Bab 7. Kaiden Cemburu

1338 Words
Semalam, Pak Kaiden mengantarku pulang ke kontrakan, setelah kami membuat kesepakatan menjadi pacar pura-pura. Mulai hari ini, di kantor, aku harus mengikuti semua perintahnya. Karena kelelahan, aku bangun kesiangan. Gegas, aku mengambil handuk yang tergantung di dinding lalu mandi membersihkan diriku. Tidak ada ritual khusus seperti wanita pada umumnya sebelum mandi, seperti luluran dan semacamnya. Aku tidak pernah melakukannya, dan bersyukur aku memiliki kulit yang putih bersih dan mulus walau tanpa perawatan salon. Selesai memakai baju seragam, aku keluar dari kontrakan tanpa sarapan pagi seperti biasa. Baru saja membuka pintu, terlihat pria gagah dan tampan duduk di atas motor gede-nya, seraya tersenyum manis ke arahku. "Loh, Kak Leon sedang apa di sini?" tanyaku bingung sambil celingukan, siapa tahu pria itu sedang menunggu seseorang. "Rania, aku ingin mengajak kamu berangkat bareng ke kantor. Mulai sekarang, aku sudah bekerja di kantor yang sama dengan kamu, jadi aku berinisiatif mengajak kamu berangkat bareng," jelasnya, dengan senyum yang semakin melebar. Aku sedikit terkejut dengan kehadirannya, "Tapi, apa Kak Leon tidak malu membonceng aku yang hanya seorang office girl?" tanyaku dengan nada yang sedikit ragu-ragu. Pria itu tertawa kecil, menunjukkan deretan giginya yang putih. "Mungkin kamu yang malu dibonceng pria tua sepertiku," balas Kak Leon dengan nada yang santai. Pria itu melihat arloji di tangannya. "Sekarang sudah siang, kamu mau telat kerja," imbuhnya dengan nada yang mengingatkan. Benarkan juga aku bisa terlambat, aku sudah janji ke Mbak Susi untuk tidak terlambat lagi. Belum nanti aku harus menunggu ojek pangkalan yang lewat pasti membutuhkan waktu lama, dengan terpaksa aku berangkat bareng dengan Kak Leon. "Pakai helmnya," ucapnya, lalu pria itu membantu memakaikan helm ke kepalaku dengan gerakan yang lembut. Dari jarak dekat, aku mencium bau wangi maskulin yang menyegarkan, dan wajah tampannya membuat wajahku sedikit memanas karena malu. Aku merasa sedikit tidak nyaman dengan kedekatan kami, tapi aku tidak bisa menolak bantuan Kak Leon. Dengan hati yang sedikit berdebar, aku duduk dibelakang jok motor gedenya. "Pegang yang kuat, aku tidak mau nanti kamu jatuh," ucap Kak Leon sambil menarik tanganku ke pinggangnya yang berotot. Tanganku gemetar saat Kak Leon menyentuhku. Aku sedikit terkejut tapi aku tetap memegang pinggangnya dengan kuat untuk menjaga keseimbangan. Saat motor bergerak, aku merasa tidak nyaman dengan posisi aku memeluk pinggang Kak Leon dari belakang. Aku hanya bisa berharap perjalanan ini segera berakhir. Dari spion motor, tanpa sengaja aku melihat Kak Leon tersenyum sambil melihat tanganku yang melingkar di perutnya. Motor melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibu kota yang mulai sibuk dan ramai. Suara klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota terdengar di sekitar kami. Aku melihat banyak orang beraktivitas di jalan, beberapa di antaranya sedang berjalan kaki atau menunggu di halte bus. Tidak terasa sebentar lagi kami sampai kantor. Aku melihat gedung kantor yang sudah tidak jauh dari kami. "Kak, turun di sini saja. Aku tidak enak dilihat karyawan lain," ucapku sambil menepuk bahu kekarnya yang tertutup dengan jaket kulit. Aku melihat teman-teman office girl berdatangan, beberapa di antaranya sudah berdiri di depan gedung kantor. Aku tidak mau menjadi rumor, karena aku berangkat ke tempat kerja bareng salah satu pemilik perusahaan. "Kenapa turun di sini? Sebentar lagi kita sampai," katanya mengacuhkan keberatanku. "Jangan, Kak. Tolong, turun di sini saja," kataku sambil menutup wajahku dengan tas yang aku pakai. "Kamu kenapa, takut?" tanyanya, terdengar dari suaranya yang keberatan. Aku bingung menjawab pertanyaannya, tapi aku tidak bisa menjelaskan alasan sebenarnya. "Kalau tidak ada alasan yang tepat, aku tidak akan menurunkan kamu di sini," imbuhnya, membuat tubuhku lemas. Kak Leon terus menjalankan motornya sampai di depan kantor. Benar saja, seluruh teman-teman office girl dan boy melihat ke arahku. Mereka melongo melihatku dibonceng Kak Leon. Pria itu tetap tidak berhenti, sampai kami tiba di parkiran. Aku turun dari atas jok motor, lalu mencoba membuka pengait helm yang susah dibuka. Tanpa bicara, Kak Leon membantuku membukakan kait helm di daguku. "Terima kasih, Kak," kataku. Kak Leon tiba-tiba membenarkan rambutku yang berantakan dengan gerakan yang lembut. Aku sedikit terkejut dengan gerakan itu, tapi aku tidak bisa menolak. "Sudah rapi