"Akhirnya hari ini aku bisa pulang lebih awal. Setelah lembur dan pulang mendahului lainnya." Casia-karyawati sebuah perusahaan, keluar dari airport menuju ke taksi online yang dipesanannya beberapa saat yang lalu.
Casia adalah seorang wakil manajer di sebuah perusahaan swasta. Karirnya menanjak dan sebelumnya dia dipromosikan sebagai seorang manajer. Sayang seribu sayang, dia menolaknya demi keutuhan rumah tangga yang telah dibangunnya setahun yang lalu. Dengan posisi sebagai manajer, dia tentunya akan memikul beban kerja yang lebih berat dan pasti lebih menyita waktunya. Jika sebagai wakil manajer saja, dia terkadang masih lembur. Bagaimana jika menjadi manajer? Itulah alasannya dia menolak jabatan tinggi itu untuknya. Dia tak mau membuang waktunya di tempat kerja.
"Pak, tolong antar saya ke Menteng nomor tiga puluh." Casia segera menyebutkan lokasi tujuan, sebelum taksi melaju.
"Ya, Nona."
Sepanjang jalan, Casia nampak antusias dan tak sabar ingin segera pulang. Sudah lima hari ini dia ikut acara di kantor dan baru bisa pulang. Lima hari jauh dari suami, sungguh membuatnya merindu setengah mati.
Theo ... kamu pasti juga merindu, sama sepertiku.
Ponsel Casia nampak menyundul keluar dari balik tas. Ia menariknya sekalian, lantas melihat isi ponselnya. Diusapnya layar dengan kode sandi, hingga terbuka. Ada beberapa pesan masuk tak ter baca. Satu per satu pesan dibacanya, senyum terbit di wajahnya kala membaca pesan dari sang suami berisi kata romantis, puitis dan segudang rayuan mendayu lainnya.
"Pak, tolong percepat lagi laju mobilnya." Casia semakin tak sabar ingin segera pulang setelah membaca pesan romantis dari suami tersayang.
"Baik, Nona." Mobil melaju lebih cepat dari sebelumnya.
Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan sebuah mansion mewah di kawasan Pondok Indah, sebuah perumahan elite di kawasan Jakarta Selatan. Mansion itu adalah pemberian orang tuanya sebagai hadiah pernikahannya.
"Pak, ini ongkosnya." Casia menyerahkan beberapa lembar uang pada sopir taksi.
"Nona, ini kembaliannya"
"Tidak perlu, Pak. Ambil saja sisanya." Casia mengambil langkah panjang meninggalkan sopir taksi. Hatinya sedang berbunga-bunga. Jadi tak apa ia berikan sedikit uang itu pada sopir.
Kesehariannya, Casia memang merupakan tipe yang lebih suka tangan di atas daripada tangan di bawah. Dia tak segan memberi kepada siapa saja yang menurutnya patut diberi. Seperti kali ini. Menurutnya sopir taksi bekerja dengan baik, pantaslah jika dia memberi sedikit tip.
"Terima kasih, Nona." Bahkan Casia tak mendengar sopir mengucapkan itu dan tak meresponsnya.
Cepat ia masuk ke rumah setelah menekan kode sandi rumah. Di lantai satu nampak sepi. Biasanya Theo menunggu dirinya saat dia pulang. Tapi kali ini tidak.
"Ke mana dia?" Casia sengaja tak memanggil nama lelakinya itu. Dia ingin memberikan kejutan. Karena menurutnya, Theo pasti memberikan kejutan padanya dengan bersembunyi entah di mana atau memberikan kejutan lainnya. Sebelumya Theo seringkali memberi Casia kejutan yang membuatnya selalu berbunga dan terus merindukan sosok pria itu.
Dia langsung menuju ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Menurutnya Theo pasti menyiapkan sesuatu yang indah di sana. Ketika tiba di depan pintu kamar, ada sesuatu yang ganjil. Ada sepatu wanita yang bukan miliknya di samping pintu.
Sepatu siapa ini?
Detik itu juga d**a Casia bergemuruh. Ia berharap di dalam sana tak ada sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya. Dia menarik napas panjang kala mendengar suara decit ranjang berguncang hebat.
Deg!
Setelahnya terdengar suara desahan lembut. Suara asing yang tak pernah didengarnya. Jantungnya benar-benar selasa akan melompat keluar dari tempatnya. Pelan ditatikanya handle pintu hingga pintu terbuka seutuhnya.
Betapa mengejutkan pemandangan yang tersaji di depannya. Suaminya tengah bergulat dengan seorang wanita lain di tempat tidurnya, tempat di mana dia dan Theo biasa bertempur dan berbagi peluh bersama. Casia bisa mendengar suara lenguhan menjijikkan wanita yang berada di bawah kungkungan tubuh Theo, suaminya. Hati Casia terasa diremas kemudian ditikam dengan berlati tajam melihat Theo membagi cintanya pada wanita lain yang seharusnya hanya untuk dirinya seorang.
"C-casia ... kapan kamu pulang, Sayang?" Aktivitas itu terhenti seketika, setelah menyadari seseorang yang masuk ke kamar.
Theo nampak salah tingkah, begitu pula dengan sang wanita yang duduk membeku tak berani menatap Casia.
"Aku sengaja pulang lebih cepat dari jadwal karena ingin bertemu lebih awal denganmu. Tapi apa yang kau lakukan ini? Aku sungguh tak percaya beberapa menit yang lalu kamu mengirimkan pesan cinta padaku. Tapi sekarang kamu bahkan bermain dengan wanita lain." Casia nampak frustasi dan hampir gila.
Suami yang sangat dirindukannya juga sangat memuja dirinya berbuat setega ini padanya. Padahal sebelumnya rumah tangga mereka selalu harmonis, tak pernah ada masalah sedikitpun atau kesalahpahaman di antara mereka, tapi kenapa realitanya sungguh berbeda? Bumi yang dipijaknya bagai hancur dan akan menimpa tubuhnya. Ia tak kuasa melihat kejadian yang menyayat hati ini.
"Casia, aku bisa jelaskan ini. Dengarakan aku. Ini semua sebuah kesalahpahaman saja." Theo segera memungut pakaian yang berserakan dan memakainya kembali.
Pria bertubuh tegap itu menghampiri Casia yang gemetar dan berguncang hebat. Dia merengkuh tangan Casia namun cepat ditampik oleh Casia.
"Theo, tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Semua sudah jelas. Apa yang kau lakukan di depanku ini tak bisa ku maafkan."
"Casia, dengarkan aku. Oke, aku salah. Aku minta maaf padamu, Sayang. Tapi aku tidak sadar melakukan ini. Wanita itu menjebakku, sungguh."
Casia dengan sepasang netranya yang mulai berembun menatap tajam Theo yang memelas dan mengiba di depannya. Bahkan pria itu sampai berlutut segala memohon ampun dengan mencium kaki Casia. Dia benar-benar bingung bagaimana harus menghadapi Theo. Di antara rasa sedih dan haru dia menatap lurus manik hitam Theo. Dia memegang bahu Theo lalu menekannya dengan kuat. Theo mengulas senyum tipis, mengira Casia memaafkan perbuatannya.
"Theo, meskipun kamu minta maaf padaku berulang kali bahkan sampai berdarah pun aku tetap tak akan bisa memaafkan perbuatanmu ini." Casia berbalik pergi meninggalkan Theo.
Senyum Theo layu seketika. Ia berusaha mengejar, namun Casia sudah masuk ke mobil dan melaju mobil di garasi dengan cepat, keluar dari mansion. Dia benar-benar tak tahan melihat apa yang barusan terjadi. Air mata yang ditahanya sejak tadi kini jatuh berderai, mengalir deras membasahi pipi mulusnya yang kemerahan.
"Theo ... jadi selama ini kamu sudah menipuku?" Casia bicara dengan d**a sesak dan napas tersengal. Kejadian tadi masih terus terbayang dalam benaknya.
Bayangan Theo menggapai kenikmatan sungguh membuatnya hilang akal. Ingin rasanya dia menghilang dari muka bumi ini jika bisa.