Eps. 8 Memberi Kesempatan Theo

1030 Words
Casia menatap tajam Theo dengam emosi membuncah sampai ke ubun-ubun kepala. Sungguh, betapa memalukan pria itu kembali datang ke rumah ini setelah dia usir. Apa memang mukanya tebal? Sehingga urat malunya putus? "Kita belum resmi bercerai, Casia. Itu artinya kita masih suami istri sekarang. Jangan menatapku seperti itu. Seolah aku ini penyebab semua ini." "Theo, lalu apa tujuanmu datang ke mari?" "Aku ingin melihat keadaanmu, Sayang." Sungguh, Casia muak mendengar kata sayang dari mulut Theo. Jika saja dia tidak lumpuh, maka sudah pasti dia akan melempar mulut pria itu dengan pecahan kaca agar robek sekalian mulut manis itu sehingga tak berfungsi lagi. Sayangnya, Tak ada yang bisa dia lakukan selain bicara saja dengan pria itu. "Kamu sudah bisa melihat keadaanku sekarang, maka pergilah! Aku tak sudi melihatmu!" sentak Casia. Dia tahu, Theo ke mari hanya untuk mengejeknya saja, untuk menghina juga menertawakan dirinya atas kelumpuhan yang didapatnya. "Casia, kamu kasar sekali padaku. Aku kemari tulus ingin memastikan kondisimu." "Jika kamu memang tulus padaku, harusnya kamu ada di rumah sakit saat aku pertama kali berada di sana, bukan di rumah ini saat aku sudah pulang dalam keadaan seperti ini!" "Aku ke mari juga minta maaf untuk hal itu. Aku sibuk sekali sampai tak bisa menjenguk. Maafkan aku." Theo berkata dengan nada sedih tapi berkebalikan dengan sorot matanya yang nampak berbinar. "Casia, aku datang kemari untuk merawatmu, istriku yang lumpuh. Siapa yang akan merawatmu jika bukan aku? Kamu akan selalu membutuhkanku disampingmu." Theo sedikit berjongkok untuk bicara. Mungkin itu kalimat sarkas darinya untuk Casia. Casia sendiri menangkap ucapan Theo bukanlah suatu ucapan yang tulus. Tapi dia tahu ucapan itu adalah sindiran untuknya. Tak mungkin seseorang berubah dalam waktu cepat, bukan? Bahkan para pesulap saja hanya memainkan trik tipuan mata untuk memukau para penonton. Jika itu yang diinginkan Theo darinya, itu tak akan pernah terjadi. Casia tak akan dengan mudah tertipu oleh Theo. "Ada pelayan di sini. Bahkan kerja satu pelayan di sini dibandingkan dengan usahamu masihlah lebih baik pekerjaan mereka. Lalu bagaimna dengan sepuluh orang pelayan? Apakah itu tidak akan lebih mudah bagiku?" tandas Casia. Theo kembali mengulum senyum. Tapi akan tetap lebih baik jika seorang suami yang merawatmu daripada para pelayan di rumah ini." "Aku tidak butuh perawatan dari seorang suami sepertimu. Pergi! Pergi kamu dari sini!" usir Casia lagi. Kali ini kesabarannya mulai habis setelah cukup memberi Theo kesabaran. Pria seperti Theo menurutnya tak perlu diberi ampunan ataupun kesempatan untuk yang kedua kalinya. Sudah cukup sakit luka yang dia torehkan untuk dirinya. Dengan berangnya, Casia memanggil sekuriti yang ada di rumah. Tak hanya sekuriti yang datang tapi juga beberapa pelayanan lagi yang ada di rumah turut serta membantu mengusir Theo dari sana. "Kalian tidak bisa melakukan ini padaku!" Dengan lengannya yang kekar, Theo mendorong lima orang pria yang kini memegangi tubuhnya dan menyeretnya paksa keluar dari rumah. Terdengar suara berdebum di lantai. Lima orang tadi jatuh hanya dengan sekali sentakan kuat dari Theo. "Asal kalian tahu, aku hanya menunaikan saja kewajibanku sebagai seorang suami dan merawat istrinya di saat dibutuhkan." Terdengar tarikan napas berat dari Casia. Dia kembali menatap tajam Theo. Pria itu pasti datang kemari dengan suatu tujuan. Entah Apa tujuannya yang