Casia mengendarai mobil. dengan kecepatan tinggi. Sungguh, dia tak bisa berpikir jernih kali ini. Lalu ke mana dia harus pergi? Tak mungkin dia pergi ke rumah temannya hanya untuk mengungkap masalahnya, bukan? Opsi lainnya adalah pergi ke rumah ibunya. Di sana dia bisa mengungkap masalahnya dengan tenang sampai lega.
"Baiklah, aku ke rumah ibu saja," putus Casia.
Sebelumnya Casia melaju tak tentu arah. Kini dia merubah haluan menuju jalanan ke rumah ibunya. Jarak rumahnya dan rumah ibunya ada lima belas kilo, tapi masih dalam kota yang sama. Jika ditempuh menggunakan mobil hanya butuh waktu tiga puluh menit saja.
Casia tiba di mansion keluarga Nata. Mansion itu bahkan lebih besar daripada miliknya yang dia tempati bersama Theo. Diayunnya handle pintu, turun dari mobil.
"Ibu ada di rumah berarti." Ada dua mobil lain yang terparkir di sebelah mobilnya. Satu mobil biasa dipakai ibunya dan satu mobil lainnya biasa dipakai oleh ayahnya.
"Siang, Nona." Penjaga rumah menyambut kedatangan Casia dengan memberikan salam.
"Siang." Casia bergegas masuk saat penjaga itu membukakan pintu untuknya.
Dengan langkah gontai dan mata yang kembali berembun, Casia mencari keberadaan ibunya. Rumah itu berlantai tiga. Biasanya ibunya ada di lantai dua menikmati waktu dengan menyesap teh di balkon. Dengan langkah berat ia meniti tangga satu per satu hingga tiga di balkon.
"Casia!" Seorang wanita dengan rambut hitam kemilaunya meski di usia yang tidak muda lagi, menoleh ke arah pintu kala mendengar suara heels yang menyapu lantai.
Casia yang mendapati sosok ibunya berdiri menjulang setelah bangkit dari tempat duduk, segera menghampiri dan memberikan pelukan erat. Air matanya seketika tumpah saat itu juga dia sudah tak bisa membendungnya lagi. Pertahanannya jebol sudah.
"Ada apa denganmu?" Casia tak merespons dan terus menangis tersedu. Ia malah mengeratkan pelukannya. Membuat ibunya mengusap rambut cokelat Casia dengan lembut.
"Ibu ... Theo, Bu ..."
"Ada apa dengan Theo?"
Casia mengurai pelukan. Dengan mata yang masih basah dan hampir bengkak, ia kemudian menceritakan dan meluapkan semua kesedihan hatinya. Dengan suara bergetar Dia pun akhirnya menceritakan apa yang baru saja memukulnya dirinya, bahkan menghempasnya hingga ke dasar. Pria yang dia cintai dan perjuangan selama ini dengan mudahnya menorehkan luka di hati.
"Apa kamu bilang? Theo berselingkuh?!" Casia mengangguk lemah merespons. Rasanya kini tubuhnya tak berotot. Untuk menyangga tubuhnya saja terasa berat.
Valia-ibunya Casia bagai mendapatkan tamparan keras di kedua pipinya mendengar kabar perselingkuhan barusan. Dia sungguh tak menyangka sama sekali, pria yang sudah di angkatnya menjadi menantu dan dia beri kedudukan berani mengkhianati putrinya di depan mata secara terang-terangan.
"Apa kamu yakin, Theo, berbuat hina begitu?"
"Benar, Ibu. Theo berselingkuh dengan seorang wanita."
"Tidak tahu malu sekali pria itu. Dia adalah pria miskin beruntung yang dipungut oleh putriku setelah dia naik kasta, malah melempar bara api padamu setelah mendapatkan kemewahan ini!"
Theo adalah pria miskin pilihan Casia sendiri. Sebelum menikah dengan Theo, Valia menjodohkan Casia dengan pria mapan yang setara dengan keluarga Nata, putra dari rekan bisnisnya. Sayang, Casia menolak keras perjodohan tersebut dan malah membawa Theo, memperkenalkannya sebagai cinta sejati pada seluruh keluarga besarnya. Casia sendiri baru setahun mengenal Theo. Pertemuan pertama mereka yang membuat Casia jatuh hati padanya. Saat itu Casia mengalami kecopetan, datanglah Theo yang membantunya. Dari sanalah awal perkenalan mereka, hingga tumbuh cinta di antara mereka.
