi ke kantor, dan kamu malah tidak ada!”
“Habis ketemu teman lama. Ada apa Mama ke kantor?”
“Lebih tepatnya mama dan Rebecca datang ke sana.”
Wajah Daru berubah datar mendengar nama mantan istrinya itu. “Becca? Untuk apa?”
“Mama mau ajak kalian makan malam.”
“Tolong berhenti, Ma. Ansel dan Becca tidak akan kembali bersam—”
“Setidaknya ingatlah anakmu!” potong sang mama.
Mereka saling pandang beberapa saat, sampai akhirnya Daru menghela napas berat. “Ansel yakin Evan tidak akan kekurangan kasih sayang kalau itu yang Mama takutkan.”
“Kalau kalian kembali bersama, kasih sayang yang Evan dapat akan lebih besar, Andaru!”
“Benarkah begitu?” sangsi Daru. Pria ini tersenyum sinis sambil bersedekap. “Becca hanya peduli pada kariernya, Mama... Saat kami bersama pun, siapa yang sudah lebih banyak menghabiskan waktu berdua dengan Evan?” tanya Daru telak, yang membuat sang mama tak dapat berkata-kata.
Memang benar adanya, mantan istrinya itu lebih memilih mengambil job dua bulan setelah melahirkan daripada mengurus Evan, yang lebih banyak diurus Daru dan babbysitter profesional yang mereka sewa. Becca sepertinya belum mengerti juga, bahwa ia bukan lagi gadis single yang mementingkan kesenangannya sendiri terus-menerus.
“Mama yakin pelan-pelan dia pasti akan beru—”
“Ansel lelah, Ma. Ansel ke kamar dulu.” Setelah mengatakan itu, Daru langsung berbalik, lalu kembali melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Pria ini tak mau lagi melanjutkan perdebatan yang sama setiap harinya dengan sang mama sejak dia dan Becca memutuskan berpisah.
“ANDARU! MAMA INI BELUM SELESAI BICARA!” teriak sang mama tidak dipedulikan Daru sama sekali. Pria itu terus melangkah sambil memegang keningnya dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangan lagi masuk ke dalam saku celana.
“Anak itu!!” geram sang mama dengan gigi bergemeretak. “Sejak wanita itu sudah tidak ada lagi, dia berani sekali melawanku!”
“Tidak perlu bawa-bawa orang yang sudah tiada, Mayang!”
Wanita yang bernama Mayang itu, mengalihkan pandangan ke arah sumber suara, lalu menaikkan dagunya angkuh ke arah pria yang berusia kira-kira lima puluh empat tahun yang berdiri tak jauh di depannya. “Tidak perlu ikut camp—”
“Cukup!” ucap pria itu. “Biarkan Ansel memilih jalan hidupnya sendiri kali ini!” ucap sang pria tegas, lalu melangkah meninggalkan Mayang—mama Daru.
Mayang mendengus kesal, menatap punggung sang pria yang semakin menjauh dari pandangan. Kedua tangannya mengepal kuat. “Papa dan anak sama saja!” desis Mayang dengan wajah mengeras sempurna.
☆☆☆
Daru mengeringkan rambut dengan handuk biru miliknya sambil berjalan ke luar dari toilet yang ada di kamar pria ini. Pria ini hanya menggunakan boxer hitam dengan bertelanjang d**a. Memang sudah menjadi kebiasaanya tak menggunakan baju saat tidur. Bibirnya tersenyum tipis saat melihat sang anak tertidur lelap sambil memeluk erat guling yang ada di ranjang king size pria ini. Daru mendudukkan dirinya di pinggir ranjang, lalu mengusap sayang rambut tebal Evan. Pria ini mengalihkan pandangan ke arah nakas di samping ranjangnya.
Raut wajah pria ini berubah sendu ketika melihat foto seorang wanita cantik. Tangannya beralih mengusap foto itu dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa pergi secepat ini?” monolong Daru dengan suara beratnya.
Pria ini mengalihkan tangannya ke arah laci, lalu membukanya perlahan. Matanya langsung disuguhkan bingkai foto berisi foto gadis berseragam SMA. Rambut sang gadis yang berwarna merah itu tertiup angin. Wajahnya hanya terlihat dari samping, karena Daru memang memotret gadis itu secara diam-diam.
Pria ini tersenyum semringah. Hanya dengan melihat foto ini, semua bebannya seakan hilang. Daru mengambil bingkai foto itu, lalu mengusapnya sayang. “Aku gak sangka bisa secepat ini kembali bertemu sama kamu, Aya...” monolog Daru seolah seseorang yang ada di foto itu ada di depannya. Senyum pria ini menghilang, tergantikan dengan tatapan mata sendu. “Kamu ingin kita menjadi orang asing? Maaf, aku gak bisa turuti keinginanmu. Aku akan mendapatkanmu lagi, bagaimanapun caranya! Aku tahu dosaku padamu sebesar itu... tapi aku berjanji akan menebusnya!” lirih Daru penuh kesungguhan.
Pria ini segera saja memasukkan kembali bingkai foto itu saat merasakan pergerakan sang anak. Pasti sebentar lagi anak tampannya itu akan bangun hanya untuk meminta Daru memeluknya.
“Papa, peluk~”
Tuhkan.
Daru terkekeh geli, lalu meletakkan handuk yang tadi melingkar di lehernya ke atas nakas. Pria ini langsung membaringkan tubuhnya di samping Evan, lalu memeluk Evan erat.
“Tidur lagi ya, Boy...” bisik Daru.
***
“Kamu sudah datang, Aya?”
Zeta mengernyitkan dahi saat melihat seseorang yang menyapanya ketika wanita ini sampai di depan kelas anaknya. Dengusan kesal keluar begitu saja dari bibirnya. Wanita ini segera mengalihkan pandangan ke arah pintu kelas sang anak untuk menanti jam pulang Misha. Kenapa pria ini ada di sini?! Sudah bagus beberapa hari yang lalu yang menjemput Evan adalah supir keluarga Bratadikara. Kenapa dia lagi yang datang?!
Zeta bersedekap, mencoba sekuat tenaga menahan mulutnya untuk tidak membalas sapaan Mantan Berengseknya itu. Pria ini apa tidak mengerti Bahasa Indonesia?! Bukankah semalam sudah ia katakan bahwa mereka tidak perlu saling kenal?! Zeta menyugar rambutnya gelisah, saat tatapan Daru tak berpaling sedetik pun darinya.
Beberapa lama Zeta mencoba untuk terus mengabaikan Daru dan mengalihkan pikiran ke hal lain. Resep kue baru untuk kafenya misal.
“Apa ada sesuatu yang aneh di wajah saya, Papanya Evan?!” tanya Zeta akhirnya. Mulutnya ini tak bisa diajak kompromi, dan Zeta tak peduli. Zeta sudah benar-benar kegerahan dengan tatapan itu. Apa sih maunya pria ini?? Setelah membuat tidur Zeta tak nyenyak, bahkan memeluk Misha pun tak bisa membuat Zeta melupakan semua percakapannya di parkiran semalam dengan Daru, sekarang mantan kekasihnya ini malah bertingkah.
“Gak ada yang aneh.”
“Lalu kenapa Anda melihat ke arah saya terus?!” tanya Zeta tak suka. Lihatlah, bahkan Daru sengaja berdiri di sampingnya. Padahal ada banyak tempat kosong tepat di depan kelas anak mereka. Walaupun ada beberapa orang tua murid serta babysitter anak-anak lain yang juga sudah siap menjemput, tapi tempat ini sangat luas loh!
“Karena mataku cuma bisa lihat ke arah kamu aja, Aya...” balas Daru mantap dengan tatapan mata elangnya tajam menusuk Zeta.
Zeta sampai tak mampu berkata apa pun. Jantungnya berdetak sangat kencang. Tatapan itu, tatapan yang sama ketika pertama kalinya Daru menyatakan cinta padanya dulu. Tatapan seolah-olah hanya Zeta yang diinginkan Daru.
Zeta pun mengepalkan kedua tangan kuat. Kenyataan menghantamnya seketika. Kalau hanya ada Zeta di mata Daru, mengapa dulu pria gila ini memutuskan hubungan mereka?
“Simpan saja kata-kata manis Anda, Papanya Evan! Dan berhenti bersikap Anda mengenal saya!”
Daru mengeraskan rahang, kemudian memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana kerjanya. “Aku memang mengenal kamu kok, buat apa aku pura-pura gak kenal. Kalau kamu niat jadi orang asing, silakan, tapi jangan paksa aku untuk bersikap kayak gitu,” balas Daru datar.
“An—”
“Mama!”
“Papa!”
Zeta menghentikan ucapannya saat sang anak dan anak Daru menghampiri mereka. Mereka tak sadar jika jam pulang anak-anak mereka sudah tiba. Mereka berdua bahkan tak sadar menjadi pusat perhatian beberapa orang di sekitar mereka.
Zeta langsung merubah air mukanya menjadi senyum terang saat sang anak sudah memeluk erat pinggangnya.
“Pulang yuk.”
“Ayuk, Mama~”
Zeta langsung menggenggam jemari sang anak. Wanita ini ingin segera pergi dari hadapan Daru.
“Evan, akuh pulang ya... Dadah...” seru sang anak sambil melambai saat melewati Daru dan Evan. Zeta tersenyum lembut ke arah Evan, lalu segera membawa sang anak pergi tanpa ingin menatap Daru kembali.
Wanita ini melangkah pasti, walaupun dia tahu, Daru masih menatapnya. 'Berhentilah, Ansel! Aku takut gak bisa bertahan lebih lama...' lirih Zeta di dalam hati.
***