pasti bukan niat yang baik. Aku curiga kecelakaan ini ada sangkut pautnya dengan dia. Bagaimana jika aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari informasi darinya. Jika itu benar, maka aku akan membalas perbuatannya saat ini juga. Aku pasti bisa menjatuhkan dia meski dalam keadaan lumpuh begini. Kenapa aku tidak memanfaatkan kesempatan ini? "Tunggu! Lepaskan dia!" pinta Casia pada para sekuriti dan pelayan yang sudah bangkit dan kembali memegangi tubuh tubuh Theo. Pelayan pun mengangguk patuh pada perintah Casia. Meski berat, mereka pun melepas juga Theo. "Casia, Sayangku, apa kamu bisa melihat ketulusan hatiku? Akhirnya, kamu mengerti juga. Aku senang itu." Theo mengulas senyum lebar. "Jangan salah paham dulu. Aku memberikanmu kesempatan untuk tinggal di sini selama sehari saja. Kupikir satu hari cukup bagimu untuk membawa keluar semua barang-barangmu dari rumah ini." Senyum Theo pudar mendengar itu. Tapi itu masih mending begini daripada tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk menginjakkan kaki di rumah ini secara resmi. Kamu memang bodoh Casia, begitu mudahnya kamu percaya padaku. Tapi Ini kesempatan bagus bagiku dan aku tak akan melewatkannya, sungguh. *** "Perhatikan datang ngasih apa saja yang dilakukan oleh Theo di sini." Casia bicara pada salah satu pelayannya, di ruangan terpisah dari Theo. "Baik, Nona." "Segera beritahu begitu ada sesuatu yang ganjil atau mencurigakan." Pelayanan kembali mengangguk patuh. Setelahnya pelayan itu menghilang dari sisi Casia, menuju ke tempat Theo berada untuk mengawasi pergerakan apa saja yang dilakukan oleh pria itu. Saat ini Theo berada di kamar lain, kamar yang letaknya bersebelahan dengan kamar Casia. Casia menolak tegas jika pria itu tidur di kamarnya. Jijik, hanya dengan melihat sosoknya saja yang sudah bercampur dengan wanita lain. "Halo, Sayang. Aku malam ini tidak pulang. Aku akan menginap di rumah Casia. Rumah Ya sebentar lagi akan menjadi milikku dan tentunya juga menjadi milikmu." Theo berbicara dengan seseorang dari telepon. Pria itu duduk di sebuah kursi membelakangi pintu. Dia bicara panjang lebar tanpa menyadari seseorang di luar pintu sedang mengintainya, sekaligus mendengar percakapannya. Astaga! Apa yang akan direncanakan Tuan Theo, untuk mencelakai Nona Casia? Pelayan sampai menutup rapat bibirnya kala mendengar percakapan Theo. Tepat sebelum panggilan berakhir pelayan tadi pergi dari sana dan kembali ke sisi Casia. "Nona, gawat." "Ada apa? Apakah Theo membuat keributan lagi di sini?" Pelayan menggeleng, dia malah berjongkok lalu berbisik di telinga Casia, agar tidak ada yang mendengar ucapannya. "Nona, Tuan Theo merencanakan sesuatu pada Anda. Dari percakapan di telepon yang saya dengar barusan dia berniat menguasai semua harta Nona. Dia juga tak ingin memberikan kesempatan hidup untuk Nona." "Apa?! Berani sekali dia melakukan itu padaku. Dia pikir dia siapa? Dan tidak akan mudah menipuku begitu saja." Casia menggeram tertahan. Sungguh, kali ini dia benar-benar membenci Theo sampai ke ujung kakinya. "Kita adu saja, siapa yang menang Theo. Apakah aku akan mati malam ini atau kamu yang akan mati di rumahku ini?" geram Casia dengan tatapan tajam menghunus ke sebuah ruangan di mana Theo berada. "Kemari." Casia memanggil pelayannya tadi. Pelayan ya sudah menjauh kini kembali mendekat. "Ada apa, Nona?" Casia lalu memaparkan rencananya pada pelayan tadi. Tepatnya rencana balasan. "Casia ..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD