“Serius kamu minta itu? Maksudnya tidur bareng dan punya anak?”
“Iya.” jawab Kayra tanpa ragu.
Kayra gugup, memegangi ujung kemejanya dengan begitu erat.
Arhan terkejut dengan keinginan istrinya, pasalnya selama ini Kayra tidak pernah meminta hak tersebut, bahkan menyinggung masalah tidur bersama pun tidak.
“Aku tanya sekali lagi, serius mau itu?” tanya Arhan, menatap wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Iya. Aku minta itu. Aku ingin hamil dan punya anak.”
“Kenapa tiba-tiba minta itu?kamu bisa minta yang lain, misalnya uang atau apapun.” Arhan menatap penuh selidik. “Setelah hamil dan punya anak, kamu akan kesulitan membesarkan anak seorang diri tanpa suami.”
“Tidak apa-apa, aku akan menanggungnya sendiri.” jawab Kayra tanpa ragu.
“Apa alasannya?” Arhan menjadi sangat ingin tahu alasannya, mengapa tiba-tiba Karya ingin tidur dengannya dan hamil.
“Aku nggak berkewajiban menjelaskannya, kamu hanya perlu menyetujuinya atau tidak, sebab syarat untuk bercerai hanya itu.”
Permintaan Kayra terlalu aneh untuk dijadikan syarat menyetujui sebuah perceraian.
“Aku tidak akan menyetujui tanpa tahu alasan yang jelas,” Arhan menatap, menaikan satu alisnya. “Kamu sangat terpelajar dan penuh perhitungannya, tidak mungkin hanya sekedar ingin memiliki anak, lantas kita bisa bercerai dengan mudah. Justru akan semakin sulit setelah kamu hamil dan aku akan terikat selamanya menanggung tanggung jawab.”
Kayra tersenyum, “Aku sudah mengatakannya bukan, kamu tidak perlu bertanggung jawab pada anak itu nantinya. Aku akan segera pergi setelah memastikan aku hamil.”
Penjelasan Karya tidak lantas membuat kecurigaan Arhan pudar, justru semakin dibuat penasaran dan semakin tidak masuk akal.
Arhan tahu, Kayra pasti sudah merencanakan sesuatu untuk membalas perbuatannya selama ini, atau mungkin diam-diam menyiapkan rencana balas dendam dengan tujuan mengikatnya, menghalangi keinginannya kembali pada Salsa.
“Aku nggak mau,” tolak Arhan pada akhirnya.
“Kamu bisa urus surat cerainya sendiri kalau begitu,” Kayra mengangkat kedua bahu, menatap acuh pada Arhan.
“Sebelum kamu mengatakan alasannya dengan jelas, aku menolak!” Arhan mendesak.
Kayra berasal dari keluarga terpandang, wanita berpendidikan yang tidak mungkin mau mengorbankan masa depan hanya untuk memiliki anak lantas menjadi orang tua tinggal setelahnya. Terlalu mustahil dan sangat tidak masuk akal.
Sebelum perjodohan mereka terjadi, Arhan sempat menanyakan kesungguhan Kayra untuk menikah, bahkan setelah mengatakan Arhan masih mencintai dan berharap kembali pada sang mantan istri, Karya tetap menyetujuinya.
Arhan merasa ada yang salah pada Kayra, namun sampai detik ini ia tidak tahu alasan dan tujuan Kayra menikah dengannya. Kecurigaan bertambah, setelah Kayra mengungkapkan keinginannya yang jauh lebih aneh lagi, yakin hamil dan memiliki anak. Keinginan macam apa itu?
Walaupun dijadikan syarat untuk berpisah, tapi Arhan tidak akan mudah tertipu hanya dengan keinginannya.
“Aku sudah mengatakannya dengan jujur dan jelas. Aku ingin punya anak, itu saja.” Kayra bersikukuh dengan jawabannya.
“Tidak ada jaminan kamu menipuku,”
“Aku bukan Salsa, yang kerap menipu dan membohongimu. Jika masih meragukannya, kamu bisa membuat surat perjanjian, sebagai bentuk kesepakatan kita nantinya.”
“Jika tujuan menikah hanya ingin memiliki anak, kenapa tidak mencari lelaki lain yang mungkin mencintaimu dan kalian bisa hidup bahagia tanpa berpisah.”
“Oma menyukaimu.”
Arhan berdecak kesal. “Tapi kamu tidak menyukaiku.”
“Siapa bilang? Aku setuju dijodohkan denganmu artinya aku suka kamu, walaupun aku belum mencintaimu. Setidaknya aku bisa memiliki anak dari seorang lelaki yang aku suka, bukan sembarang lelaki.”
Arhan akan menganggapnya sebagai pujian, namun ia masih belum yakin dan masih menaruh curiga yang begitu besar.
Keputusan ada padamu, syaratnya tetap sama. Mau atau tidak terserah kamu.” Kayra tidak membuat percakapan lebih panjang, segera berbalik untuk pergi, kembali masuk kedalam kamar.
“Semakin cepat memutuskan, semakin besar peluang kamu kembali pada Salsa.” Kayra tersenyum, sebelum akhirnya masuk kedalam kamar meninggalkan Arhan yang masih berdiri mematung.
***
Arhan mengabaikan ponselnya yang terus berdering sejak beberapa menit lalu.
Salsa, wanita itu terus menghubunginya tanpa jeda. Biasanya ia akan bersemangat menerima panggilan wanita itu dan akan segera menemuinya kapan pun Salsa membutuhkannya. Tapi kali ini menjadi suatu pengecualian, sebab ia merasa begitu enggan bertemu dengan Salsa.
Pikirannya masih tertuju pada keinginan Kayra, memikirkan syarat perceraian mereka. Arhan
sangat ingin menyudahi pernikahannya, tidak ada yang istimewa dengan pernikahan keduanya bersama Kayra namun syarat yang diajukan Karya sungguh mengganggu pikirannya. Terlalu aneh dan tidak masuk akal.
Arhan keluar dari dalam kamarnya, ia akan melakukan aktivitas seperti biasa, latihan di asrama sepak bola. Seminggu tiga kali Arhan diwajibkan latihan dari pagi sampai sore, latihan fisik yang begitu melelahkan. Tapi itu merupakan salah satu kewajiban yang harus dijalani sebagai seorang atlet sepak bola profesional.
Jika ada pertandingan bergengsi, tentu jadwal latihan jauh lebih banyak.
Saat membuka pintu, ia melihat Kayra sudah berada di area dapur, tengah mempersiapkan sarapan untuk mereka berdua. Karya memang sudah beradaptasi dengan sangat cepat, setelah menyandang status sebagai seorang istri, Kayra sudah menjalankan perannya dengan sangat baik. Arhan mengakuinya.
Meski tidak seharmonis pasangan suami istri pada umumnya, tapi mereka tetap melakukan beberapa kegiatan bersama, salah satu contohnya sarapan.
Karya sangat mengerti asupan gizi yang dibutuhkan Arhan, walaupun tidak pernah mengatakan secara langsung, makanan apa yang dikonsumsinya untuk menjaga stamina, namun Kayra seolah mengerti..
“Mau buah?” tanyanya, tersenyum manis ke arah Arhan.
“Iya.”
Penampilan Kayra sudah rapi yang artinya dia akan kembali beraktivitas mengelola butik miliknya.
“Berangkat bersama.” ajakan bernada perintah sukses membuat Kayra menghentikan langkahnya, menoleh dengan tatapan bingung ke arah Arhan.
“Tidak perlu, kita berangkat terpisah.”
Tidak pernah bepergian bersama, Kayra tidak terbiasa dengan ajakan suaminya.
“Kenapa?”
“Arah dan tujuan kita berbeda.”
“Kita berangkat bersama.” tegas Arhan, tidak ingin mendengar penolakan Kayra lagi.
“Berangkat bersamaku, bukankah kita harus segera melakukan syarat itu secepatnya? Sebelum melakukannya, kita harus melakukan pendekatan terlebih dulu.”
Kayra nampak bingung, sebelum akhirnya ia mengangguk samar.
“Baiklah, kita akan berangkat bersama.”
“Bagus. Aku tidak pernah berhubungan intim dengan wanita yang tidak dekat denganku, jadi mulai sekarang kamu harus terbiasa dengan kedekatan kita.”