“Kok eh? Kan bener dia yang berjasa.”
“Ja-jasa? Jasa gimana?” tanya Maura berlagak lupa, amnesia dan mendadak gugup tatkala Fania menyebut nama Abimanyu.
Tentu saja gugupnya amat kentara hingga menarik perhatian Fania yang berdiri di sebelahnya. “Mulai … pura-pura lupa, padahal belum lama loh kamu bahas tentang di_”
“Shuut!! Fania diam!!” Maura sontak membungkam mulut ember Fania dengan telapak tangan. “Sudah kubilang jangan pernah bahas pria itu.”
“Oh okay, aku diam sekarang.” Fania mengangkat kedua tangannya sebagai pertanda menyerahkan diri lantaran khawatir akan Maura hajar setelah ini.
Usai memastikan Fania benar-benar diam, Maura bergegas mengajaknya pulang. Sesuai kesepakatan dan atas izin atasan, mereka berdua bisa beristirahat dengan tenang tanpa perlu memikirkan pekerjaan.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Fania yang juga merindukan tidur siang mengikuti saran Maura untuk pulang segera. Tempat tinggal mereka memang berlawanan arah, tapi Fania begitu setia dan suka rela mengantarkan Maura.
Beberapa menit menyusuri perjalanan, mereka tiba di kost Maura tanpa hambatan. “Dah, turun gih,” ucap Fania seketika membuyarkan lamunan Maura.
“Wah? Kita sudah sampai?”
“Iya lah, mana mungkin aku berhenti di tengah jalan,” sahut Fania sembari menggeleng pelan, hingga sidang perceraiannya tuntas, Maura masih saja melamun entah apalagi yang kali ini menjadi penyebabnya.
“Siapa tahu, Fan.” Maura mengulas senyum tipis sebagai tanggapan atas sikap Fania.
Tanpa perlu dijelaskan, dia tahu betul bahwa sahabatnya itu sebal. Sudah tentu karena sepanjang perjalanan dia mengabaikan berbagai pertanyaan dari Fania yang Maura anggap tidak begitu penting sebenarnya, contoh kecil pertanyaan tentang rencana kedepan, kapan siap membuka hati dan lain-lain.
Maura yang tidak ingin membuat suasana hati Fania makin memburuk bergegas turun dan sempat memintanya masuk lebih dulu. Akan tetapi, berhubung pemilik kost-nya rada galak, Fania enggan dan segera menggeleng cepat.
“Serius, Fan? Minimal minum dulu gitu.”
“Tidak usah, aku mau buru-buru … ngantuk soalnya,” aku Fania disertai bukti dengan menguap selebar goa hingga Maura geram dibuatnya.
“Ck, tutup mulutmu apa susahnya?”
“Halah, nguap di depan kamu ngapain harus ditutup segala? Kalau depan Pak Erlangga baru harus begitu,” timpal Fania sama sekali tidak mau kalah.
“Terserah deh, sudah sana pulang.”
“Iya, ini juga baru mau pulang.” Sembari merapikan kembali rambut dan mengenakan kacamatanya, Fania bersiap meninggalkan Maura.
Tak sedikit pun Maura melayangkan protes, karena memang begitu tingkah sahabatnya sedari dulu. “Btw thanks sekali lagi, kamu berjasa banget selama ini.”
“Shuut, sudah aku bilang santai … sama aku tidak perlu mengucapkan terima kasih, orang aku cuma nganterin. Yang benar-benar berjasa itu si Abi, Ra.” Kembali Fania membahas pria itu, padahal tadi Maura sudah tegaskan jangan pernah membahas pria itu lagi. “Menurutku sih begitu,” tambahnya lagi.
Maura sebenarnya tidak ingin membahas hal ini, tapi berhubung Fania tak berhenti mau tidak mau harus menanggapi. “Fan, aku sudah bilang jangan bahas_”
“Loh kenapa? Kamu lupa berkat dia Arkana benar-benar menyerah, ‘kan setelah kamu datang ke pesta pernikahan itu bersamanya?” tanya Fania begitu tepat sasaran hingga Maura tidak punya alasan untuk mengelak.
“Coba deh inget-inget lagi, sebelum kamu kenalin dia ke orang-orang, Arkana masih berusaha memperbaiki pernikahan kalian bukan?” Yang tadi belum ditanggapi, Fania kembali berusaha menyadarkan Maura dengan kalimat yang dirasa cukup mengena di hati Maura.
Cara itu berhasil, Maura mengangguk pelan sebagai tanda bahwa sendirinya juga membenarkan. Memang benar adanya pasca menghadirkan sosok Abimanyu di antara mereka, Arkana yang biasanya mencari 1001 cara untuk kembali bersatu pada akhirnya berhenti hingga proses perceraian tersebut bisa berakhir hari ini. Sejenak berpikir, Maura mulai mempertimbangkan ucapan Fania untuk menyampaikan ucapan terima kasih.
“Iya deh, nanti malam aku telepon.”
“Kenapa harus malam? Apa tidak khawatir justru mengganggu pekerjannya?” tanya Maura menatap bingung Maura yang kini menepuk keningnya.
“Aku lupa, jadi ada baiknya siang saja ya?”
“Menurutku gitu sih, karena kita tahu sendiri waktu adalah uang … kalau kamu telepon dia pas lagi ada tamu gimana? Bisa jadi dia tidak dibayar full loh, Ra,” ungkap Maura berlagak paling tahu lingkungan semacam itu.
Maura yang percaya iya-iya saja hingga memutuskan untuk menghubungi Abimanyu saat ini juga. Beberapa kali dia coba, tapi tidak membuahkan hasil hingga Maura menyerah.
“Gimana?”
“Tidak diangkat, sibuk kali,” ucap Maura kembali memasukkan ponselnya.
“Masa sih?” tanya Fania tak percaya sembari menatap Maura tak percaya.
Hanya demi memastikan Maura berterima kasih kepada pahlawannya itu, Fania sampai mengurungkan niat untuk pulang segera.
“Iya, mana mungkin aku bohong.”
“Coba lihat,” pinta Maura seakan tidak percaya kepada pengakuan sahabatnya.
Dengan senang hati Maura memperlihatkan riwayat panggilan di ponselnya dan memang benar terpampang jelas tidak dijawab.
“Heum kira-kira dia lagi apa ya sampai tidak bisa angkat telepon pelanggannya?”
“Kurang tahu, tidur kali.”
“Oh iya benar, dia kan pria nokturnal … aktifnya di malam hari, baru ngeuh,” ucap Fania kemudian mengangguk pelan.
Setelah menarik kesimpulan, barulah Fania berlalu pergi dan meninggalkan Maura sendiri.
.
.
Baru juga hendak membuka pintu, ponsel Maura kini bordering dan dia dibuat terkejut manakala menyadari siapa penelponnya.
“Bukannya tadi?” Tidak punya waktu untuk berpikir dan menerka-nerka, Maura segera menerima panggilan tersebut detik itu juga.
“Hallo ….” Maura menyapa, suaranya agak tidak bisa diajak bekerja sama dan bergetar seketika, maklum, grogi ceritanya.
“Hai, sorry tadi tidak bisa langsung angkat teleponnya, ada urusan sedikit.” Tanpa diminta, pria di balik telepon itu memberikan alasan kenapa dirinya sempat mengabaikan panggilan Maura.
Maura yang kebetulan tidak begitu butuh akan alasan pria itu hanya menanggapi seadanya saja. “Oh iya, tidak masalah.”
“Ada apa?”
“Heuh?” Maura mendadak linglung, satu bulan tak pernah bertukar kabar membuat Maura merasa canggung.
Terbukti dengan dirinya yang kini mendadak bingung hendak mengatakan apa, padahal tadi jelas-jelas dia berencana untuk mengucapkan terima kasih kepada pria itu.
“Hallo, Maura?”
“Iya, Hallo,” timpal Maura dengan perasaan yang kian panas dingin, tak dia duga bahwa ternyata akan berakhir segugup ini.
Dan, lebih tidak dia duga lagi Abimanyu dapat menyimpulkan apa yang dia rasakan saat ini. “Santai saja, kamu tidak perlu gugup begitu … boleh gugup kalau terjadi sesuatu padamu akibat kesalahanku malam itu,” ucap Abimanyu dengan begitu santainya hingga Maura menanggapinya detik itu juga.
“Bukan itu!! Aku baik-baik saja, maksudku menelponmu hanya untuk mengucapkan terima kasih, itu saja,” ucap Maura buru-buru menyelesaikan ucapannya, untung saja masih terdengar jelas di telinga Abimanyu.
“Terima kasih?”
“Hem iya, kasus perceraianku sudah diputuskan … berkatmu, mantan suamiku tidak lagi mempersulit keadaan seperti sebelumnya,” jelasnya dan kali ini sudah agak sedikit santai.
“Oh iya?”
Maura mengangguk, padahal jelas-jelas yang bicara dengannya tidak akan melihat hal itu. “Iya, baru saja aku pulang dari Pengadilan.”
“Ehm, berarti aku boleh maju sekarang?”
Deg
.
.
- To Be Continued –