BAB 07 - Makan Malam?

1104 Words
Pertanyaan Abimanyu sukses membuat jantungnya berdegup tak karu-karuan, meski sebenarnya terkesan lumrah dan memang banyak diterima oleh para janda muda, tetap saja Maura belum terbiasa menghadapi godaan serupa. Tak ayal, dia butuh waktu beberapa saat sebelum menjawab. “Ehem, maju apa ya maksudnya?” tanya Maura pura-pura lugu meski jelas-jelas dia tahu. “Ah? Ini … aku bicara sama seseorang di depan, kami sedang antri tapi sepertinya dia mengalami kendala jadi aku saja yang lebih dulu kalau bisa,” jelas pria itu seketika membuat tubuh Maura lemas seketika. Bukan main malunya, wajah Maura sampai memerah karena salah mengartikan pertanyaan Abimanyu. Demi apapun, dia begitu yakin bahwa pertanyaan yang tadi Abimanyu lontarkan memang tertuju padanya, tidak pernah terbesit di dalam benaknya bahwa pria itu mengantri atau semacamnya. Khawatir Abimanyu menyadari hal itu dan membuatnya semakin malu, Maura bermaksud untuk mengakhiri pembicaraan, tentu saja dengan bahasa yang baik dan sopan. “Sayang sekali percakapan kita harus berakhir, apa aku perlu membawakan cokelat untukmu? Selagi aku sedang di minimarket sekarang,” ucap Abimanyu memberikan penawaran, tapi jelas mendapat penolakan. “Tidak perlu, terima kasih atas waktu dan tawarannya.” Tanpa menunggu tanggapan dari lawan bicaranya, Maura memutuskan sambungan telepon tersebut secara sepihak karena tidak kuasa menahan malu lebih lama. Meski memang tidak ada yang mengejek, bahkan mungkin Abimanyu mungkin tidak sadar dengan yang terjadi, tetap saja Maura malu setengah mati. Bahkan hingga beberapa menit panggilan berakhir, dia masih terus merutuki kebodohannya sembari menepuk kening berkali-kali. “Bodohnya, Maura … bisa-bisanya mikir ke sana.” Baru juga merasa tenang pasca perceraiannya diputus, Maura kembali dibuat uring-uringan akibat ulah yang dia ciptakan. Di tengah kebingungannya lantaran membayangkan dengan bersikap bagaimana andai suatu saat secara tidak sengaja bertemu Abimanyu, dering ponsel Maura kembali terdengar. Dia yang masih gugup dan malu, tentu tidak bersedia kembali menerima panggilan dari Abimanyu. Setelah empat kali berdering, Maura kesal juga hingga menerima panggilan tersebut pada akhirnya. “Ck, apa lagi?!” Suara Maura seketika meninggi karena masih terbawa emosi, dadanya sampai naik turun. “Maura ada apa denganmu?” Suara yang kali ini terdengar berbeda, walau sama-sama berkharisma. “Heih?” Maura sontak menjauhkan ponselnya demi memastikan siapa yang menghubunginya saat ini. Betapa terkejutnya Maura tatkala sadar bahwa yang menghubunginya bukanlah pria nokturnal itu, melainkan Erlangga yang tidak lain adalah bosnya. Dalam waktu sekejap wajah Maura mendadak pucat, tamat sudah riwayatnya, seketika itu Maura sadar bahwa karirnya mungkin tidak akan lama, syukur-syukur jika masih dikembalikan di posisi awalnya. “Maura? Kamu dengar saya?” “Iya, Pak, sa-saya dengar kok,” sahut Maura dengan sisa-sisa keberanian yang masih ada, khawatir bosnya marah besar tentu saja. Sementara di sisi sana, Erlangga terdengar cukup tenang. Tidak ada kemarahan meski respon Maura terkesan tidak sopan. "Saya dengar-dengar, kamu baru saja menyelesaikan urusan pribadimu ... apa benar begitu?" Pertanyaan itu masuk ranah pribadi, sebenarnya Pak Erlangga bukan tipe yang ingin tahu dapur orang lain, apalagi bawahannya. Namun, Maura merasa hal itu seolah tidak berlaku dengannya. Sejak satu bulan terakhir, Pak Erlangga kerap banyak tanya dan memantau perkara rumah tangganya. Bahkan, pria itu bertanya tentang kronologi dari awal sampai terjadi perceraian yang membuat Maura sempat berpikir buruk tentang atasannya. Baru setelah itu, Maura merasa diperhatikan dan diistimewakan. Dia yang awalnya dari staff biasa, tanpa diduga justru diminta menjadi asisten pribadi Pak Erlangga. Kebaikan pria itu sempat dianggap ada maksud lain, mengingat dia adalah seorang calon janda yang masih terbilang muda. Ya, Maura pun mengakui hal itu karena yang mengatakan hal semacam itu tidak hanya satu atau dua, tapi banyak. Akan tetapi, begitu dia ceritakan pada Fania, semua dugaannya dipatahkan begitu saja. Dengan sangat bijaksana, wanita sss itu mengatakan bahwa semua yang Maura terima adalah rezeki semata, dengan kata lain buah dari penderitaannya di masa lalu. Sayangnya, firasat Maura tetap buruk hingga akhir. Terlebih lagi, baru beberapa waktu pasca perceraiannya diputuskan, Pak Erlangga lagi dan lagi menghubunginya secara pribadi. "Maura??" Maura terperanjat, terlalu banyak dia melamun sampai tak sadar bahwa Pak Erlangga sudah terlalu lama menunggu jawabannya. "Bagaimana? Apa semuanya lancar?" Kembali Pak Erlangga memastikan, dan kali ini Maura tidak ingin mengabaikannya. "Iya, Pak, semua sudah selesai ... maaf tadi tidak langsung mengabari Anda." Maura memejamkan mata, dia lupa bahwa tadi pagi Pak Erlangga memang sempat berpesan untuk memberikan kabar padanya. "Tidak masalah, saya hanya ingin mengucapkan selamat ... kamu telah mengambil langkah yang tepat, meski perceraian bukan hal mudah, tapi saya yakin kamu mampu melewatinya." . . Lama terdiam, Maura yang agaknya lagi dan lagi kepedean bingung hendak bersikap bagaimana. Sesekali dia mengatupkan bibir, sembari menunggu Pak Erlangga mengakhiri panggilan itu segera. "Oh iya, nanti malam apa kamu punya waktu? Saya ingin mengajakmu makan malam." Apa lagi? Mau apa lagi? Maura bertanya dalam diamnya. Kecurigaan bahwa benar ada udang di balik bakwan makin menjadi, Maura yakin Pak Erlangga akan mengejarnya setelah ini. Ya, agak berlebihan memang, tapi semua yang terjadi sebelum ini sangat wajar untuk menjadi alasan kenapa Maura sampai berpikir demikian. Ingin rasanya dia menolak, maklum saja, saat ini Maura masih trauma dan enggan membuka hati pasca pengkhianatan sang suami. Akan tetapi, mengingat dia memang butuh Pak Erlangga dalam menunjang karirnya yang baru debut sebagai janda, mau tidak mau Maura mengiyakan ajakan bosnya. "A-ada, Pak, ada kok." "Syukurlah, berarti bisa, 'kan?" "Iya, Pak, saya bisa." Maura menghela napas kasar, pertanyaan berulang dari bosnya kali ini terdengar begitu menyebalkan. "Kalau begitu ... nanti malam kita akan malam di restoran Mikayo, jam tujuh. Sebenarnya ini makan malam non-formal, tapi tetap saja pastikan kamu jangan terlambat, mengerti?" Makan malam katanya, tapi Maura merasa akan lebih tertekan dari sekadar pekerjaan biasa, entah kenapa. "Baik, Pak." "Satu lagi, dandan yang rapi, karena selain saya akan ada teman dekat saya di sana" "Hah? Jadi bertiga?" tanya Maura dengan mata yang membulat sempurna. "Tentu saja, memang kamu pikir kita hanya berdua?" Tepat sasaran, Pak Erlangga melontarkan pertanyaan yang sukses membuat wajah Maura memerah. Definisi malu semalu-malunya, karena sebelumnya sudah berpikir macam-macam tentang Pak Erlangga. Nyatanya, kemungkinan besar dia hanya jadi tukang foto. Terlebih lagi jika teman dekat yang dimaksud adalah seorang wanita, paling-paling jadi obat nyamuk. Setelah sebelumnya Abimanyu, kali ini Pak Erlangga turut membuatnya terlalu besar kepala di awal. Maura seolah tertampar hingga tidak berani berspekulasi aneh lagi setelah ini. "Baiklah, Pak Erlangga, saya akan datang." "Bagus, sekali lagi saya tekankan, pastikan tepat waktu ... dia paling tidak suka dengan orang-orang yang tidak disiplin, mengerti?" "Iya, Pak, saya mengerti." Maura menjawab dengan begitu sopan, tapi setelah sambungan telepon terputus Maura seketika memukul angin. "Menyebalkan sekali, siapa sih yang diajak makan malam? Keturunan raja Nambrud kah? Cucu malaikat kah? Atau siapa sampai makan malam non-formal saja tidak boleh terlambat?" . . - To Be Continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD