3

1096 Words
Pagi sekali, Zidan berada di depan rumahku sembari berklakson ria dan menimbulkan sebuah nada yang beraturan. "Ish, maunya apa sih itu orang?" Aku membuka pintu dan melemparnya dengan sepatu, dan yaps ... berhasil mengenai kaca spion motornya. "Gak papa lah kalau spion doang, untung bukan mu-" "Siap, kena muka!" "Anjir!" Yeah, aku mengenai wajahnya dengan sepatuku yang satu, tetapi ini sebuah kerugian juga karena Zidan memungutnya dan menaruhnya dalam tas kemudian menunjukkan senyum menyebalkannya. "Impas, gak berangkat sama gue, gak dapet sepatu, ha ha ha." "Ish, Ibuku mau nganter, gak usah berbaik hati, Zidan." "Ya elah, tinggal kasih tau sama Ibu lo, kalau pria paling ganteng sedunia ini bakal nganterin anaknya," balasnya narsis. "Bu, monyet mau nganterin Lia, Ibu gak usah repot-repot, yah." "Monyet?" Ibu keluar dan menengok siapa yang kumaksud monyet. Ibu pun menyentil keningku dan berkata, "Itu temen kamu loh, jangan ngomong gitu, nanti Pak Tarno marah." "Iyah, maaf, Bu." "Cepet sana, nanti kamu telat." Aku menyalim tangan ibu kemudian menghampiri Zidan lalu naik ke jok motornya. Menuju sekolah, Zidan benar-benar gila, 80 km/jam, dia membuat rambutku berantakan! Alhasil, orang-orang di sekolah memerhatikanku, ada yang tertawa sembari menutup mulutnya, ada juga yang terang-terangn, dan di sinilah tubuhku kembali berkeringat karena dengan teganya Zidan meninggalkanku sendirian tanpa kusadari. "Zidan!" Setelah itu, semuanya gelap gulita. Aku berada di suatu tempat, setelah menjelikan mata, aku kini tahu ruangan ini, yaitu UKS, langganan kasur setelah di kamarku sendiri. "Rajin sekali kamu pingsan, kenapa tidak buat jadwal saja?" "Maaf, Pak. Saya ngerepotin." Pak Satpam membawaku ke UKS dan ini sudah kesekian kalinya dia yang menolongku, aku jadi tidak enak, tetapi, aku harus bagaimana? Penyakitku tidak bisa sembuh begitu saja dan aku pun ragu harus mengatakan ini adalah penyakit. Aku beranjak dari brankar dan bercermin menghadap belakang agak sedikit untuk melihat apakah bajuku kotor atau tidak, dan sudah pastinya kotor! Ini menyebalkan, untunglah ada baju cadangan di lokerku. Selesai berganti pakaian, aku menuju kelas dan sempat bertemu dengan Zidan, tanpa banyak bicara kuhampiri pria itu dan menginjak kakinya sekuat tenaga, mengabaikan orang-orang yang menatapku tidak percaya. Kelebihan setelah pingsan, aku mendapatkan kekuatan secara tiba-tiba dan tidak peduli lagi yang namanya malu, tetapi, tidak berlaku di setiap waktu, ini terbilang langka jadinya. "Aduh, sakit." "Rasain, siapa suruh jahilin aku sampai pingsan!" "Hah, pingsan?" kejutnya. "Iyah!" Setelah itu aku pergi, mengabaikan pria yang mengejarku sekarang. Oh tidak! Aku sadar bahwa Zidan merupakan pria terpopuler di sekolah, siapa pun yang berurusan dengannya, akan menjadi perbincangan hangat di sekolah. "Berhenti, kalau kamu ngikutin lagi. Aku bakalan pingsan, aku gak main-main!" seriusku, saat ini suhu badanku meningkat lagi, dan keringat mulai bercucuran di area dahi kemudian turun ke pelipis, kepalaku pun sedikit pusing. Pada akhirnya, gelap lagi. "Gue gak tau kalau lo separah ini." Suara yang terdengar jelas itu, menyapu pendengaranku ketika aku membuka mata, huft, sesuai dugaanku, aku pingsan lagi. Duh, kenapa sih harus pingsan mulu? Dikit-dikit gitu, apalagi kalau ramai? Argh, inginku teriak dan memaki sifat menjengkelkan ini. Sebenarnya, para guru telah menelepon ibu, tetapi aku menelepon ibu lagi agar tidak datang karena aku baik-baik saja dan mengatakan bahwa hanya terkena pusing-pusingan pada area kepala sehingga menyebabkan sebuah kelinglungan yang menyerang secara tiba-tiba. "Huft, untung Ibu gak jadi datang. Lain kali, gak usah nelepon, ini rahasiaku!" "Aneh, malah ngerahasiain penyakit. Ck, ck, ck. Apalagi kepada Ibu tercinta? Sungguh kejamnya dan durhakanya kau!" Sudah merasa nyaman, akhirnya aku menuju kelas, sampainya di lokasi, kelas dipenuhi oleh bising-bising para lelaki cabul di sekolah, bagaimana tidak? Mereka berbondong-bondong datang karena teman kelasku yang bernama Meli, telah hadir selama seminggu lebih tidak ke sekolah. Dia cantik juga populer, tak hanya itu, hatinya pun cantik, siapa yang tidak suka dengannya? Mungkin ada, tetapi terpencil, ha ha ha. Oh iya, aku semeja dengan Meli, sementara Naila sudah kembali ke tempatnya. Duh, gimana nih? Aku mau ke sana tetapi ... banyak banget cowok yang menempeli Meli, aku berharap semoga Meli mengusir mereka. "Maaf, kalian bisa minggir? Temanku mau duduk." Yaps, syukurlah doaku dijabah. Mereka yang berdempetan minggir kemudian dan aku akhirnya dapat duduk, tetapi tidak tenang. Ramai banget! Aku gak suka suasana ini, dan tubuhku mulai berkeringat lagi. Sebelum pingsan, bunyi sound sistem menyelamatkanku dari kerumunan pada lelaki modus. "Lia, lo gak papa, kan?" "Gak papa, kok, Mel. Hampir aja tadi, hehehe, maaf yah kalau ngerepotin." "Ish, malah gue yang ngerepotin," ucapnya tak enak. Iya juga sih, tapi biarlah lagipula Meli peka kok. Jika ditanya soal beruntung memiliki teman sebangku yang populer, aku nggak ngerasa seperti itu, karena, kepopuleran Meli membuatku tidak tenang, walau kadang-kadang. "Mel, aku boleh minta tolong? Tapi, maaf banget kalau kata-kataku gak enak." "Boleh," izinnya. "Kalau laki-laki ngumpul di sini, kamu kan sudah tau kalau aku langsung keringetan, pas-" "Iyah, gue bakalan cari tempat lain, tenang aja," sambarnya, dan aku bersyukur akan kebijaksanaannya, eak. Guru pun masuk dan pembelajaran dimulai, selama proses belajar tak ada yang kuserap ilmu sama sekali, aku mengantuk dan lapar karena tidak sarapan tadi pagi. Kalian sudah tahu kan apa penyebabnya? Kalau belum, mari kujelaskan. Semuanya karena tetangga tengil yang pagi sekali berklakson, di situ aku sudah pakai seragam, tetapi belum sarapan (emot nangis). Mau bagaimana lagi? Si dianya maksa, dan aku juga lupa ngambil makanan yang ditaruh sama ibu di atas meja. "Lia, kenapa melamun?" "Maaf, Pak. Lia lagi lapar," jawabku. "Ck, ck, ck. Ini yang membuat kamu suka pingsan. Meli, tolong beliin dia makanan yah, kalau dia gak punya duit, pakai duit Bapak saja." Eh, aku menahan Pak Guru, enak aja gak punya duit. Aku langsung memberi uang 10.000 rupiah ke Meli dengan wajah yang sungkan karena merepotkan dia lagi. Ya Tuhan, gini amat yah hidupku. Ngerepotin orang mulu. Batinku. Waktu pun berlalu hingga dua mapel telah selesai. Sekarang, waktunya istirahat dan makan. "Makasih yah, Mel. Udah ngebeliin, maaf aku ngerepotin banget," tulusku dengan wajah yang bersalah sekali. "Hm, gak papa kok. Aku ke kantin dulu yah, selamat makan, Lia." Meli melirik makananku dan aku mengangguk sembari cengengesan juga. Baru mau makan, gak jadi lagi karena rombongan para lelaki Meli datang ke tempatku dan menanyakan keberadaannya. "Di kantin." "Jutek amat, lo. Beda kek Meli yang cantik dan ramah." "Jutek karena belum kenal, jangan nilai dari luarnya doang, dong." "Owalah, oke. Mari kita berkenalan, gue Jambrut." "Lia." Dia mengulurkan tangan dan aku tidak membalasnya. Maaf, yah. Bukan muhrim, ha ha ha. Dia berdecak dan memajukan wajahnya, auto refleks aku, untung gak terjadi sentuhan antar dua benda kenyal, kalau kesentuh, berabe! "Haish, buang-buang waktu lo! Gue mau ngejer Meli, bye kutu!" Kutu? ... aku menyerna beberapa menit dan tetap tidak mengerti kenapa aku dipanggil kutu, biarlah, aku mau makan karena sudah lapar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD