Eps. 10 Waktu Berjalan Mundur

1034 Words
Theo melihat makanan yang sudah dimakannya, barulah dia sadar jika di makanan itu juga dicampurkan racun untuk dirinya. Dia kemudian beralih menatap pelayan yang masih ada di sisi Casia, nampak kebingungan. "Kamu! Apa yang kamu campurkan dalam makananmu?!" Pelayan hanya menatap Theo dengan gemetar. Dalam situasi seperti ini dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Sedangkan Theo kini merasa napasnya berat, bahkan udara di luar serasa tak bisa masuk ke tubuhnya meski dia sudah bersusah payah meraup semua udara itu dengan rakus. "Setidaknya, aku sudah bisa membunuh Casia, meski nyawaku sendiri di ujung tanduk." Theo kembali menatap Casia. Dia lantas beralih menatap pelayan tadi. "Jika aku masuk ke neraka maka sudah Aku pastikan hidupmu tidak akan tenang setelah ini. Aku akan membuatmu tidak tenang dan kamu ingin memutuskan sendiri pergi ke alam baka untuk menyusulku!" Beberapa saat setelahnya, tubuh kokoh Theo luruh, ambruk ke meja dengan muka berwarna ungu pucat. Saat pelayan memeriksa, pria itu sudah tidak bernapas. Terdengar jeritan melengking setelahnya, hingga semua pelayanan yang ada di rumah datang ke ruangan itu. *** Awan hitam menggumpal di luar sana. Angin bertiup kencang di kelamnya malam. Dalam sekejap rintik hujan turun kemudian bertambah lebat membasahi bumi. Brak! Suara jendela yang terbuka oleh sentakan angin yang kuat. Akh! Seorang wanita yang saat itu berada di sebuah ruangan, tepatnya di kamar dalam keadaan terpejam tiba-tiba membuka mata lalu meringkuk dengan tubuh gemetar. Dua tangannya dikatupkan pada indra pendengarnya kala terdengar suara petir yang membahana di langit yang gelap gulita. "Tidak!" Wanita itu nampak semakin gemetar kala lampu tiba-tiba padam, sedangkan hujan masih turun dengan lebatnya. Dari luar sana terdengar suara derap langkah kaki yang berlari ke tempatnya berada. Bukan satu derap langkah, tapi ada tiga suara derap langkah kaki yang berlari menuju ke ruangan. Membuatnya semakin meremang, terlebih ketika ada tiga orang berdiri di sampingnya sekarang dengan membawa senter dan juga lilin. "Siapa? Siapa kalian?!" Gadis itu berteriak tanpa membalik tubuhnya, dan masih memunggungi tiga sosok yang tak berani dilihatnya. Barangkali saja mereka kan orang baik tapi seseorang berniat mencelakai dirinya. "Nona! Nona, Anda tidak apa?" Satu dari mereka lebih mendekat sembari menyentuh bahu wanita tadi. Seorang wanita berpakaian pelayan lainnya membawa lilin untuk menerangi wanita yang gemetar tadi. "Nona, jangan takut. Lampu padam karena hujan lebat. Tapi mungkin sebentar lagi lampu akan menyala lagi setelah hujan reda." Pelayan lain menuturkan. Wanita tadi kemudian berbalik setelah yakin, mereka bertiga benar-benar pelayan, bukan orang jahat. "Nona Casia, apa yang terjadi dengan Anda?" "Kalian ..." Wanita itu memang Casia. Dengan keringat dingin yang menetes dari pelipis, dia menatap lekat tiga wanita yang ada di sampingnya. "Nona, mari ikut bersama kami. Tuan dan Nyonya sedang ke luar kota." Casia masih diam. Dia memejamkan mata beberapa detik barulah ia buka kembali. Dengan cepat dia menyapukan pandangan ke sekitar. Ruangan tempatnya berada ini memang rumahnya, tepatnya ruangan di mansion keluarga Nata. Dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kenapa aku ada di sini?" Dia bingung, Kenapa tiba-tiba berpindah tempat di rumah orang tuanya bukan di rumahnya sendiri. Satu lagi, dia ingat dengan jelas jika sebelumnya tubuhnya lumpuh dan dia duduk di kursi roda. Tapi apa ini, dia bisa berdiri dan semua anggota tubuhnya baik-baik saja. Bahkan pelayan di sana pun merasa aneh melihat sikap Casia. Sikapnya tidak seperti biasanya. "Nona, Anda baik-baik saja?" "Theo. Di mana Theo?" Ketiga pelayan yang ada di sana saling menatap. Mereka asing dengan nama yang disebut oleh Nona muda mereka. "Maaf, Nona. Siapa yang Anda maksud? Kami tidak mengenal nama tersebut." Casia makin bingung dan semakin tidak mengerti saja. Ia mengira ini hanya sebuah mimpi saja. Ataukah dengan buruk sebelumnya itu yang merupakan mimpi? Ah, tidak! Aku memang sudah menikah dengan Theo. Pasti ada yang salah di sini. "Theo, suamiku. Di mana dia?" Pelayan kembali saling tatap. Mereka lalu beralih Casia. "Nona, Anda pasti habis bermimpi setelah tadi tertidur. Nona masih muda. Maksud kami masih berusia belia. Bahkan Nona masih duduk di bangku SMA, bagaimana Nona bisa menikah?" Pelayan mengulum senyum mendengarkan candaan Casia yang menurutnya menggelikan. "Apa?Aku masih duduk di bangku SMA?!" Casia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Jika begitu artinya dia berada di waktu sepuluh tahun silam, di umurnya yang masih delapan belas tahun. Itu jika dihitung mundur dari usianya yang sebelumnya dua puluh delapan tahun. Apakah yang mereka ucapkan benar adanya? Usiaku saat ini delapan belas tahun? Bagaimana bisa aku kembali ke waktu ini? Casia sampai memegang kepalanya yang terasa berdenyut ringan. Saat ia tak sengaja menatap pergelangan tangannya, di sana melingkar sebuah gelang yang masih diingatnya. Gelang ini adalah gelang pemberian ayah di saat ulang tahunku yang ketujuh belas. Casia kemudian memegang pergelangan tangannya. Dia menyentuh gelang itu. Dia memang memakai gelang itu dan baru melepasnya setelah dia menikah dengan Theo. Sebenarnya, itu adalah gelang kesayangannya. Ia berat melepasnya. Karena setelah menikah, Theo sedikit banyak mengatur hidupnya, termasuk apa saja yang dikenakan Casia. Karena tidak suka dengan gelang tersebut maka Dia menyuruh Casia untuk melepasnya. Aku tak menyangka bisa melihat gelang ini lagi terutama dalam kondisi masih bagus seperti ini. Casia menghela napas panjang, lega dengan keadaan ini. Lega, berada di waktu di mana dia belum bertemu Theo, pria b*****h hina yang membuat hidupnya sengsara dan mati mengenaskan. "Nona, mari ikut kami. Kami tahu Anda takut kegelapan dan juga petir, maka dari itu kami sengaja datang untuk membawa Anda keluar dari kamar ini. Di usia remaja, Casia memang mengidap nyctophobia dan astraphobia. Tapi, Nata dan Valia membawanya ke berbagai dokter untuk menyembuhkan phobianya itu. "Baik." Masih dengan keringat dingin, Casia berjalan mengekor tiga pelayannya tadi. Pelayan membawa Casia di ruang tengah. Di sana ruangan terang meskipun listrik belum menyala. Pelayan lain sudah menyalakan genset. Nata menyiapkan itu sebagai Tindakan antisipasi jika terjadi listrik padam secara mendadak seperti ini. "Nona, ini minuman untuk Anda." Seorang pelayan kembali dengan membawa secangkir s**u hangat untuk Casia. "Ini jaket untuk Nona." Pelayan lain datang dengan membawakan jaket. Casia menerima jaket tersebut dan memakaikan pada tubuhnya yang menggigil. Entah itu karena dingin atau karena takut? Yang jelas setelah menggunakan jaket dia merasa lebih baik dari sebelumnya. Ia juga meminum secangkir s**u hangat yang tersaji di meja. Terdengar suara kilat menyambar di luar sana. Bahkan pelayan sampai menutup daun telinga mereka. "Nona, Anda baik-baik saja?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD