“Wah, kebetulan … kau ingin jadi pahlawan kesiangan rupanya?”
Sempat terkejut dan panik di awal, tapi begitu tahu siapa yang datang Arkana justru tanpa ragu merendahkannya. Sementara itu, Abimanyu yang memang baru saja datang lantaran ketinggalan helm jelas tertantang dengan untuk menanggapi hama ini.
“Ah iya, tapi sepertinya belum terlambat … pacarku belum kau apa-apakan, ‘kan?” tanya Abimanyu kemudian beralih menatap ke arah Maura yang tampak gugup di hadapannya. “Atau sudah, Sayang?”
Deg
Bersamaan dengan jiwa Arkana yang hampir hangus karena terbakar, d**a Maura berdebar tak karu-karuan pasca Abimanyu menyebutnya sayang. Meski tahu bahwa yang kini dia lakukan adalah sebagian dari pekerjaan, tetap saja Maura gugup bahkan khawatir nanti kejang.
“Katakan, apa yang laki-laki sampah ini lakukan padamu?”
Maura bingung untuk menjawab, hendak mengadu jika direndahkan serendah-rendahnya nanti khawatir jadi petaka. Karena itu, dia memilih menggelengkan kepala karena merasa urusan ini bukan tugas Abimanyu lagi.
“Yakin tidak ada?”
“Hem, yakin, kami hanya bicara tentang proses perceraian, itu saja.”
“Oh, sudah selesai bicaranya?”
“Sudah,” jawab Maura tanpa peduli dengan tatapan tak suka yang Arkana layangkan kepadanya.
“Kalau begitu pergilah, pacarku mau istirahat … jangan mengganggunya,” titah Abimanyu sembari menggerak-gerakan tangan, persis mengusir ayam.
“Punya hak apa kau mengusirku?”
“Kau sendiri, ada hak apa malam-malam mendatangi pacarku? Istrimu kemana memangnya? Apa tidak curiga suaminya main gila?”
“Tutup mulutmu!! Aku tegaskan padamu … hingga detik ini, Hakim belum memutuskan perceraian kami dan itu artinya, secara negara Maura masih istriku.”
“Betul, tapi kau jangan lupa, meski secara negara dia masih istrimu, tapi pada kenyataannya dia adalah milikku!!” tegas Abimanyu tidak mau kalah dan lagi-lagi sukses membuat Arkana naik darah.
Pria dengan mata panda sebesar centong nasi itu mengusap kasar wajahnya dan bersiap untuk menyerang Abimanyu secara personal, tentu saja sasarannya adalah harta.
“Memang benar kata pepatah, ternyata memang percuma beradu pendapat dengan kaum menengah ke bawah.”
“Eits, kenapa malah nyerang status sosial?” Kening pria itu berkerut seketika sebelum kemudian tertawa hambar.
“Memang faktanya begitu, orang miskin sepertimu tidak akan mampu menangkap maksudku.”
Miskin katanya, Abimanyu seketika menggaruk kepalanya yang tak gatal sebagai tanggapan. Ingin dia tanggapi, tapi tidak mungkin juga karena ada Maura di sini.
“Dan kamu Maura!! Pasti laki-laki miskin ini yang telah membuatmu jadi keras kepala, iya, ‘kan?”
“Jaga mulutmu, Mas Arka … aku tahu sekarang kamu sedang di atas, tapi bukan berarti berhak memandang rendah orang-orang di sekelilingku.”
“Cih, benar-benar tidak tahu diuntung!! Baguslah, kalian memang cocok … meranalah dalam kemiskinan, lihat seberapa kuat kamu bertahan,” pungkas Arkana sebelum kemudian berlalu dan sengaja menunjukkan kegagahan mobil baru yang dia beli beberapa minggu lalu.
Hal itu tidak lepas dari pandangan Abimanyu yang hanya tertawa dalam hatinya. Tanpa bermaksud merendahkan, tapi mobil semacam itu adalah hadiah yang Abimanyu berikan untuk tiga penjaga rumahnya secara cuma-cuma.
Kembali fokus kepada Maura, Abimanyu ingin memastikan sekali lagi bahwa memang belum terjadi apa-apa.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Abimanyu memecah keheningan.
Maura yang sedari tadi gugup tentu saja semakin gugup setelah ditanya. “Ehm, a-aku baik-baik saja.”
“Benar dia belum menyakitimu?”
“Hampir, tapi tidak sempat … keburu kamu datang.”
“Berarti bukan pahlawan kesiangan, ‘kan?” tanya Abimanyu dengan senyum tipis di wajahnya yang kemudian Maura tanggapi dengan gelengan pelan.
“Bukan,” jawabnya kemudian.
Kembali hening seperti sebelumnya, Maura mengusap-ngusap lengan sebagai cara untuk mengurangi kegugupannya.
“Masuklah, aku hanya ingin ambil helm saja.”
“Oh iya, lupa … i-ini,” ucapnya gugup setengah mati dan memungut helm yang tadi sempat terpental akibat terkejut dengan kehadiran Arkana.
Khawatir sekali ada kerusakan di sana, Maura sampai membersihkan noda debu di helm itu lebih dulu.
“Maaf, tadi tidak sengaja jatuh.”
“Tidak masalah, memang sudah seharusnya di ganti kalau dilihat-lihat,” balas Abimanyu demi membuat Maura tidak merasa bersalah.
Hal itu berhasil, ucapan Abimanyu membuatnya sedikit lebih tenang hingga menghela napas lega. Berkat candaan itu pula, Maura tidak begitu gugup lagi hingga bisa berinteraksi dengan sedikit leluasa.
“Ehm, maaf aku tidak bisa mengajakmu mampir.”
“Santai, aku mengerti aturan kost perempuan,” balasnya mengada-ada, padahal menginjakkan kaki ke kost wanita saja tidak pernah.
“Aku masuk dulu, terima kasih sekali lagi.”
Abimanyu mengangguk pelan, sudah di ujung perpisahan dia masih berpikir harus bicara apalagi. “Oh iya, kalau ada apa-apa telepon saja … kamu sudah simpan nomorku, ‘kan?”
“Iya, su-sudah, lain waktu aku hubungi,” jawab Maura yang juga berbohong sebenarnya.
Dirasa tidak lagi ada pembicaraan, Maura masuk lebih dulu meninggalkan Abimanyu yang masih berdiri di depan pintu.
Setelah lima belas menit dirinya menunggu tanpa tahu apa yang ditunggu, Abimanyu baru tergerak angkat kaki dari tempat itu. Sengaja berjalan mundur dengan harapan pintu itu akan terbuka dan dia bisa pamit untuk terakhir kalinya, tapi hingga dia perlahan melajukan motor butut pinjamannya, tetap tidak ada tanda-tanda Maura akan keluar sebagaimana inginnya.
“Apa yang kutunggu sebenarnya? Kan dia sudah bilang laki-laki tidak bisa diajak masuk,” gumam Abimanyu merutuki kebodohannya.
.
.
- To Be Continued -