"Astaga! Jam berapa ini?" Casia membuka mata.
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. "Aku padahal ada janji dengan pengacara hari ini."
Casia segera turun dari pembaringan. Dia ada janji temu dengan pengacara yang dihubunginya sehari sebelumnya, pagi ini jam sembilan. Namun dia sedikit merasa lega karena pengacara yang dihubungi itu akan datang ke rumah ini untuk membahas hal tersebut. Jadi ada sedikit waktu untuk bersiap.
Cepat, Casia masuk ke kamar mandi.
Di bawah guyuran shower, Casia kembali menumpahkan air matanya yang tertahan karena mengingat pengkhianatan yang dilakukan oleh Theo. Dadanya masih sesak jika mengingat hal itu. Padahal dulu dia memperjuangkan pria itu mati-matian di depan seluruh keluarganya yang menentang hubungan mereka. Apa yang dulu diusahakannya itu rupanya sia-sia belaka.
Aku harus move on.
Casia menyemangati dirinya sendiri. Tak ada yang bisa yang andalkan di saat seperti ini. Hanya pada dirinya yang rapuh dia bergantung.
***
"Benar, aku tidak boleh terus bersedih seperti ini. Wajahku terlihat jelek sekali." Casia mematut di depan cermin setelah selesai mandi.
Wajahnya nampak pucat dan layu tidak fresh seperti biasanya. Lantas ia menyapukan make up untuk menutupi bengkak di matanya akibat terus menangis.
Barulah ia selesai memoles mukanya terdengar suara dering telepon. Setelah dilihat rupanya panggilan masuk dari Pengacaranya.
"Masih jam delapan lebih tiga puluh menit. Ada apa ya, apa pengacara datang lebih awal dari jam yang dijanjikan?" Casia beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di tepi ranjang.
"Halo ... Pak. Apakah kita jadi bertemu hari ini di rumah?"
"Nyonya, maaf kita tetap bisa bertemu namun aku tak bisa datang ke rumah Anda pagi ini. Mobil yang kau pakai sedang masuk bengkel. Bagaimana bila Anda datang ke Firma?"
Casia memutar bola mata menatap jam yang tergantung di dinding. Waktu masih tiga puluh menit lagi. Jika dia menunda mungkin saja dia harus antre panjang. karena pengacara yang dihasilkan saat ini bukan pengacara biasa. Dia pengacara dengan jam terbang tinggi dan kualitasnya bukan kaleng-kaleng lagi.
Aku tidak mau menunda. Aku harus segera lepas dari Theo.
"Baiklah, Pak. Aku akan ke sana sekarang. tapi mungkin tidak bisa tepat waktu."
"Ya, nyonya, tidak apa. Aku akan menunggu kedatangan Anda."
Telepon terputus setelahnya. Casia kemudian segera bergegas. Dia tak mau menunda waktu lebih lama lagi. Baginya lebih cepat lebih baik, hubungannya dengan Theo berakhir. Semua harus jelas meski menyakitkan. Ia meraih tasnya serta kunci mobil, cepat ia mengayunkan kaki hingga terdengar suara heels menyapu lantai dengan sentakan kuat.
Secepat kilat Casia masuk ke mobil lalu melajukan mobil ke jalanan menuju tempat pengacaranya berada. Jalanan saat itu ramai. Namun dia bisa melewati keramaian. Namun tiba-tiba di tengah jalan terjadi sesuatu.
"Ada apa ini?!" Casia seperti kehilangan kendali. Dia menginjak pedal rem namun mobil sama sekali tak berhenti. "Kenapa remnya tidak berfungsi?!" Detik berikutnya Casia panik.
Jalanan di depannya ramai sekali. Berulang kali dia membanting setir ke kanan juga ke kiri untuk menghindari kendaraannya melintasi mobilnya dan hampir saja terjadi tubrukan.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan mobil ini? Semalam masih baik-baik saja tapi kenapa pagi ini remnya tidak berfungsi?
Dengan peluh yang mulai menetes, tiba-tiba saja terlintas pikiran buruk pada Theo. Di antara rasa cemas dan curiganya terpikirkan jika Theo pelakunya.
"Sial! Apakah Theo yang membuat rem ini tidak berfungsi? Dia sengaja memutus kabel rem untuk mencelakai aku?"
Casia hanya bisa menarik napas panjang memikirkan itu saja. Tanpa terasa buliran bening kembali menitik keluar dari sudut matanya. Pria yang sangat dia cintai dan bela mati-matian, tak hanya saja mengkhianati dirinya dengan berselingkuh, tapi juga mencelakai dirinya seperti ini.
"Apa yang sebenarnya dia inginkan? Apakah dia sudah merencanakan ini jauh-jauh hari? Theo, kamu benar-benar suami hina!"
Air mata mengenang memenuhi bola mata Casia. Ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga pula. Sembilu yang dia dapatkan setelah pengorbanan besarnya yang sia-sia.
Terdengar suara klakson nyaring dari arah depan.
Air mata yang jatuh berderai menghalangi pandangan Casia, hingga dia tak bisa melihat dengan jelas sebuah bus melintas dengan cepat di depannya.
"Bagaimana ini?" Dia tak bisa mengerem. Laju jalanan di samping kiri juga padat. Jika dia membanting setir ke kanan, sama saja dengan bunuh diri. Tapi jika membanting setir ke kiri pun sama saja, tak ada opsi yang bagus untuknya.
Casia terpaksa membanting setir mobil ke kiri karena itu menurutnya yang paling minim resiko daripada dihantam oleh bus.
Akh! Akhirnya Casia menubruk sebuah mobil yang kemudian membuatnya terlempar dan terus terseret hingga akhirnya berhenti di depan sebuah pohon besar.
Kaca mobil bagian depan pecah. Mobil bagian samping ringsek. Bahkan Casia pun terjepit dengan kondisi saat ini kepalanya berdarah setelah terjadi benturan hebat.
"Aku harus keluar dari sini." Dengan susah payah, dia berhasil keluar dari mobil.
Seluruh tubuhnya terasa sakit. Darah mengucur. Bahkan saat ini ia merasa kaki dan tangannya ringan sekali, tanpa rasa.
"Tolong!" Bahkan, dia berteriak dengan lemah.
Seorang pria berlari setelah melihat kejadian tersebut dan membantunya dengan menelepon ambulans.
"Kakak, kamu baik-baik saja? Bertahanlah. Aku sudah menelpon ambulans."
"Kamu ... pria pemilik toko roti berkostum Naruto, bukan?" Di tengah kesadarannya yang pias, Casia masih bisa mengingat dengan jelas pria yang ditemuinya dua hari yang lalu.
"Kakak, teruslah buka mata dan tetap tersadar."
Casia merasa tidak kuat lagi hingga pandangannya terasa gelap.
Pria itu memang Nevan. Dia kebetulan melintas di dekat Casia tanpa tahu sebelumnya akan bertemu di sini dalam keadaan seperti ini. Dia baru saja keluar dari kampus untuk mengambil semester pendek, lalu berniat kembali ke toko roti miliknya.
"Kenapa kalian diam saja?! Ini bukan tontonan! Korban perlu dibantu, bukan hanya dilihat seperti ini!" Nevan memangku tubuh Casia, ia kesulitan untuk berdiri. Baru saja yang meluapkan amarah pada para pengguna jalan yang hanya menonton.
"Cepat bantu dia!"
Akhirnya seseorang pria mau membantu. Dia mengulurkan tangan menarik Nevan sampai tegak, kemudian dibantu oleh pengguna jalan lainnya karena tampak kesulitan.
Terdengar suara sirine yang semakin mendekat. Ambulans datang.
Petugas medis segera mengevakuasi Casia dan membawanya masuk ke ambulans.
"Semoga kakak tadi tidak apa-apa." Nevan masih terpaku menatap ambulans yang sudah pergi menjauh dari dan hilang di tengah padatnya jalan.
"Nevan! Kamu tidak apa?" Seorang gadis berlari ke arahnya dengan khawatir. Setelah melihat baju pria itu penuh dengan darah. Kemeja putih bersih Nevan kini berubah warna merah.