2

1053 Words
Pulang sekolah, semua murid langsung pulang, terkecuali aku yang menunggu suasana kelas maupun sekolah sedikit sepi, karena kalian sudah tahu bukan bahwa aku sangat pemalu! Di keramaian, aku bisa saja pingsan dengan badan yang berkeringat dingin, maka dari itu aku menunggu moment yang pas baru keluar. Aku beranjak dari kursi, menatap suasana sekolah melalui jendela kelas, merasa telah aman terkendali, barulah aku keluar kelas dan menuju pintu gerbang tanpa khawatir dengan ramainya orang-orang. Dugaanku salah, dalam sekolah memang sepi, tetapi ... di luarnya itu, luar biasa ramainya, ada apa ini? Tidak seperti biasanya, aku menunduk takut, takut jika diperhatikan layaknya orang aneh yang berjalan dengan cepat dan menunjukkan gerak tubuh yang kaku pula. Aduh, betap beratnya cobaan yang diberikan Tuhan olehku, ayo! Kamu harus kuat Lia. Sekarang, aku berada di bawah pohon asam, menyendiri dan jauh dari siswa lainnya yang lebih memilih di halte. Aku sudah terbiasa dengan hal ini, dan tak lama kemudian ibuku pun datang dengan motor matic-nya. "Hari ini lancar, kan?" tanya ibu dan aku mengangguk. Ibu tidak tahu soal diriku yang introver, sedangkan ayah? Hm, terlebih lagi karena orang tuaku tidak bersatu, hal itu disebabkan adanya perceraian. Ibu menyayangiku kok, bahkan kasih sayangnya sangat lebih, apalagi perhatiannya, hanya saja ... aku pandai menutup sifatku yang penutup ini, dan juga berakting di hadapannya. Maaf, Bu. Aku selalu berbohong padamu, mengenai kelancaranku di sekolah, dalam berkomunikasi, bergaul, maupun pada sistem pembelajaran. Batinku. Sampainya kami di lokasi tujuan, aku tidak langsung masuk, karena Pak Tarno sang tetangga sedang mengadakan perkumpulan, seperti makan-makan ceritanya, semua tetangga hadir, termasuk aku dan ibu. Di sekitaran rumah, aku tidak tertutup karena nyamannya kompleks btn ini yang membuatku sedikit terbuka, berbeda dengan lingkungan sekolah yang dipenuhi siswa asing. Lebih tepatnya, aku mengasingkan diri, ha ha ha. Seperti biasa, di sela makan kami pun berbincang, terutama Pak Tarno yang bertanya padaku perihal sekolah. "Kamu sekolahnya, di mana, Nak?" "Di SMA TIRTANIA, Pak." "Owalah, kamu satu sekolah sama anakku, dia Zidan, kamu kenal?" Oh tidak, aku tidak mengenalnya, aku pun menggeleng jujur. Zidan, siapa dia? Namanya saja membingungkanku. "Hm, ternyata gak kenal toh, padahal ... Zidan selalu kasih tau Bapak kalau dia idola para cewek-cewek di sana," ungkap Pak Tarno, dalam hati aku tertawa kecil. Tadi pagi, teman kelas sempat membahas para manusia tampan yang bersemayam di sana, namun, aku tidak peduli. "Mungkin memang terkenal, Pak. Cuman, saya tidak kepo dengan pria-pria tampan di sekolah, hehehe. Saya mah suka sendiri, karena asik gitu loh, Pak. Tenang jadinya," balasku. "Beda sekali sama Zidan, dia orangnya suka ramai-ramai, Nak. Besok kalau kamu ketemu sama dia, sapa saja," ucap Pak Tarno. Bagaimana bisa menyapa? Orangnya saja aku tidak tahu, mungkinkah sebuah keajaiban ada? Jika Zidan hadir dalam acara makan ini dan menunjukkan dirinya agar aku menyapanya besok. "Zidan!" Pastinya, keajaiban itu ada ketika aku menyinggung hal yang tidak-tidak, dan itu selalu terjadi, why? Semoga saja Zidan tidak ada. "Iyah, Pak?" Buset, Zidannya ada dan sedang ke sini sembari membawa piringnya yang berisi nasi dan banyak lauk. "Nih, tetangga kita ternyata satu sekolah loh sama kamu." "Eh, emang iya, Pak? Mana?" Tatapan kami bertemu, dan dia adalah .... . Pria yang kulaporkan tadi, dan harus membersihkan toilet selama seminggu. Aduh! Jangan sampai dia tahu, maaf yah, Zidan. Aku berada di suasana yang tidak kusukai, berada di samping Zidan dan diberi pertanyaan beruntun. "Lo kelas berapa? Kenapa gue baru liat? Padahal kita tetangga." "Kelas 12 Mipa 1. Jarang keluar setelah pulang sekolah, ini hari pertama setelah 3 bulan yang lalu," jawabku. Memang benar bahwa ini 3 bulan pertama kalinya aku keluar rumah, selain berangkat-pulang sekolah. Hanya itu, selainnya tidak pernah. Untuk berbelanja? Ibu lebih dominan dan menyuruhku diam di rumah untuk fokus belajar. Surga dunia bukan? Bukan berarti aku tidak peduli dan sayang sama ibu, hanya saja sifat terpendamku ini sangat mendominasi dan sulit untuk ditaklukkan. "Buset, ngapain di rumah? Cobanya gue tau, bisa keluar bareng lah main sama anak-anak di sini," balasnya. "Gak mau, gak suka keluar-keluar." "Jutek amat, gak ada yang suka nantinya." "Gak papa." Dia menghela napas, apakah dia mulai bosan? Jika iya, berhasillah aku, tetapi, ternyata tidak karena dia mengajakku berbicara kembali, namun ... aku telah menangkap gelagatnya sehingga pamit karena ingin mengerjakan tugas. Huft, akhirnya aku selamat dan dapat merebahkan diri di kasur yang nyaman. "Kasur, tunggu kedatanganku. Dan sambutlah tubuh langsingku, yuhui!" teriakku, tak memedulikan orang-orang di sekitar. Sampainya di istana kamar, aku mengganti pakaian terlebih dahulu lalu merebahkan diri pada akhirnya. Sambil rebahan, aku membuka ponsel dan melihat berbagai sosial media yang notifikasinya tidak ada, hi hi hi, menyedihkan sekali. Ralat! Ada, tapi hanya satu yaitu whatsapp saja. Itu pun dari grup kelas, sambil menggilir layar ponsel, aku baru menyadari jika aku bergabung di grup sekolah (umum), dan ternyata isinya ... absurd, gabut, dan tidak jelas! Buang-buang kuota saja, deh. Sekali klik, aku keluar dari grup itu. Akan tetapi, detik kemudian seseorang kembali menambahkanku, aku jengkel dibuatnya. Karena kepo, aku melihat pelaku yang menambahkanku, dia adalah Zidan sang tetangga populer di sekolah, juga pemegang pria tertampan di sana, cuman, tidak berlaku dalam hatiku, eak. "Apaan sih ni orang, dah keluar malah di-join-in lagi aku." Aku mencoba keluar lagi, namun, sebuah info dari grup mengatakan. JANGAN KELUAR, NANTI SAYA SANTET! INFO RESMI DARI KEPALA SEKOLAH YANG DIINFORMASIKAN OLEH ZIDAN SEBAGAI PERANTARA. "OKE, MENYEBALKAN!" kesalku, kemudian mematikan ponsel dan melemparnya sembarang arah, tentu di area kasur saja, karena harganya yang mahal membuatku was-was dan akan sulit bernapas ketika ibu sudah memarahi. Malam hari, jendela kamarku berbunyi, sepertinya ada sesuatu yang mengenai kacanya dan aku melihat apa itu? Ternyata, sebuah kertas yang berasal dari samping rumah, yaitu rumah Pak Tarno yang di mana pelakunya adalah Zidan sendiri. "Kenapa kamarnya bisa sejajar gini yah? Sebuah kebetulan? Hm, aku baru tau," gumamku, setelah membuka kaca jendela, dan ... kertas yang telah dibulatkan mengenai keningku. "Ish, jahil banget, sih!" "Makanya, jangan melamun!" "Sia-" "Nama lo siapa? Gue Zidan." "Dah tau dari Bapak kamu. Tolong yah, jangan ganggu ketenangan saya, Tuan Zidan Tarno, karena saya sedang sibuk merebahkan diri untuk meredakan kepusingan yang melanda." "Ha ha ha, akhirnya lo cerewet juga," ucapnya, membuatku sadar. Oh iya, kenapa ini bisa terjadi? Padahal, aku sangat irit berbicara. Dia seperti magnet, setiap kali menjauh, aku tetap tertarik. Jangan hiraukan Lia. "Gak jawab, nanti lo bisu!" "Hei, jaga mulutmu. Namaku Lia, puas?" "Gak puas kalau gak lengkap." "Azerlia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD