Biasanya jika terdengar suara petir menyambar, Casia akan menjadi histeris. Paling parah, gadis itu sampai pingsan dibuatnya. Tapi apa yang terjadi sekarang sungguh berbeda dari biasanya.
"Aku baik-baik saja." Casia terlihat lebih tenang dari sebelumya. Bahkan dia saat ini sedang menatap jilat yang sedang menyambar di luar sana.
Dinding rumahnya sebagian berbahan dari kaca, sehingga bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di luar sana.
"Nona!" Pelayan nampak histeris melihat keadaan Casia sekarang. Betapa terkejutnya mereka saat mendapati Casia yang nampak tenang menatap jilatan dari langit di luar sana. "Apakah Nona sudah sembuh?" Pelayan beralih mencetak senyum di bibirnya.
"Entah, mungkin karena s**u hangat ini yang membuatku berani menatap kilatan cahaya di luar sana," bohong Casia. Padahal memang dirinya sudah sembuh dari astraphobia yang diidapnya.
"Mungkin ini kemajuan, Nona. Tuan pasti senang melihat hal ini. Beliau pasti senang melihat Nona sembuh."
Casia hanya mengangguk pelan saat merespons.
Dua jam kemudian listrik menyala kembali, setelah hujan reda. Casia kembali ke kamarnya sendiri. Dia menolak saat tiga pelayan tadi menawarkan untuk menemani dirinya kembali ke kamar. Rasanya aneh saja baginya diikuti seperti itu. Tidak nyaman.
"Jika ada sesuatu atau memerlukan sesuatu, jangan segan panggil kami, Nona." Pelayan berkata di depan pintu.
"Baik, terima kasih untuk hari ini."
Setelah tiga pelayan tadi pergi, Casia menutup pintu kamar. Hal pertama di kamar yang dilihatnya adalah cermin. Ia mematut dirinya di depan cermin. Dari pantulan cermin memperlihatkan sosoknya yang berbeda dari sebelumnya. Rambutnya saat ini masih pendek, sebatas leher.
"Aku memang kembali ke masa lalu. Aku masih hidup." Casia tak henti-hentinya mengucap rasa syukur. Dia bisa meraup udara lagi dan Yang penting dia bisa terbebas dari belenggu Theo.
"Di kehidupan ini, aku tidak tahu apakah aku bisa merubah keadaan atau tidak? Tapi aku tak ingin masa depanku kelak berakhir dengan Theo kembali," tekad Casia.
Setelah puas memandangi dirinya dari cermin, Casia kembali duduk ke tempat tidur. Pikirannya saat itu bercabang ke mana-mana, dengan banyak rencana yang dia punya untuk dijalani di kehidupan ini.
"Di sini, aku belum memakai kacamata. Dan aku tak ingin empat tahun setelah ini aku mengenakan kacamata tebal." Casia tak sengaja menyentuh pucuk hidungnya.
Kebiasaan itu biasa dia lakukan untuk membetulkan letak kacamatanya. Namun saat ini tak ada kacamata yang bertengger di batang hidungnya.
"Tanggal berapa sekarang?" Casia tidak tahu datang di tanggal berapa di waktu sekarang ini. Dia menyapukan pandangan dan menemukan kalender ada di meja. Cepat ia mengambil kalender tersebut.
Kalender menunjukkan saat ini tanggal lima belas, bulan Februari tahun dua ribu sepuluh. Casia mengingat kembali tanggal tersebut, mengingat kejadian penting yang terjadi pada tanggal ini di kehidupan sebelunya.
"Benar, satu minggu dari sekarang kalau tidak salah waktu kelulusan dari SMA."
Casia berkaca mata tebal karena sebelumnya dia mengambil kuliah untuk jurusan ekonomi bisnis. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca semua buku hingga menyebabkan matanya minus parah. Dia ingat, apa yang pernah diucapkan Theo. Jika pria itu berselingkuh dengan wanita lain Salah satu alasannya adalah karena kacamata tebalnya.
"Baiklah, Theo. Di kehidupan ini akan kubuat kamu bertekuk lutut padaku, juga akan kubalas semua perlakuanmu sebelumnya padaku." Casia mengulas senyum tipis.
***
"Casia, kamu mau ke mana?" Nata menghampiri Casia di pintu depan.
Pria itu baru saja datang dari luar kota bersama Valia. Dia berpapasan dengan Casia yang membawa tas dan kunci mobil.
"Ayah, sudah datang?" Casia memeluk Nata erat. Rasanya dia senang sekali bisa berjumpa lagi dengan ayahnya. Lantas, dia berani menatap wanita yang ada di samping Nata. "Ibu ..."
Casia mengurai pelukannya dari Nata, ia kemudian beralih memeluk Valia. Di kehidupan sebelumnya, hubungan dengan ibunya memang kurang baik. Sering terjadi Miss communication di antara mereka berdua sampai dewasa.
Mungkin aku bisa memperbaiki hubunganku dengan ibu di sini.
"Ibu, aku sangat merindukanmu." Casia memeluk ibunya. Ia juga mencium pipi Valia.
"Casia, apa yang kamu lakukan, Nak? Kita baru berpisah semalam saja, tapi kamu seperti puluhan tahun tidak melihatku." Valia merasa aneh dengan sikap Casia yang tidak seperti biasanya.
Biasanya, Casia sedikit dingin dengan Valia. Mereka juga sering berselisih pendapat.
"Aku sayang Ibu. Jika Ibu lelah, nanti sebelum sekolah aku akan memijat Ibu."
"Apa? Nata, lihat putrimu ini apakah dia sedang merayuku?" Valia beralih menatap Nata.
"Kamu minta apa, Casia?" Valia kembali menatap Casia.
Casia menggeleng cepat. Dia kembali memeluk ibunya erat dan mencium pipi kanannya.
"Casia, kamu mau ke mana?" ulang Nata, karena pertanyaan darinya belum dijawab juga.
Casia mengurai pelukan dari Valia, beralih menatap Nata.
"Aku mau berangkat ke sekolah, Ayah."
"Kamu mau menyetir sendiri?" Casia mengangguk meresponsnya. Biasanya memang dia diantar oleh sopir ke manapun dia pergi termasuk ke sekolah.
"Aku boleh kan, Ayah mengemudi sendiri?"
"Tentu saja boleh. Dari dulu Ayah sudah memintamu untuk berangkat sendiri ke sekolah, tapi kamu selalu menolak." Nata tersenyum penuh arti melihat Casia yang berbeda hari ini dan bisa menyenangkan hatinya.
Casia memutar bola mata jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dia pun lantas berpamitan pada kedua orang tuanya lalu bergegas masuk ke mobil, sebelum berangkat.
Nata dan Valia menatap heran pada Casia. Jujur, mereka berdua merasakan hal yang sama satu sama lain.
"Ada yang aneh dengan Casia hari ini. Dia sangat terlihat berbeda dari biasanya," tutur Valia.
"Aku juga merasa begitu. Selama itu positif, tidak masalah bagiku. Sepertinya dia bertambah semakin dewasa."
Nata mengajak Valia masuk ke rumah setelah melihat mobil yang dikendarai Casia menghilang dari pandangan.
***
Casia tiba di sekolah. Dia yakin Ini pertama kali bagi dirinya naik mobil sendiri ke sekolah. Terbukti dengan beberapa teman yang menyapanya ketika dia tiba di tempat parkir.
"Casia, tumben sekali hari ini kamu bawa mobil ke sekolah, biasanya kamu di antar sopir?"
"Ya, sopir di rumah sedang sibuk, jadi aku bawa sendiri. Tapi mungkin selanjutnya aku akan bawa mobil sendiri setiap hari."
Casia kemudian Mengayunkan langkah kakinya keluar dari tempat parkir. Sepanjang jalan, dia merasa kembali bernostalgia melihat tempat ini. Sudah berapa tahun lamanya dia menginjakkan kaki kembali di bangku sekolah SMA.
Hmm! Casia menghirup udara di sekitar. Bahkan ia kembali menghirup aroma semerbak bunga melati yang tumbuh di sepanjang taman sekolahnya.
"Itu ... aku seperti pernah melihat sosok pria itu." Casia menghentikan langkahnya saat dia menoleh ke samping.
Si samping sekolahnya ada bangunan sekolah lain, skolah SMP.