Pagi ini Safir dan Aruna sudah sampai di panti asuhan "Kasih Sayang". Lebih tepatnya lagi keduanya kini sudah berada dalam ruangan bayi.
"Jadi bagaimana kondisi bayi itu?" Tanya Safir pada pengurus panti asuhan yang sangat ia percaya bisa menjaga bayi itu untuk sementara waktu.
"Kondisinya sangat baik, Pak Safir."
Safir mengangguk sambil membelai pipi gembil bayi yang baru berusia beberapa minggu.
"Tapi kita belum memiliki nama yang pas buat bayi itu. Apa Pak Safir mau menamai-nya?" ujar ibu panti.
"Iya, saya sudah menyiapkan nama yang cantik buat dia." Beberapa hari ini Safir memang sudah mencari beberapa nama yang cocok untuk bayi perempuan cantik itu.
"Asyila Qistana Farnaz."
Refleks Aruna langsung menoleh saat mendengar namanya di selipkan pada nama bayi itu.
"Kenapa, dia kan calon anak kita," ujar Safir menjawab kebingungan Aruna. "Kamu nggak keberatan kan?" Lanjutnya.
Aruna tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak apa-apa, cocok kok."
"Terus nama panggilan-nya siapa?" Tamya ibu panti.
"Aruna kamu ada saran?" Tanya Safir.
Aruna sedikit berfikir. "Di panggil Cila kayaknya lucu. Kan sebut Asyila susah, jadi enaknya panggil Cila aja."
Safir mengangguk setuju dengan saran yang Aruna berikan.
"Pak Safir, Bu Aruna, saya permisi dulu, mau buatin s**u Cila." Pamit ibu panti.
Aruna mengangkat tubuh mungil Cila yang tampak menggeliat tak nyaman dan ingin menangis.
Safir benar-benar sudah jatuh hati dengan baby Cila sejak awal pertemuan-nya. Rasanya Safir seperti ingin selalu menyayangi dan melindungi bayi itu.
"Aku nggak nyangka ternyata kamu se-gemes ini sama anak kecil," ucap Aruna yang baru pertama melihat Safir berinteraksi dengan anak kecil.
"Aku juga nggak tau kenapa aku bisa se-sayang ini sama dia."
Aruna semakin penasaran sebenarnya siapa bayi ini dan dari mana Safir mendapatkan-nya. Namun, untuk bertanya rasanya Aruna masih sangat ragu.
"Aruna, kalau kita bawa Cila ke rumah bakal repot nggak?"
"Tergantung kamu, percaya sama baby sitter apa enggak. Kan nggak mungkin juga kita tiap hari bawa Cila ke kantor."
Safir menggeleng, ia tak mau baby Cila berada di tangan baby sitter. "Aku mau kamu yang rawat Cila."
"Kan aku juga sibuk di kantor."
Safir terdiam dan mulai berfikir jalan keluar yang terbaik agar Cila tetap aman bersama Aruna dan kerjaan Aruna di kantor juga tetap aman.
"Menurut kamu siapa staf yang paling berpotensi buat bantu pekerjaan kamu?" Tanya Safir.
"Galih. Meskipun lembek, kerjaan dia rapi dan cekatan."
"Yang sering makan siang sama kamu itu ya?"
Aruna mengangguk. Ia merekomendasikan Galih bukan semata-mata karena Galih sahabat-nya. Namun, ia sudah benar-benar tahu dan bisa menjamin tentang kerapian pekerjaan pria kemayu itu.
"Kenapa kamu merekomendasi-kan dia?" Tanya Safir penuh selidik.
"Karena dia sering membantu kerjaan aku, dia sudah cukup tau lah bagaiman kerjaan aku tiap hari dan apa yang harus dilakukan setiap hari."
"Kamu yakin dia bisa."
"Kalau kamu masih ragu, besok bisa langsung tes dia. Untuk masalah kejujuran, kamu jangan pernah raguin dia, seratus persen Galih orang yang jujur dan amanah."
"Okay, karena dia yang merekomendasikan kamu langsung mulai besok dia bantu kamu dalam masalah kantor. Kamu cukup kerja di rumah dan jaga Cila dengan baik, hari ini juga kita bawa Cila ke apartemen."
Begitu lah Safir, apapun yang ia inginkan harus segera terkabul hari ini juga.
"Pak Aditya dan Bu Sinta tau tentang Cila?"
"Aku sudah cerita. Awalnya mereka yang ingin merawat Cila untuk sementara waktu sebelum kita menukah. Tapi saya mau Cila tetap bersama kita, dan untuk membiasakan diri juga. Kamu nggak keberatan kan Aruna?"
Jelas Aruna menggeleng. Ia benar-benar tak masalah meski harus meninggalkan kantor dan merawat baby Cila di rumah. Melihat kantor dan berkas-berkas berserakan membuatnya benar-benar sangat muak. Aruna ingin suasana baru.
"Terimakasih Aruna." Safir mengusap bahu Aruna lembut.
"Saya benar-benar siap menjadi ibu sambung Cila," ucap Aruna tulus dari dalam hatinya.
"Kamu disini dulu ya, aku mau urus perizinan membawa Cila ke pihak panti." Safir berjalan keluar dari dalam ruangan meninggalakan Aruna dan Cila yang berada di dalam gendongan.
***
Aruna memandang takjup kamar pribadi Safir. Selama bertahun-tahun bekerja dan keluar masuk apartemen ini, baru hari ini ia memasuk dan melihat jelas isi kamar pribadi Safir yang sangat luas dan bersih.
Kamar ini di desain serba hitam putih dan ada rak besar berisi buku-buku di sisi kanan ranjang.
"Kamu yakin mau tempatin seluruh barang-barang Cila disini?" Tanya Aruna memastikan agar Safir bisa berfikir ulang dan memutuskan memindah seluruh barang Cila di apartemen Aruna yang berada tak jauh dari unit apartemen Safir.
"Iya, enggak apa-apa di sini aja. Toh kamar aku juga luas."
"Terus kalau malam-malam Cila rewel gimana, kamu bisa tenang-in dia sendiri?"
"Kamu nginep sini aja."
Aruna mengerutkan keningnya. Ya kali dirinya langsung berada satu atap dengan Safir sementara keduanya belum melangsungkan pernikahan.
"Nggak boleh dong, kita belum nikah."
"Nggak apa-apa, yang penting kita nggak aneh-aneh!"
Aruna tak bisa membantah ucapan Safir seperti biasanya. Jika pria itu berkata A ya A, tak ada yang bisa mengganggu gugat.
"Kamu tidurin, Cila di ranjang dulu. Orang toko masih perjalanan kesini."
Ya, sebelumnya Safir dan Aruna sudah berbelanja semua keperluan Cila. Mulai dari ranjang bayi, stroller, baby swing dan lain sebagainya. Mereka benar-benar sudah mirip dengan seorang ayah dan ibu baru.
"Mumpung Cila lagi pules banget, aku tinggal sama kamu dulu nggak apa-apa kan?"
"Mau kemana kamu?"
"Mau bersih-bersih apartemen aku, sama belanja bulanan. Kulkas apartemen aku sama kulkas kamu kosong semua."
"Kamu belanja buat persediaan disini aja, kan mulai hari ini kamu lebih sering disini dari pada di apartemen kamu sendiri."
Aruna mengangguk menurut saja.
"Uang bulanan-nya udah aku transfer tanggal satu kemarin."
Aruna mengangguk karena sudah merasa mendapat jatah itu dari Safir di rekening khusus keperluan setiap bulan-nya.
"Nanti kalau Cila bangun terus rewel telfon aku aja ya."
"Iya Aruna."
Setelah itu Aruna langsung bergegas keluar dari unit apartemen Safir dan masuk ke unit apartemen-nya yang belum sempat ia bersihkan sejak beberapa hari yang lalu karena prioritasnya tetap apartemen Safir yang harus selalu terjaga kebersihan-nya.
"Astaga!" Aruna terlonjak kaget saat melihat seseorang tidur di atas sofa depan televisi dengan berbalut bad cover.
Aruna menyingkap bad cover itu, ternyata pelakunya adalah adik kandungnya sendiri.
"Kak Runa kemana aja sih, aku semalam sampai sini tapi nggak ada siapa-siapa," ucap adiknya dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Iihh! kamu ngagetin kakak tau nggak."
Adiknya hanya bergumam tak jelas dan menarik kembali bad cover yang sempat Aruna singkap.
"Malah tidur lagi. Bangun Popy, kamu kira ini masih jam 7 pagi?" Aruna kembali menyingkap bad cover yang Popy kenakan.
"Aku baru tidur jam empat pagi tadi kak Runa. Mumpung libur biarin aku nikmati hidup."
Aruna hanya bisa berdecak kesal dan meninggalkan adik kandungnya yang kebiasaan begadang sampai pagi-pagi demi melihat drakor. Tak peduli badan capek tak peduli mata ngantuk, yang terpenting hari liburnya di puaskan dengan menonton drakor.
Saat masuk ke dalam kamarnya Aruna benar-benar merasa miris. Kamarnya tak serapi kamar Safir yang ia lihat tadi. Bantal tak pada tempatnya, bad cover terhempas dari ranjang dan kertas-kertas berserakan di meja kerjanya.
Aruna buka cewek pemalas. Tapi ya itu tadi, apartemen Safir lah yang selalu menjadi prioritasnya. Tak peduli sehancur apa apartemen-nya yang terpenting apartemen bosnya sudah rapi duluan.
Dengan cekatan Aruna harus segera merapikan kamarnya dan juga membersihkan apartemen-nya. Mumpung si kecil sedang tidur lelap, ia harus segera menyelesaikannya.
Adik pemalasnya itu sudah pasti tidak mau memegang sapu atau membantu urusannya bersih-bersih rumah.
"Kak Runa." Panggil Popy. Gadis sembilan belas tahun itu duduk di kursi meja makan dengan wajah setengah mengantuk.
"Hmm?"
"Aku lapar."
"Sabar Pop, abis bersih-bersih kakak belanja."
"Kak Runa kapan di kasih libur Pak Safir?" Tanya Popy.
"Emang kenapa, tumben tanyain kakak libur kapan."
"Aku pengen liburan sama kak Runa, pusing kepala aku mikir kuliah."
Aruna hanya membalas dengan senyuman. Ia tahu betul watak adiknya yang suka terlalu keras berfikir dan berujung jenuh dan merasa stres dengan pikiran-pikiran-nya.
"Makanya kalau mikir itu santai aja, jangan terlalu get. Jadi stres gitu kan."
"Ya nggak begitu kak Runa. Kan bulan lalu Pak Safir nggak kasih jatah liburan sama kak Runa, jadi harusnya bulan ini dobel."
"Kamu bilang sendiri gih sama Pak Safir, berani nggak?"
Popy memandang kakaknya sinis. "Ya nggak berani lah!"
"Kamu liburan aja sama teman-teman kamu. Kakak sibuk banget."
Popy menggebrak pelan meja makan. "Ahh! kak Runa nggak asik."
"Udah! kamu mandi sana kakak mau belanja dulu."
"Masakin yang enak ya kak, aku kangen banget masakan kak Runa."
"Iya bawel!"
Popy berjalan meninggalkan Aruna yang sudah selesai mengelap dan menyapu arep dapur dan meja makannya.
Kini tugasnya tinggal berbelanja kebutihan apartemen Safir dan persediaan makanan untuk Popy yang tengah berada di apartemennya.
"Popy, kakak mau belanja dulu!!" Pamit Aruna di depan pintu kamar Popy yang tertutup rapat.
Setelah itu Aruna segera keluar dari apartemen-nya. Untuk belanja, Aruna tak perlu jauh-jauh karena di lantai bawah apartemen-nya tersedia swalayan yang menjual seluruh bahan masakan atau keperluan rumah. Jadi, apartemen yang ia tempati ini memang benar-benar memiliki fasilitas sangat lengkap dan mewah.
Aruna tak berbelanja full untuk satu bulan penuh. Seperti biasanya, Aruna selalu berbelanja untuk kebutuhan 15 hari kedepan agar barang-barang belanjaannya tetap segar.
Selesai berbelanja Aruna memberikan persediaan untuk Popy terlebih dahulu lalu memasuki apartemen Safir.
Saat masuk, Aruna langsung di sambut tangisan keras dari baby Cila yang masih berada di dalam kamar Safir.
Dengan langkah lebar ia langsung menghampiri kamar Safir dan melihat bagaimana kondisi baby Cila.
"Cila kenapa?" Aruna langsung mengambil Alih baby Cila dari gendongan Safir dan mulai menimang-nimangnya.
"Tadi kebangun terus langsung nangis gitu."
Aruna mengambil botol s**u yang berada di atas nakas dan memberikan pada baby Aruna dengan satu tangannya yang masih bisa terbebas.
"Sini, biar aku yang pegang." Safir mengambil alih botol s**u yang Aruna pegang.
"Tadi aku kasih s**u dia nolak."
"Tadi belum mau kali." Canda Aruna.
Safir balas terkekeh dan keduanya pun saling bantu membantu dalam menjaga bayi mungil yang sebentar lagi akan sah menjadi anak mereka.
***