sekarang," katanya dengan senyum yang manis. Aku bisa merasakan wajahku memanas karena malu, tapi aku mencoba untuk tidak memperlihatkannya. Saat aku akan berbalik untuk masuk ke dalam kantor, tubuhku seketika melemas melihat penampakan Pak Kaiden yang ternyata sejak tadi berada di parkiran. Dia berada di dalam mobilnya yang jendelanya terbuka, menatapku dengan tajam sambil menegak air mineral di dalam botol. Lalu, dia meremas kuat botol mineral itu sampai tidak berbentuk, membuatku meringis. Aku merasa gerakan itu adalah peringatan dia sedang marah kepadaku. Seketika jantungku berdebar kencang saat melihat ekspresi Pak Kaiden yang murka. Aku tidak berani menatapnya lebih lama, takut dia akan semakin marah. "Ada apa?" tanya Kak Leon, dia melihat ke arahku dengan rasa ingin tahu. "Tidak apa-apa, Kak. Ayo, kita masuk," kataku dengan suara bergetar. Aku mencoba untuk mengalihkan perhatian Kak Leon dari situasi yang tidak mengenakkan ini. Aku tidak ingin Kak Leon tahu tentang masalahku dengan Pak Kaiden. Aku merasa sedikit takut dan cemas saat berjalan menuju kantor. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku yakin Pak Kaiden tidak akan membiarkanku begitu saja. Aku berjalan di koridor kantor bersama Kak Leon, sementara seluruh karyawan dan teman-teman satu profesi menatap kami dengan penuh rasa ingin tahu. Kak Leon tetap berjalan dengan santainya, tidak memperdulikan tatapan mereka yang penasaran kenapa kami bisa berangkat bersama. Sebagai wakil direktur, Kak Leon memang memiliki posisi yang cukup tinggi, sementara Pak Kaiden memegang posisi direktur. Di ujung koridor, aku dan Kak Leon berpisah. Dia menuju ruangannya, sedangkan aku menuju pantry untuk mulai bekerja. Begitu aku masuk, aku disambut dengan tatapan tidak suka dari office girl lainnya. "Hei, Rania. Kamu kenapa bisa akrab sekali dengan Pak Leon?" tanya Mbak Ratna dengan nada tidak suka. "Iya, Rania. Kamu itu baru setahun kerja di sini, sudah kegenitan menggoda pemilik perusahaan. Jangan mentang-mentang kamu cantik bisa menggoda setiap pria di kantor ini!" Mbak Tina yang senior ikut menambahkan. "Kamu tidak tahu Rania saja, dia itu memakai kecantikan dan tubuh seksinya untuk menggoda Pak Leon. Pria normal mana yang tidak tertarik dengan w************n seperti Rania?" ejeknya dengan nada menghina. Mbak Ratna semakin sarkas. Aku sudah tidak tahan lagi mendengar hinaan mereka. Dengan langkah mantap, aku mendekati Mbak Ratna dan Mbak Tina yang sedang menertawakanku. Suasana di pantry menjadi tegang, semua mata tertuju pada kami. "Cukup kalian menghinaku!" kataku dengan nada tegas. "Kita tidak pernah ada masalah, Mbak Ratna. Kenapa kamu sepertinya sok tahu sekali tentang diriku?" ujarku sambil menatapnya dengan tajam. "Aku bukan w************n yang kamu tuduhkan. Jangan memfitnah kalau tidak ada bukti!" imbuhku dengan suara yang semakin keras. Wajah Mbak Ratna memerah, mulutnya terkatup rapat. Dia pasti tidak menyangka aku akan membalasnya. Mbak Tina yang berdiri di sebelah Mbak Ratna terlihat ikut terkejut. "Dan, apa kamu juga melihat aku menggoda setiap pria di kantor ini?" tanyaku dengan nada menantang. "Aku ingin bukti. Kalau tidak bisa membuktikan, aku akan membawa kalian ke jalur hukum karena telah mencemarkan nama baikku!" kataku dengan tegas kearah Mbak Tina. Suasana di pantry semakin menegangkan. Semua orang menahan napas, menunggu reaksi Mbak Ratna dan Mbak Tina. Kedua wanita itu terlihat tidak siap menghadapi reaksi keras dariku. "Ada apa ini?" tanya Mbak Susi yang tiba-tiba masuk ke pantry melihat kearah kami. Teman-teman office girl dan boy semuanya bubar, saat Mbak Susi datang. Mereka terlihat tidak ingin ikut campur masalahku dengan Mbak Ratna dan juga Mbak Tina. "Tina, Ratna bisa jelaskan ada apa?" tanya Mbak Susi menghampiri dua wanita itu. Mereka tidak bisa menjawab pertanyaan Mbak Susi. "Maaf, Mbak. Kami mau mulai kerja dulu," ucap Mbak Ratna dan diangguki Mbak Tina. Mereka tidak berani dengan Mbak Susi. "Rania, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Mbak Susi setelah mereka pergi. "Aku tidak apa-apa, Mbak," jawabku. "Oh, iya, Rania. Tadi Pak Kaiden menyuruh kamu membuatkan kopi untuknya, beliau mau kamu yang membuatkan bukan orang lain dan kamu juga yang mengantarnya," ucap Mbak Susi. Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Belum selesai aku mengontrol emosi, sekarang malah ada tugas yang membuatku semakin stres. Aku harus membuatkan kopi untuk Pak Kaiden, dan itu artinya aku harus menghadapinya dan kemarahannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD