Bella baru saja tiba di rumah sore itu dan segera mencari sang kakek untuk membahas mengenai pekerjaan. Namun, saat tiba di ruang kerja kakeknya tanpa sengaja dia mencuri dengar percakapan ayah dan kakeknya yang menyebut dirinya. Karena penasaran gadis itu menajamkan pendengarannya untuk bisa mendengar lebih jelas apa yang sedang dibahas oleh dua orang di dalam sana.
Isi percakapan tersebut membuat Bella terlihat senang, karena kakeknya berniat untuk memberikan setengah warisan dari kekayaan yang dimilikinya untuk dirinya. Bahkan yang lebih mengejutkannya lagi adalah, Bella mendapat bagian dua kali lebih besar dari dua adiknya yang lain. Akan tetapi, ucapan sang kakek selanjutnya membuat gadis itu menggigit bibirnya.
“Menikah?” gumamnya pelan. Jelas sekali ucapan sang kakek yang menyebutkan dirinya harus menikah lebih dulu untuk bisa mengklaim warisan tersebut.
Kemudian Bella berpikir cepat mengenai rencana yang akan dilakukan untuk mendapatkan warisan kakeknya. Ditambah, dengan semua itu dia bisa keluar dari rumah itu dan hidup dengan bebas tanpa harus bertemu muka dengan ibu tiri yang tidak pernah disukainya.
Bella bergegas meninggalkan tempat itu dan segera menghubungi Agisa, sahabatnya untuk membahas rencana dadakan yang baru saja muncul di kepalanya.
Selang waktu kemudian, Bella sudah berada di apartemen Agisa.
“Gisa, kamu harus membantuku!” Bella menerobos masuk ke dalam ruangan apartemen sahabatnya dengan napas memburu.
“Hei, tenanglah, Bel."
Bella Ashalia Tanuwidjaja membuang napas kasar.
Agisa mendekat ke arah Bella yang sedang mengontrol napasnya menjadi lebih teratur. Kemudian Agisa menarik tangan Bella, mengajaknya untuk duduk di sofa ruang tamu.
“Merasa lebih baik?” tanya Agisa lagi setelah melihat Bella tampak lebih tenang dibandingkan saat datang tadi.
Bella memejamkan matanya sejenak, lalu mengangguk pelan. Kemudian dia membuka sepasang matanya dan menatap ke arah Agisa yang sempat dibuatnya terkejut dengan sikapnya yang sedikit membuat gaduh.
“Aku harus mencari pria yang bisa dijadikan suami kontrak, Gis.”
Jelas saja ucapan Bella sangat mengejutkan Agisa. “Kamu gila, Bella?! Suami kontrak? Yang benar saja."
Agisa tampak tidak percaya dengan yang baru saja dikatakan oleh Bella. Padahal hampir lima tahun mereka berteman, mereka sama sekali tidak pernah membahas mengenai pernikahan. Apalagi suami kontrak, tentu saja Agisa—si wanita anti menikah, itu menjadi terkejut bukan main pada keinginan Bella yang tiba-tiba saja ingin mencari suami kontrak.
“Aku serius, Gis.” Bella meremas tangan Agisa kuat-kuat. Andai saja dia tidak mendengar percakapan antara kakek dan ayahnya kemarin, mungkin dia tidak akan nekat melakukan hal seperti ini.
Agisa memutar tubuhnya agar bisa duduk saling berhadapan dengan Bella yang tampak sangat aneh hari itu. Karena tidak biasanya Bella bersikap aneh seperti itu.
“Apa yang buat kamu ingin mencari pria untuk dijadikan suami kontrak? Kenapa tidak beneran saja kamu nikah?” Agisa menuntut jawaban dari Bella mengenai keinginannya. Menurutnya sahabatnya itu terlalu aneh, entah apa yang terjadi padanya.
Bella mendesah dan menceritakan tentang percakapan antara ayah dan kakeknya yang tidak sengaja didengarnya tadi. Berikut dengan alasan mengapa dia memiliki rencana itu. “Sudah lama sekali aku muak setiap kali melihat wajahnya. Aku ingin keluar dari rumah dan memiliki kehidupan yang tenang dan nyaman.”
“Jadi, kamu ingin mendapatkan warisan itu plus agar kamu bisa bebas keluar dari rumah dan tidak tinggal lagi dengan ibu tiri dan dua adik kamu itu, lalu setelah tiga bulan kamu ceraikan pria itu?” Agisa mulai bisa menyimpulkan dari cerita yang Bella tuturkan.
“Bantu aku, please ....” Bella memohon pada Agisa yang dinilai lebih berani dibandingkan dirinya.
“Kita mulai dari mana dulu?” tanya Agisa. “Apa kita perlu pasang banner atau baliho di tengah kota buat audisi pencarian calon suami kamu yang potensial?” Agisa terkikik geli saat mengatakan usulnya.
Bella memukul lengannya sedikit keras. “Jangan konyol, Gisa!”
Agisa kembali tertawa terbahak-bahak. Dia merasa sangat lucu dengan idenya. Sedangkan Bella tampak merasa kesal melihat tingkah sahabatnya yang menertawakan dirinya.
“Ayolah, Gisa, yang serius.” Bella berucap gemas pada gadis di sebelahnya.
Kepala Agisa mengangguk. Kemudian Bella melanjutkan perkataannya.
“Kamu bisa hubungi beberapa dari mereka dan tawarkan tentang kontrak yang kita buat setelah itu kita seleksi. Tapi, aku mau yang cerdas dan tidak norak.”
“Cerdas dan tidak norak. Oke, mudah saja kalau begitu maumu. Aku bahkan bisa Carikan yang lebih keren dari itu kalau kamu mau.” Agisa mengedipkan matanya, menggoda Bella.
Pada akhirnya mereka sepakat untuk melakukan seleksi esok hari. Dan, Bella tidak sabar untuk memulai rencana gilanya. Dia melakukan hal itu bukan semata-mata untuk sensasi, melainkan untuk kebebasan dan juga warisan yang akan didapatkannya.
***
Suasana pagi di kediaman Tanuwidjaja, semua anggota keluarga berkumpul untuk menikmati sarapan bersama. Satu hal yang wajib dan tidak boleh dilewatkan, sama halnya seperti makan malam keluarga semua anggota keluarga harus mengikuti makan malam tanpa terkecuali.
Bella tampak menikmati sarapannya seperti biasa dengan penuh ketenangan, di tengah-tengah percakapan antara ayah, ibu tiri, kakeknya, dan dua saudaranya yang lain. Bella hampir tidak pernah menyela atau menginterupsi percakapan mereka, dia menganggap dirinya sebagai tim penyimak saja.
Namun, Bella tahu setiap kali anggota keluarganya mengobrol ayahnya akan melempar pertanyaan padanya dengan pertanyaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan yang sedang mereka bahas. Seperti saat ini, ayahnya mulai bertanya padanya.
“Bella, Ayah dengar salah satu rekan kerjamu ada yang mengambil cuti hamil selama beberapa bulan. Bila di divisimu membutuhkan orang baru, beritahu ayah, mungkin ayah bisa mencari pegawai baru untuk divisimu.”
Bella yang mendengar namanya disebut pun menatap ayahnya dan mengangguk. “Ini hari terakhirnya dan untungnya kami sudah menemukan penggantinya untuk beberapa waktu ke depan. Jadi, hal itu tidak perlu dikhawatirkan lagi.”
“Bagus sekali, Bella,” puji Adrian pada putri sulungnya.
Bella hanya tersenyum tipis, lalu tatapan matanya bertubrukan dengan sepasang mata milik Maya, adiknya yang menatapnya sinis. Bella mengabaikan hal itu dan kembali melanjutkan sarapannya yang tersisa sedikit. Dia ingin segera pergi dari sini dan menyibukkan diri di kantor.
Selesai sarapan, seperti biasa Bella akan berangkat bersama dengan ayahnya menuju ke kantor. Bila tidak dengan ayahnya, Bella akan membawa mobilnya sendiri.
“Kamu dengar percakapan papa dan kakek kemarin sore?” tanya Adrian ketika mereka sudah dalam perjalanan menuju kantor.
Bella mendesah kesal, dia yakin jika ibu tirinya yang memberitahu ayahnya mengenai dirinya yang berdiri di depan pintu ruang kerja kakeknya kemarin.
“Ya.” Gadis itu membalas singkat.
Adrian tersenyum tipis. Dia yakin bila Bella sudah mengetahui semua pembahasan mengenai dirinya.
“Papa sama sekali tidak masalah bila kamu tahu, Bella. Kamu sudah dewasa dan sudah seharusnya memilih apa yang kamu inginkan.”
“Aku tidak mau menikah karena dijodohkan.” Akhirnya Bella menyatakan protesnya pada Adrian.
Adrian tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Papa tahu, Bella. Itulah mengapa papa tidak setuju ketika kakek ingin menjodohkan kamu dengan anak rekan bisnis kami.”
Bella tampak terdiam sambil memandangi jalanan luar. “Tapi, aku sudah memiliki kekasih, Pa.”
“Oh, ya? Kenapa kamu tidak ajak dia ke rumah untuk dikenalkan pada kami?” Adrian tampak sangat antusias mendengar pengakuan putrinya yang selama ini terlihat sangat pendiam dan tidak banyak keluar kecuali hanya untuk bekerja dan bepergian dengan Agisa, sahabatnya ternyata telah memiliki kekasih.
“Belum waktunya.” Bella membalas pelan. Pada kenyataannya dia memang belum memilikinya. Mungkin nanti setelah seleksi itu selesai.
Adrian tersenyum hangat kemudian tangannya hendak terulur ke puncak kepala Bella, tapi gadis itu menghindar. Bella menggigit bibirnya dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Adrian menyadari bahwa semenjak Bella mengetahui gosip yang menyebar mengenai alasan ibunya meninggal, putrinya semakin menjaga jarak darinya. Namun, sebagai ayah kandungnya, Adrian mencoba untuk tetap memahami Bella dan menyayanginya melebihi dua anak kandungnya yang lain. Karena dia tahu Bella memiliki ingatan masa kecil yang kelam tentang ibu kandungnya. Adrian bertanggung jawab atas segala yang terjadi dan sangat menyesali perbuatannya di masa lalu sehingga harus menerima kebencian dari putrinya sendiri.
Sore sepulang kerja Bella langsung mengunjungi Agisa untuk membahas proyek baru mereka mengenai calon suami kontrak potensialnya.
“Aku sudah membuat grup chat di w******p, yang berisi beberapa pria yang cukup potensial menjadi calon suami kontrak kamu, Bell. Jangan tanya dari mana aku bisa dapatkan nomor mereka, kamu harus percaya padaku jika mereka bukanlah pria jadi-jadian.”
Bella tertawa kecil mendengar penjelasan Agisa mengenai keberhasilannya mengumpulkan data-data pria itu. Malah Bella memuji Agisa karena sangat berusaha mendapatkan yang terbaik dalam proyek yang dia minta.
Agisa menatap Bella dengan sorot mata tajamnya dan memberinya peringatan. “Awas, saja bila kamu tidak memilih salah satu dari mereka.” Kemudian Agisa meletakkan telapak tangannya pada leher membuat adegan mencekik.
Kali ini Bella tertawa lebih keras dan mengangguk cepat. “Pokoknya kita lihat nanti saat interview!”
Satu jam kemudian Bella dan Agisa sudah berada di salah satu cafe favorit mereka. Keduanya menyewa ruangan VIP untuk melakukan interview pada calon suami kontrak potensial untuk Bella.
Peserta pertama tidak begitu membuat Bella tergugah. Dia jelas tidak tertarik. Agisa lantas meminta peserta pertama untuk keluar. Kemudian masuklah peserta kedua dan lagi-lagi Bella langsung menggelengkan kepalanya. Menolak.
Agisa sampai harus memelototi Bella karena langsung menolak tanpa alasan yang jelas.
“Kesan pertama sudah buat aku ilfil, aku tidak suka, Gis!” Bella memberi alasan.
Agisa hanya menggelengkan kepala. “Oke, kita panggil peserta ketiga dan kali ini ... please, Bella, tolong lihat dulu jangan asal tolak. Ya?”
Bella menganggukkan kepalanya. “Ya, aku akan melakukannya.”
Lalu, masuklah peserta ketiga, pria dengan perawakan tinggi tegap dan sangat macho seperti yang diinginkan oleh Bella. Lama sekali Bella memperhatikan pria itu, apalagi sebuah bekas luka sepanjang satu centimeter di alis kanan pria itu sangat menarik perhatiannya.
Agisa melirik ke arah Bella yang tampak sangat intens memperhatikan peserta ketiga mereka. Dia yakin jika Bella tidak akan menolaknya kali ini.
Agisa meminta pria itu untuk duduk di kursi kosong yang berada sedikit lebih jauh dari mereka.
“Andreas?” tanya Agisa.
Pria itu mengangguk.
“Tidak ada nama belakang?” Kali ini Bella yang bertanya.
“Hanya, Andreas.”
Bella dan Agisa saling menoleh, lalu kembali menatap ke arah pria yang tampak sangat tenang duduk di depan mereka.
“Kamu seorang montir mobil ....”
“Dan, bartender di malam hari.” Pria bernama Andreas itu melengkapi penjelasan mengenai pekerjaannya yang disebutkan oleh Bella.
Bella membaca ulang data pribadi pria bernama Andreas tersebut. Usia dua puluh delapan tahun, hidup sendiri, dan pekerja keras. Tidak banyak tercatat mengenai siapa dirinya dan bagaimana latar belakang keluarganya. Pria itu terlalu misterius.
“Apa alasan kamu bersedia ikut dalam event ini?” Agisa bertanya.
“Uang, apalagi?” ujarnya sembari mengangkat bahunya.
Bella memang memberi kompensasi untuk menjadi suami kontraknya selama tiga bulan dengan uang senilai dua ratus juta. Nominal itu adalah jumlah kecil dari keseluruhan warisan yang akan dia dapatkan setelah menikah. Jadi, Bella sama sekali tidak keberatan dengan mengeluarkan uang sebanyak itu asal dia bisa keluar dari rumah dan hidup sendiri.
Agisa menatap pada Bella yang sejak tadi menekuri data pribadi milik Andreas. Dia sedikit menyenggol lengan Bella. “Bagaimana, Baby?”
Bella tampak berpikir keras mengenai pilihannya. Dia tidak mau salah memilih meski hanya sekadar suami kontrak. Meskipun Agisa memiliki kenalan seorang petugas polisi yang bersedia menjadi tameng mereka kalau-kalau pria pilihannya itu melakukan tindak kejahatan tetap saja Bella ingin berhati-hati. Semua itu sudah dipikirkan matang-matang oleh Bella saat pertama kali dia menginginkan suami kontraknya.
“Dia lulus.” Suara Bella terdengar mantap dengan keputusannya.
Agisa tersenyum senang, lalu menoleh ke arah Andreas yang menunggu keputusan dari dua wanita cantik itu.
“Selamat, kamu lulus. Kita akan bertemu lagi pada sesi berikutnya untuk membahas kontrak dan pendekatan,” ucap Agisa pada pria itu.
Andreas tersenyum tipis. Dia berhasil lolos dengan mudah dalam pemilihan calon suami kontrak dari Bella Ashalia Tanuwidjaja.