"Ibu sudah bilang sebelumya padamu. Orang miskin itu bodoh dan tak bisa dipercaya, tapi kamu mengindahkan ucapan Ibu. Sekarang benar, kan, apa yang dulu Ibu katakan? Pria itu mengkhianatimu!" Valia terlihat marah sekali. Tulang rahangnya sampai mengeras.
Seandainya saja dulu dia bersi keras memisahkan Casia dan Theo, maka putrinya itu tak perlu menderita seperti sekarang ini.
Casia mencelos. Bukannya ibunya itu mencoba untuk menenangkan dirinya, namun malah menyalahkan dirinya. Sungguh sembilu sekali rasanya.
"Tapi Theo dulu tidak seperti itu, Ibu. Dulu dia lembut sekali, penurut dan tipikal setia. Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia bisa berubah drastis begini?"
"Ibu sudah bilang berulang kali jangan menikahi pria itu. Tapi kau selalu membantah. Sekarang terima saja nasibmu."
Casia yang sedih sampai mengeratkan kening mendengar perkataan ibunya. Rasanya cuma saja dia bicara dengan wanita yang melahirkannya ke dunia ini. Bukannya dia mendapat ketenangan atau solusi namun malah membuatnya semakin emosi.
"Aku tahu, Theo memang pilihanku jadi apapun resikonya aku yang menanggungnya. Ibu tak perlu membantuku." Dengan mengusap air mata yang masih mengalir, Casia kemudian pergi dari rumah. Kecewa. Dia sungguh kecewa dengan ibunya.
"Casia ... bukannya ibu tak mau menolongmu. Tapi ini ibu lakukan agar kamu mengerti kesalahanmu, sehingga ke depannya kamu akan menuruti kata ibu, termasuk dalam memilih jodoh." Valia sama sekali tak menahan kepergian Casia, meski hatinya juga merasa pilu melihat kesedihan putrinya. Tapi tak apalah jika Casia mengira dirinya tak punya hati atau tak peduli.
***
Casia kembali melaju mobil tak tentu arah. Semua jalanan sudah dia lewati. Mungkin saja jika ada jalanan menuju ke langit tentu ia akan mengemudikan mobilnya ke sana. Di ujung lelahnya selama berkendara jauh, akhirnya dia menghentikan mobilnya juga di sembarang tempat.
Terdengar suara pintu mobil di sentak setelah Casia turun. Kepalanya tertunduk tertutup oleh rambut panjang cokelatnya kala bersandar di mobil, untuk menyembunyikan kesedihannya, agar tak ada yang bisa melihat air matanya yang jatuh berderai. Lama ia menangis sampai kering air matanya terkuras semua barulah dia berhenti. Casia berjalan tak tentu arah dan berhenti setelah sampai di ujung jalan.
"Toko roti?!" Casia berhenti tepat di depan sebuah bakery. "Kapan toko ini ada di sini?"
Selama ini dia sering melewati jalanan ini tapi tak pernah melihat ada toko kue. Atau Mungkin memang dirinya kurang perhatian sehingga tidak mengetahui adanya toko kue ini.
Dari luar, kue yang di panjang di etalase nampak menggiurkan. Bahkan beberapa pengunjung datang untuk memesan. Tak hanya satu-dua orang saja yang masuk ke toko kue tersebut, tapi ada banyak pengunjung yang datang berduyun-duyun ke sana.
"Apakah kue di toko itu memang enak?" Terlihat, beberapa mobil datang dan masuk ke toko kue.
Di luar toko terlihat seorang pria muda dan seorang gadis memakai kostum tokoh anime yang sedang booming saat ini, menawarkan kue mereka.
"Nona, kenapa hanya berdiam diri saja di sana? Silakan masuk dan mencoba untuk menikmati menu kami. Hari ini ada gift untuk lima puluh pembeli pertama." Pria muda mengenakan kostum tokoh Naruto memanggil Casia. Tak lupa dia melempar senyum manisnya.