Bab 6. Membuat Kesepakatan

1270 Words
"Syaratnya aku tidak mau mengikuti sandiwara lagi berpura-pura menjadi pacar Pak Kaiden," kataku dengan tegas, menatap pria itu dengan serius. "Asal bapak tahu, wanita galak itu mendatangiku di pantry, dia juga menjambak rambutku dan mengancam agar aku menjauhi Pak Kaiden," tambahku dengan suara mengebu-gebu. Pria itu yang sedang memijit pelipisnya, menatapku dengan tajam, membuatku merasa takut. Melihat ekspresi aneh dari Pak Kaiden, aku memilih melangkah mundur karena tatapan matanya mengingatkanku dengan malam mencekam itu. "Aku tidak setuju dengan syarat itu," jawabnya dengan nada yang tegas, membuatku berjingkat kaget. Karena, saat ini aku sedang memikirkan caranya kabur. "Aku masih membutuhkan kamu, karena kulihat hanya kamu yang berani melawan mereka," tambahnya, menolak persyaratanku dengan sangat jelas. Aku menatap geram dengan jawabannya. Aku harus memikirkan cara untuk membuat dia menerima syaratku. Aku tidak mau terlibat dengan dua wanita itu, karena fellingku mereka wanita jahat dan ada kaitannya dengan meninggalnya Aruna. Aku tidak mau menjadi korban berikutnya mati dengan sia-sia walau aku gadis yatim piatu, tapi aku ingin menemukan kakak kandungku dulu. Aku harus berpikir dengan cepat, untuk menolak tawarannya. "Ok, kalau bapak tidak mau menerima syaratku," kataku berusaha bersikap santai sambil mengatur napas. "Aku akan bilang ke semua orang kalau Pak Kaiden yang tampan dan gagah ini memiliki phobia kegelapan," tambahku dengan senyum mengejeknya. Tiba-tiba pria itu berdiri sambil menatap mataku dengan tatapan mengerikan. Aduh, apa aku salah waktu, mengancamnya? Aku lupa di sini hanya ada aku dan dia, dan kalau dia macam-macam tidak ada orang yang tahu seperti malam itu. Aku terus melangkah mundur, mendekati pintu yang hanya beberapa langkah lagi. Aku berencana untuk lari kabur dari pria ini, yang tidak punya hati. Namun, jantungku berdegup sangat kencang, meskipun aku berusaha tetap tenang sambil memantau gerak-geriknya. Aku tidak ingin menjadi mangsa kemarahannya lagi. Saat tubuhku sudah menabrak pintu, dengan cepat aku membuka handle pintu dengan satu tangan. Aku menarik napas lega ketika pintu berhasil terbuka. Dengan gerakan secepat kilat, aku membalikkan tubuhku dan bersiap untuk lari. Namun, pria itu lebih cepat. Dia mencekal tanganku dengan kuat. "Kamu tidak bisa pergi kemana-mana!" bentaknya dengan nada keras, membuatku terlonjak kaget. Aku mencoba melepaskan diri, tapi cengkeramannya terlalu kuat. Aku takut dan panik, tapi tidak ada pilihan lain selain menghadapinya. "Ok, aku tidak akan lari," kataku dengan suara lemas, menyerah pada keadaan. Namun, saat itu juga, sebuah senyum lebar muncul di wajahnya yang tampan. Aku langsung menggelengkan kepala, tidak mau terlena dengan senyumnya yang membuatku diabetes. Bagiku, dia tetap pria yang tidak punya hati. Aku berusaha mempertahankan diri, tidak membiarkan dirinya mempengaruhi aku dengan senyum atau tatapannya. "Bagus, sekarang kamu kembali ke dalam," ajaknya, menyeretku masuk ke dalam ruangannya. Aku mencoba sekali lagi untuk melepaskan diri, tapi cengkeramannya sangat kuat. "Pak Kaiden, jangan macam-macam, ya. Aku bisa teriak," ancamku, mencoba untuk menakut-nakutinya. Namun, dia hanya tersenyum santai. "Aku tidak janji, kecuali kamu tidak menolak tawaranku untuk menjadi pacar pura-puraku," jawabnya seraya tersenyum simpul. "Kenapa Pak Kaiden tidak belajar menerima Mbak Soraya? Dia gadis cantik, ya, walau sedikit menakutkan auranya," kataku, memberi pandangan ke Pak Kaiden. "Tuh, kamu saja yang tahu. Wanita itu tidak beres. Aku masih mencintai almarhumah calon istriku, dan tidak mencintai Soraya," jawabnya sambil melemparkan dirinya di sofa, suaranya terdengar jujur. "Memang, kalau urusannya cinta, susah juga. Tapi, aku harus melakukan apa?" tanyaku, merasa sedikit bingung. "Kamu gadis berani, dan aku yakin Soraya dan mama tidak akan bisa menindas kamu. Kalau kamu berada di sampingku terus, Soraya tidak akan berani lagi menggodaku," ucapnya dengan nada yakin, membuatku ingin tertawa karena logikanya yang aneh. "Aku hanya seorang office girl, Pak. Mana mungkin aku bisa melawan mereka," tolakku. "Kamu harus berada di dekatku, mereka tidak akan berani mencelakai kamu. Kita hanya pura-pura, imbalannya apa pun yang kamu minta, aku akan kabulkan semuanya," jawabnya dengan nada meyakinkan. Aku tersenyum sinis, merasa ironi dia meminta bantuan kepada orang yang sudah dia rusak masa depannya. Aku tidak tahu siapa yang salah, karena malam itu dia sedang terpengaruh minuman beralkohol. Namun, tetap saja aku yang dirugikan. "Ok, tapi Pak Kaiden harus jamin keselamatanku. Aku tidak mau mati sia-sia sebelum menemukan kakak kandungku," kataku dengan nada tegas. Pak Kaiden menatapku dengan bingung, seolah aku mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. "Hei, memangnya kamu mau berperang sampai membawa mati sia-sia? Mereka itu bukan penjahat atau pembunuh berdarah dingin, jangan melebih-lebihkan. Kamu hanya perlu berpura-pura menjadi pacarku agar Soraya berhenti mengejarku. Itu saja!" jawabnya dengan nada santai, seakan-akan aku sedang membesar-besarkan situasi. Sebenarnya aku ingin menceritakan tentang obrolan Soraya dan mamanya--Pak Kaiden yang mengatakan mereka ada hubungannya dengan kematian Aruna, tapi aku tidak memiliki bukti yang kuat karena aku tidak sempat merekam percakapan mereka. Aku tidak ingin dianggap memfitnah, jadi lebih baik aku tidak memberi tahu Pak Kaiden. "Ok, karena tidak ada pilihan lain. Dan, kalau pun aku menolak, Pak Kaiden juga pasti akan tetap memaksa. Jadi, aku menerima tawaran Pak Kaiden," kataku dengan nada realistis. "Kamu pintar, Rania. Tapi, aku tidak mau berhutang. Aku akan membantu kamu menemukan kakak kandungmu, bagaimana?" tanyanya, memberikan penawaran yang menarik. "Deal!" kataku tanpa menunggu lama, seraya mengulurkan tangan membuat kesepakatan. Sudah lama aku mencari kakak kandungku yang diadopsi oleh orang kaya. Menurut nenek, kakakku diambil oleh orang kaya saat usianya empat tahun, dan aku berusia dua tahun saat itu. Aku berharap dengan bantuan Pak Kaiden, aku bisa menemukan kakak kandungku yang telah lama hilang. "Aku akan membantu mencari kakak kandungmu, Rania. Apa kamu memiliki foto atau apa pun yang bisa membantu orangku mencari kakak kandungmu? Nama dan mungkin orang tua yang mengadopsinya?" tanyanya dengan nada serius. "Kalau aku tahu nama orang tua yang mengadopsi kakakku, sudah pasti aku cari sendiri," jawabku dengan sedikit kesal. Aku sudah mencari selama ini, dan kalau aku tahu informasi lebih detail, aku pasti sudah menemukannya. Nenekku hanya memberikan foto kami saat kecil sebagai bukti bahwa aku memiliki saudara kandung. Menurut nenek, nama kakakku adalah Karang Samudra, tapi tidak menutup kemungkinan nama itu diganti oleh orang tua angkatnya. "Kalau begitu foto saja, masa tidak ada?" tanyanya, kali ini dia yang kesal dan tidak sabar. "Ada," jawabku singkat. Aku mengambil dompetku dari saku celana belakang, lalu mengeluarkan selembar foto aku dan kakakku. Di foto itu, Kak Karang sedang memangku aku dengan senyum yang hangat. "Ini foto Kak Karang," imbuhku, menyerahkan foto itu kepadanya. "Foto saat masih kecil, pasti sangat sulit. Tapi, aku akan berusaha mengerahkan seluruh anak buahku untuk mencari kakakmu, Rania," katanya dengan penuh keyakinan, menatap foto itu dengan serius. Aku berharap dia bisa menepati janjinya dan aku bisa menemukan kakakku yang telah lama hilang. Hanya Kak Karang yang menjadi keluargaku satu-satunya. Aku bertahan sampai sekarang karena aku masih memiliki harapan untuk menemukan Kak Karang, meskipun aku tidak tahu di mana keberadaannya. "Oh, iya, Kak Karang memiliki tanda lahir. Kata nenek, di punggungnya ada tanda lahir berupa tahi lalat merah, tapi untuk melihatnya pasti susah, apalagi kalau sudah dewasa," kataku dengan nada yang sedikit lemas, mengingat betapa sulitnya mencari seseorang dengan hanya sedikit informasi. Aku berharap informasi ini bisa membantu Pak Kaiden menemukan Kak Karang. "Ok, aku nanti akan memberi tahu orang suruhanku. Malam ini kita membuat kesepakatan, kamu membantuku dan aku akan membantu kamu, Deal!" ucapnya dengan nada tegas, seolah tidak ada ruang untuk tawar-menawar. Suasana malam ini tiba-tiba terasa menegangkan, seperti ada beban berat yang tergantung di atas kepala kami. Pak Kaiden menatapku dengan serius, menegaskan kembali perjanjian kesepakatan yang telah kita buat. "Ok," jawabku singkat, dengan penuh keyakinan. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi ke depannya, yang paling penting adalah aku bisa bertemu dengan Kak Karang. Pak Kaiden mengambil foto dariku, lalu memotretnya kembali dengan ponselnya, memastikan dia memiliki salinan foto Kak Karang. Aku menatapnya dengan penuh harapan, semoga ini adalah langkah awal untuk menemukan saudara kandungku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD