Niatnya Theo ingin menahan Casia di rumah untuk bicara baik-baik dengannya, tapi nyatanya malah dia yang kini merasa bagai diusir dari istana megah yang sudah dia tinggali serta membuatnya nyaman menikmati berbagai fasilitas hidup.
Tidak! Aku adalah pemilik rumah ini. Aku tak ingin pergi dari sini.
"Casia, kamu tidak bisa mengusirku begini. Aku masih sebagai suami syahmu," sanggah Theo.
"Tidak lagi. Setelah ini aku akan mengurus perceraian denganmu. Tapi anggap saja kita sudah bercerai sekarang. Pergi dari sini."
Theo kembali memohon, dia bahkan memeluk Casia untuk mengambil hatinya setelah membujuknya, namun Casia tetap menutup hatinya rapat untuk Theo. Baginya kesalahan pria itu cukup fatal sekali, dan tak termaafkan.
"Pergi, Theo! Pergi!"
"Tapi, Casia! Tolong pikirkan sekali lagi. Aku berjanji setelah ini tak akan mengulangi perbuatanku ini. Aku janji, dan aku bersedia melakukan apapun untukmu." Theo kembali mengiba.
Karena keras kepala, dan Casia gagal mengusir Theo, maka dia memanggil sekuriti untuk menanganinya. Satu sekuriti yang ada di depan rumah segera datang setelah dipanggil. Dengan sigap, pria berbadan tegap itu menghampiri Theo.
"Lepaskan aku! Apa kau lupa aku juga yang menggajimu?" Theo merasa kesal sekuriti itu memegang tubuhnya erat lalu menyeretnya keluar dari rumah.
"Maaf, Tuan. Saya hanya menuruti perintah Nyonya Casia saja. Maafkan saya." Namun ketika tiba di luar, sekuriti melepasnya dengan sopan. Dia masih ingat juga kebaikan Theo padanya selama ini.
Casia berjalan menuju ke pintu. Di luar sana masih ada Theo yang berdiri menjulang. Kini pria itu menatapnya lekat.
"Casia! Aku tahu biasanya kamu adalah orang yang berhati lembut, tidak seperti ini. Ini bukanlah dirimu." Theo masih berusaha mencoba mengubah keputusan Casia. Sungguh, ia masih ingin berada di rumah itu.
"Tidak, Theo! Kamu yang membuatku berubah! Sampai bertemu di pengadilan agama." Casia menjawab dengan tegas.
Tanpa menunggu jawaban, dia segera menutup kembali pintu dan menguncinya dengan rapat. Tak peduli di luar sana Theo masih bicara dan terus memanggilnya untuk rujuk kembali.
Terdengar tarikan napas panjang setelahnya.
Casia yang nampak kuat dan tegar di hadapan Theo, sekarang tak berdaya. Tubuhnya luruh menyapu lantai. Punggungnya bersandar pada daun pintu. Akhirnya pecah juga tangis yang sedari tadi Casia tahan. Ia berpura-pura kuat agar tidak nampak mengenaskan di hadapan Theo. Sebenarnya rasa cinta untuk Theo masih ada, namun sudah terkubur oleh perbuatan bejatnya bersama wanita lain.
"Kenapa ini bisa terjadi padaku?" Casia membenamkan kepalanya diantara kedua lutut yang ditekuk.
***
Theo berdiri di depan pintu sebuah rumah setelah diusir oleh Casia. Tak lama setelahnya terdengar suara pintu terbuka.
Dari balik pintu menyembul seorang wanita.
“Aku diusir, Dara."
Dara adalah wanita selingkuhan Theo. Ya, dia adalah wanita yang diajak tidur di kamarnya bersama Casia tadi. Wanita yang nampak cantik dengan make up tebal. Memang kelihatan lebih cantik daripada Casia, meski usianya nampak lebih tua dari Casia.
"Baiklah, kamu masuk dan menginaplah di sini selamanya bersamaku, Sayang." Dara mengalungkan tangan ke leher Theo.
Dengan bibir merahnya, dia mengecup bibir Theo lalu membawanya masuk ke rumah.
"Apakah Casia mengusirmu masalah secepat ini?"
"Ya, harusnya kamu tidak berkunjung ke rumah tadi. Jadi kita tak perlu melakukan itu di sana tapi bisa melakukan di sini dengan leluasa," sesal Theo.
Sudah lama Theo ada main dengan wanita ini di belakang Casia. Namun dia melakukannya dengan rapi sampai Casia tidak menyadarinya sama sekali. Andai saja Dara tidak berkunjung ke rumah tadi pastilah dia tidak akan bercerai dengan Casia.
"Aku sangat merindukanmu, Sayang. Jika saja kamu bilang padaku istrimu itu akan pulang maka aku tak akan datang."
"Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya juga membahas hal itu. Sekarang yang terpenting bagaimana caranya supaya aku apa mendapatkan harta warisan yang banyak setelah bercerai dari Casia."
Sama sekali tidak nampak binar kesedihan di muka Theo dengan perceraian ini. Atau memang dia sudah menyiapkan sebelumnya?
Dara kemudian beralih duduk di pangkuan Theo setelah sebelumnya duduk merapat pria itu.
"Aku tahu bagaimana cara mendapatkan semua harta warisan istrimu, Sayang."
"Bagaimana?"
Dara kemudian membisikkan kata di telinga Theo. Panjang sekali yang dia ucapkan, hingga Theo mengagguk berulang kali meresponsnya.
"Saranmu bagus sekali, Sayang." Theo kemudian mengulas senyum seringai. Setelahnya dia meneguk bibir Dara dan melumatnya sampai habis.
***
Seharian, Casia mengurung diri di kamar. beberapa waktu yang lalu dia juga sudah bicara dengan seorang pengacara untuk mengurusi sidang perceraiannya dengan Theo. Menurutnya keputusannya sudah bulat untuk menceraikan pria itu.
"Apakah langkah yang ku ambil sudah tepat? Pria yang berselingkuh mungkin tak akan bisa sembuh. Selingkuh itu penyakit bukan karena suatu sebab dari pihak pasangan."
Casia mengusap matanya yang bengkak. Seharian ini dia memang menangis, seorang diri tanpa ada yang bisa dia jadikan sandaran. Hanya menangis aja yang bisa ia lakukan untuk melegakan hatinya yang sesak bagai dihimpit batu besar. Bahkan dia pun sampai tertidur karena kelelahan menangis.
***
"Aku harus bertindak cepat sebelum sidang perceraian itu dimulai. Karena Casia pasti bergerak cepat. Lagi, dia juga tak bisa diajak bicara untuk saat ini. Jadi inilah satu-satunya jalan yang kutempuh, Casia Sayang." Theo dengan memakai masker dan juga kacamata turun dari sebuah mobil yang berhenti tak jauh dari rumah Casia berada.
Dia mengendap-endap layaknya seorang maling saja. Untuk melancarkan aksinya dia keluar rumah lewat tengah malam. Keadaan jalan di sekitar rumah Casia sepi pada jam satu dini hari ini. Sedikit kendaraan yang lewat. Dan yang lebih penting lagi, sekuriti yang bertugas menjaga rumah mewah itu saat ini sedang tertidur di meja.
"Dewi Fortuna sedang berpihak padaku. Tak perlu susah payah, alam sudah membantuku." Theo mengeluarkan sebuah benda bulat merupakan gas yang dipadatkan.
Ia kembali memastikan keadaan sekitar yang ternyata masih aman. Dengan cepat, dia lalu melempar bola gas tersebut ke pos sekuriti. Asap mengepul setelahnya. Dua sekuriti yang saat itu berjaga, terbangun karena suara lemparan. Namun kala bola tadi pecah dan seketika menjadi gas yang mereka hirup, mereka roboh kembali ke meja.
Tak perlu mengambil kunci pagar, Theo melompati pagar rumah dengan mudah. Di sana, dia langsung menuju ke garasi mobil, tempat Casia yang biasa memarkir mobil.
"Casia, nikmatilah perjalananmu besok. Mungkin itu akan menjadi perjalanan terakhirmu."
Dengan cepat Theo menghampiri mobil Casia. Dengan mudah pula dia membuka pintu mobil. Theo yang memang ahli dalam mesin, menemukan kabel yang terhubung dengan rem mobil. Dia mengeluarkan alat untuk memotong kabel tersebut. Tak butuh waktu lama dia pun merapikan pekerjaannya.
"Sayang sekali, aku tidak mendengar wasiat terakhirmu." Theo mengulas senyum penuh kemenangan sebelum beranjak pergi dari sana.