Casia yang takut jika benar terjadi sesuatu pada dirinya akibat kecelakaan ini, beralih menatap Valia setelah melihat wanita itu menitikkan buliran bening dari mata dengan tubuh yang meremang.
Pasti terjadi sesuatu padaku jika sampai Ibu menangis begini.
Valia merupakan wanita berhati kuat. Hingga sangat kuatnya dia jarang terlihat menitikkan air mata. Jika sampai dia menitikkan air mata itu artinya terjadi sesuatu yang serius.
"Ibu ... katakan yang sebenarnya apakah terjadi sesuatu padaku? Apakah terjadi sesuatu pada tangan dan kakiku?"
Valia hanya memutar bola mata menatap Casia. Dia tidak tega untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada putrinya itu. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Casia nanti jika mengetahui kondisinya cacat sekarang.
"Ayah, katakan padaku. Apakah terjadi sesuatu pada tangan dan kakiku?" Nadine berani bertanya pada ayahnya karena ibunya tidak mau menjawab pertanyaannya.
Respons yang sama diberikan oleh Nata. Pria itu diam membeku tak bisa menjawab. Hanya matanya yang nampak berembun setelah mendengar pertanyaan Casia.
Dan itu cukup sudah bagi Casia untuk menjawab rasa penasarannya.
"Jadi ... tangan dan kakiku lumpuh total?!" Casia menjerit histeris. Semua rasa senang yang hinggap sekejap dalam hatinya terbang menghilang seketika entah ke mana. "Tidak! Ini tidak mungkin!" Casia kembali menjerit histeris sejadi-jadinya.
Air mata jatuh berderai tak tertahankan lagi. Kenapa hidupnya benar-benar sengsara? Apa rencana Tuhan setelah memberinya sebuah hantaman dengan diselingkuhi oleh suami, kini ditambah sebuah musibah yang membuatnya menjadi cacat.
"Kenapa aku tidak mati saja sekalian?!" Casia hanya bisa berteriak saja saat itu. Dia tak bisa berhenti berteriak mendapati kondisinya yang mengenaskan.
Valia yang melihat itu mengikis jarak dan segera memberikan pelukan yang erat pada Casia. Dia mencoba untuk menenangkan putrinya itu dengan mengusap-usap punggungnya namun percuma saja. Casia terus berteriak yang membuat hatinya terasa tersayat.
"Nata, bagaimana ini? Apa kita perlu memanggilkan dokter untuk memberinya obat penenang?"
Nata menggelengkan kepala. Tentunya jika itu dilakukan pasti akan memberikan dampak yang panjang bagi Casia. Tentunya putrinya itu akan depresi berkepanjangan.
"Casia ... meskipun tangan dan kakimu tidak berfungsi tapi dokter paling hebat pasti akan bisa mengatasi ini. dengan berbagai terapi pasti tangan dan kakimu akan kembali berfungsi." Nata memberi kode pada Valia agar mundur.
Setelah istrinya itu mundur barulah dia menghampiri Casia, memeluknya erat." Casia, jangan begini, Jika kamu seperti ini Ayah dan Ibu akan lebih menderita daripada dirimu. kami berdua akan berupaya dan melakukan semua usaha yang terbaik untuk kesembuhanmu. Tenangkan dirimu."
Bahkan, saat itu Nata sampai ikut menitikkan air mata yang sedari tadi ditahannya hingga akhirnya tumpah karena tak bisa membendungnya.
"Ayah ... aku tidak mau cacat! Aku tidak mau, Ayah."
"Ya, kondisimu ini hanya sementara, pasti bisa disembuhkan cepat atau lambat."
Tangis Casia mulai reda setelah mendengarkan perkataan Nata. Dia selalu yakin dengan perkataan ayahnya. Selama ini Nata tidak pernah berbohong dengan ucapannya. Apa yang dia minta selalu dipenuhi oleh pria itu meski itu susah dan harus pergi ke bulan sekalipun untuk mengambilnya. Dia selalu mewujudkan sesuatu yang mustahil bagi Casia.
"Ya, Ayah. Bawa aku ke dokter spesialis saraf terbaik sekarang." Casia mengangguk patuh dengan air mata yang mulai surut.
Valia bernapas lega melihatnya. Nata berhasil menenangkan Casia. Memang selama ini Nata lebih sering memenangkan hati putrinya kala ada masalah atau hal lainnya. Casia sedari kecil lebih dekat dengan Nata, sedangkan adiknya Casia lebih dekat dengan Valia.
"Ayah janji akan membawamu ke dokter spesialis terbaik di kota ini, tapi tunggu sampai kondisimu membaik dulu. Setidaknya sudah keluar dari rumah sakit ini."
Casia kembali mengangguk patuh mendengar nasehat dari Nata.
***
"Tolong, bantu Nona muda turun dari mobil." Nata tiba di rumah setelah menunggu Casia lima hari di rumah sakit.
Sekuriti yang ada di dekat pintu kapal segera memanggil pelayan di rumah.
Beberapa pelayan datang menuju ke mobil dengan membawa kursi roda yang sebelumnya sudah dipersiapkan.
"Tuan, ini kursi roda untuk Nona muda."
Satu pelayan lainnya kemudian dengan ekstra hati-hati mengeluarkan Casia dari mobil kemudian memindahnya ke kursi roda lalu menaruhnya pelan masuk ke rumah Casia.
"Semua pelayan yang ada di rumah berkumpul sekarang!" Nata memanggil semua pelayan yang ada di sana.
Dalam waktu tak sampai satu menit, sepuluh pelayan yang ada di sana segera berkumpul di ruang tamu di mana Nata berada.
"Nona muda sudah pulang. Sebelumnya aku sudah jelaskan kondisinya seperti apa pada kalian semua. Jadi, kerja kalian lebih ekstra sekarang daripada biasanya. Selain itu kalian akan mendapatkan tips tambahan karena tugas ini. Layani Nona muda dengan sepenuh hati dan penuh kesabaran tinggi." Nata memperjelas apa saja tugas mereka selama kondisi Casia tak berdaya seperti ini.
"Siap, Tuan besar." Semua pelayan yang ada di sana menjawab serempak.
Nata dan Valia tidak berada di rumah itu seharian. Sore hari, mereka kembali ke rumah induk, tempat tinggal mereka sendiri. Bagi mereka dengan adanya pelayan saja sudah cukup untuk merawat Casia.
"Kami akan ke mari setiap hari untuk melihat kondisimu." Nata berpamitan sebelum masuk ke mobil.
Casia hanya mengangguk saja meresponsnya meski sebenarnya dia ingin menahan kedua orang tuanya untuk tinggal bersama dirinya. Sungguh menakutkan sekali berada di rumah dalam kondisi lumpuh tak berdaya seperti ini, meski banyak pelayan di rumah yang siap sedia membantunya kapan saja.
***
"Malam, Tuan muda." Seorang pelayan menyapa dengan sorot mata terkejut.
"Di mana Casia?"
"Nona ada di ruang makan dan sedang makan, Tuan."
Pria itu memang Theo. Dia datang kembali ke rumah ini meski sudah diusir oleh Casia. Entah apa keinginannya sampai datang kembali. Sekuriti di depan tak bisa mencegah Theo yang terus memaksa dan menerobos masuk dengan segudang ancaman.
"Tapi, Tuan. Nona bilang tak ingin menemui siapapun hari ini selain tuan besar dan nyonya besar," ujar pelayan.
"Aku masihlah sebagai suami syah Casia. Kami belum bercerai secara resmi. Jadi aku masih punya hak kembali ke rumah ini untuk menemui istriku."
Pelayan bungkam seketika tak bisa berkata. Yang diucapkan Theo memang benar adanya. Sebagai pelayan tugasnya hanyalah mengikuti perintah atasannya, termasuk Theo.
Theo kemudian mengambil langkah panjang setelah mengulas senyum seringai. Dia tentunya sudah menunggu kedatangan Casia pulang ke mansion ini.
"Casia, aku pulang."
"Theo?!" Casia tersentak kaget kala mendengar suara Theo. Dia menoleh menatap pria yang kini berdiri menjulang di sampingnya.
"Untuk apa kamu datang ke mari?" sengit Casia.
"Tentu saja aku kemari untuk menemui istriku tersayang dan melihat kondisinya."
"Aku bukan istrimu lagi! Ingat itu! Pergi kamu dari sini!" usir Casia.