Sekolah tempat Casia bersekolah merupakan komplek sekolah satu yayasan, tapi bangunannya dipisah dari jenjang sekolah dasar sampai menengah, yang terpisah oleh pagar hitam tinggi menjulang setinggi gedung bangunan. Jadi, hanya bisa melihat saja dari balik pagar.
Casia mencoba mengingat kembali sosok anak SMP yang dilihatnya itu. Dia seperti pernah melihatnya tapi entah di mana.
"Tunggu, senyum itu mirip sekali dengan senyum pria pemilik bakery sekaligus pria yang menyelamatkanku saat kecelakaan," gumam Casia.
Ya, dia teringat pada sosok itu. Roti manisnya, juga sebelum dia tak sadarkan diri saat pria itu membawa tubuhnya menjauh dari mobil Casia yang rusak berat akibat kecelakaan. Bahkan dia belum sempat mengucap kata terima kasih pada pria itu, hingga tutup usia.
"Rupanya dia bersekolah di sini. Tapi dia masih SMP. Dan kelas berapa itu?" Casia menatap Intens untuk melihat bet pada lengan anak lelaki itu.
Terlihat pada lengan kanannya ada tulisan angka romawi yang berarti delapan.
Astaga, dia masih kelas dua SMP, rupanya.
Casia menarik pandangan dan menatap lurus ketika anak lelaki tadi bergabung dengan teman lainnya. Dia mengambil langkah panjang masuk ke koridor menuju ke ruang kelasnya.
Di dalam kelas, Casia memilih tempat duduk agak belakang tapi bukan barisan paling belakang. Biasanya dia duduk pada barisan pertama sampai nomor tiga. Hal itu yang membuatnya lebih banyak diam dan lebih memperhatikan pelajaran yang dijelaskan oleh guru. Meski bisa dibilang terlambat karena sebentar lagi akan lulus tapi tak ada salahnya jika dia ingin merubah imagenya.
"Casia, kenapa kamu tidak duduk di depan?" tanya seorang gadis di kelasnya.
"Aku ingin duduk di sini. Apa boleh aku duduk denganmu?"
"Tentu saja, boleh."
Casia yang biasanya pendiam dan lebih fokus pada pelajaran kini malah mengajak temannya itu mengobrol panjang lebar. Sungguh, dia tak ingin hidup kembali sebagai Casia yang dulu, Casia yang terlalu kaku, kuno dan kurang modis. Ia ingin tinggalkan itu dan menjadi sosok baru. Maka dari itu dia mulai membenahinya mulai dari sekarang.
***
Lapangan sekolah SMP.
"Oper bolanya ke mari!" Seorang anak lelaki memberikan arahan pada temannya yang juga merupakan timnya dalam bermain basket.
Di jam istirahat ini, anak SMP kelas delapan dari klub basket menghabiskan jam istirahatnya di lapangan untuk menguras keringat mereka. Hal ini biasa mereka lakukan hampir setiap hari, meski pulang sekolah mereka berkumpul dan melakukan kegiatan yang sama dalam klub basket.
"Nevan, oper bolanya kemari!"
"Tidak. Nanggung. Aku bisa shoot langsung dari sini."
Ck!
"Kau selalu saja begitu. Kita ini tim. Kita latihan untuk tanding minggu depan. Kamu anggap aku dan yang lainnya ini apa?" Nadanya terdengar marah, namun Nevan tak. mempedulikan itu dan terus men-dribble bola menju ke ring.
Namun, salah satu temannya yang lain merebut bola itu dari Nevan, sehingga terpaksa Nevan melempar bola itu ke sembarang arah. Tidak tahunya dia melempar ke sekolah sebelah, tepatnya masuk ke lapangan sekolah SMA.
"Astaga, kenapa aku melemparnya ke sana?" Levon berhenti sembari menatap lurus bola yang ada di lapangan dengan kedua tangan yang berkacak di pinggang.
Tiga temannya datang menghampirinya. "Ambil sendiri bolanya, tadi saja aku minta untuk mengoper, kamu tidak mau. Jangan bilang Sekarang kamu mau minta kami untuk mengambil bola itu."
"Siapa yang bilang aku menyuruh kalian? Aku akan mengambilnya sendiri."
Nevan kemudian menuju ke pagar pembatas yang memisahkan bangunan gedung SMP dan SMA itu. Dengan cepat, dia memanjat pagar. Lalu melompat turun ke lapangan SMA.
Bola persis ada di depannya, langsung saja dia ambil bola itu. Namun saat dia akan memanjat kembali ke pagar pembatas, tatapannya terkunci pada beberapa gadis yang sedang berjalan kembali dari lapangan. Ada tiga gadis yang saat itu berjalan beriringan. Namun tetapannya terkunci pada sosok gadis yang berjalan di bagian tengah.
"Siapa gadis itu? Aku baru melihatnya pertama kali ini? Apa dia murid baru?" Nevan menautkan sepasang alis gelapnya.
Dia tahu dua gadis yang berjalan di samping gadis berambut pendek itu, dia mengenalnya. Mereka kelas dua belas. Itu artinya gadis yang berjalan di tengah juga kelas dua belas juga. Tapi anehnya, dia baru melihatnya, sungguh.
"Oh, kakak cantik. Aku pasti akan mengetahui namamu." Nevan kemudian berbalik dan memanjat pagar untuk kembali ke lapangan sekolahnya.
"Casia, siapa yang kamu lihat?" tanya salah satu gadis yang berjalan di sampingnya.
"Itu." Casia menunjuk ke arah anak lagi berseragam SMP yang sedang memanjat pagar. "Siapa dia?"
"Dia Nevan, anggota klub basket SMP sebelah. Wajar Jika kamu tidak tahu karena kamu jarang keluar."
Casia hanya mengangguk meresponsnya.
Rupanya namanya Nevan. Saat itu aku bahkan belum tahu siapa nama pria itu.
Casia mengulum senyum saat berbalik. Dia kemudian menuju ke kantin bersama dua temannya tadi.
***
"Penuh sekali tempatnya." Beberapa orang menuju ke tempat parkir yang ada di sekolah SMA.
Saat ini sedang diadakan acara wisuda untuk kelas dua belas. Acara wisuda diadakan di hall sekolah. Banyak orang tua siswa yang datang menghadiri acara tersebut dan tentu saja tempat parkir saat ini penuh.
"Parkir saja di sini." Terpaksa beberapa orang tua siswa parkir di luar gedung sekolah.
"Casia, awas jalanmu!" Nata sampai menarik Casia yang berjalan di tengah kerumunan manusia.
Hampir saja orang lain menubruk Casia jika saja dia tidak menarik putrinya itu.
"Casia, jangan berjalan sendiri di depan begitu. Jalanlah bersama kami."
Casia memang jangan mendahului kedua orang tuanya. Dia tak sabar ingin segera masuk ke gedung untuk mengikuti kegiatan wisuda. Dia memerankan langkahnya kemudian berjalan di tengah Nata dan Valia. Ia melingkarkan satu tangannya pada lengan Nata dan satu tangan lainnya pada lengan Valia hingga masuk ke gedung tempat berlangsungnya acara wisuda.
Baru beberapa saat mereka duduk, acara pun dimulai. Hingga siang barulah acara tersebut selesai. Beberapa orang mengambil foto bersama.
"Ayah, Ibu, ayo kita juga foto. Kita ambil foto yang banyak sekalian." Casia menarik Nata dan Valia kemudian berselfie ria dengan kamera digital yang di bawahnya dari rumah dan sudah dipersiapkan.
"Casia, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba kamu mengambil foto sebanyak ini?" lontar Valia pada sikap putrinya yang aneh.
Biasanya Casia tidak suka ber-action di depan kamera seperti ini. Bukan tanpa alasan Casia melakukan itu, dulu dia hanya mempunyai satu foto wisuda SMA bersama kedua orang tuanya. Kali ini dia ingin mengambil banyak foto dengan mereka berdua.
"Cepat ibu, senyum!" Casia menarik Valia dan membetulkan pose ibunya.
Nata sebenarnya juga merasa aneh dengan sikap putrinya yang berbeda dari biasanya tapi dia enjoy saja dan malah senang dengan sikap putrinya yang terbuka seperti.
Dari kejauhan sana sepasang mata menahwasi Casia sedari tadi tanpa berkedip.