Chapter 14

1453 Words
Aruna kini harus pasrah dan berdamai dengan keadaan. Karena tidak ada yang bisa mwnolongnya dan mengeluarkannya dari kekangan Mafia bernama Rafael. "Mungkin aku harus berpura-pura menurut pada laki-laki kejam itu,"bisik Aruna. ****** Di ruang tamu yang luas, cahaya lampu kristal menyorot wajah Rafael yang dingin dan tegas, berdiri dengan tangan disilangkan di depan d**a. Mariana menatapnya dengan mata memohon, dan Aruna duduk di sofa, menunduk, masih terguncang oleh peristiwa malam sebelumnya. “Aku bersedia mengembalikan Aruna, Rafael,” ucap Mariana lembut, suara bergetar. “Asal kau berjanji dia aman, dan aku ingin dia kembali ke rumah kami.” Rafael menatap Mariana dalam-dalam, ekspresinya tak berubah, namun ada ketegangan yang samar di matanya. “Aku bisa melakukannya… tapi bukan sekarang,” jawabnya dingin. “Aruna… tetap di sini karena aku yang memutuskan. Dan sampai aku mengatakan sebaliknya, dia tidak akan kemana-mana.” Mariana menghela napas panjang, menahan air mata. “Tapi… dia putriku. Dia berhak hidup normal!” Rafael melangkah perlahan mendekati Aruna, suaranya rendah dan menekan, namun bukan marah, melainkan dominan: “Aruna… aku bisa mengembalikanmu kapan pun aku mau. Tapi saat ini… aku tidak mau melepaskanmu. Kau tetap di sini, bukan karena aku ingin menyakitimu… tapi karena kau perlu dilindungi. Kau… berarti lebih dari sekadar permainan bagiku.” Aruna menatapnya dengan mata terbelalak. Jantungnya berdebar cepat, takut dan bingung bercampur. "Melindungi…?” gumamnya pelan, tidak yakin apakah harus marah atau merasa lega. Rafael mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya tajam, namun matanya tetap lembut. “Ya, melindungi. Dunia ini kejam, Aruna. Aku bisa membuatmu aman, tapi itu hanya bisa kulakukan di sini, di sampingku. Jika kau pergi sekarang… kau akan menghadapi bahaya yang bahkan aku tak bisa jamin kau selamat darinya.” Mariana terdiam, menyadari bahwa meski hati seorang ibu ingin memulangkan anaknya, ia tak bisa memaksa Rafael yang sangat berkuasa itu. Aruna menarik napas panjang, tubuhnya masih gemetar, namun sedikit keberanian muncul. Ia menatap Rafael, mencoba membaca niatnya yang misterius. “Kalau begitu… aku akan tetap di sini… tapi jangan menganggap aku lemah,” bisiknya pelan, hampir seperti tantangan. Rafael tersenyum tipis, ada rasa puas di wajahnya, namun d******i dan kewaspadaan seorang mafia tetap melekat. “Aku tidak pernah menganggapmu lemah, Aruna. Tapi kau akan belajar… bahwa dunia ini tidak ramah pada orang yang tidak kuat. Dan aku akan memastikan kau kuat, di sisiku.” Lampu kristal di atas mereka berkilau lembut, menciptakan bayangan panjang di lantai. Malam itu, meski ketegangan masih terasa, ada benih pengertian dan rasa saling menjaga yang mulai tumbuh di antara mereka. ****** Malam itu, mansion terasa lebih sunyi. Lampu-lampu lembut menyala, menyoroti koridor panjang dan ruang tamu yang kini kosong setelah Mariana kembali ke kamar tamu. Aruna duduk di sofa, menatap jendela yang memantulkan cahaya lampu jalan di luar. Napasnya masih agak tersengal, tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya — keberanian kecil yang mulai muncul. Rafael masuk dari pintu samping, langkahnya pelan. Ia duduk di kursi dekat Aruna, menatap gadis itu dengan tatapan yang biasanya dingin, tapi malam ini ada lembut yang samar. "Aruna…” suaranya rendah, hampir terdengar seperti bisikan. “Kau baik-baik saja?” Aruna menoleh, menatap mata tajam Rafael. Tanpa ragu, ia menggeleng dan berkata dengan suara pelan tapi tegas: “Aku tidak mau lagi bersembunyi di sini… aku ingin tahu apa yang terjadi di dunia ini, bahkan jika aku takut.” Rafael menatapnya lama, tercengang sesaat. Biasanya gadis-gadis akan menunduk, takut pada kekuasaannya, tapi Aruna… dia menatap balik dengan mata yang penuh tekad meski masih sedikit cemas. “Tekadmu… menarik,” gumam Rafael, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia mencondongkan tubuh ke arah Aruna, menepuk lembut tangannya. “Aku bisa mengajarkanmu. Bukan hanya cara bertahan… tapi juga cara menjadi kuat. Di sisiku, kau akan aman. Dan aku… akan memastikan kau tahu dunia ini tidak sekejam yang kau kira.” Aruna menelan ludah, sedikit gugup, tapi ada rasa lega di hatinya. “Kalau begitu… aku akan belajar. Tapi jangan terlalu mengatur aku,” jawabnya, setengah menantang. Rafael tersenyum, kali ini senyum yang lebih hangat. “Aku tidak akan mengaturmu. Aku akan melindungimu, tapi kau yang memutuskan seberapa jauh kau mau berjalan bersamaku.” Malam itu, di dalam mansion Black Rose yang luas dan sunyi, dua jiwa yang bertolak belakang, satu keras, dingin, dan berkuasa; satu lembut, takut, tapi berani mencoba, mulai saling mengenal satu sama lain. Rafael, untuk pertama kalinya, merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar permainan dalam dirinya. Dan Aruna, meski takut, perlahan mulai percaya bahwa di sisi pria itu, ia bisa merasa aman, bahkan mulai menaruh hati padanya tanpa ia sadari. Beberapa malam kemudian, Aruna duduk di tepi balkon mansion, angin malam menyapu rambutnya. Matanya menatap langit gelap yang dipenuhi bintang, pikirannya masih campur aduk antara takut, benci, dan rasa penasaran terhadap Rafael. Rafael muncul dari dalam, membawa secangkir teh hangat. Tanpa kata, ia duduk di samping Aruna dan menyerahkan teh itu. Aruna menatapnya, sedikit canggung, tapi menerima dengan tangan gemetar. “Terima kasih…” bisiknya pelan. Rafael menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke langit malam. Suaranya rendah dan berat, berbeda dari nada dinginnya biasanya. “Aruna… kau pernah bertanya kenapa aku seperti ini, dingin, arogan… seolah tak punya hati?” Aruna menatapnya, mata membesar. Ia menggeleng, memberi Rafael ruang untuk berbicara. “Aku… aku punya masa lalu yang tidak pernah aku ceritakan pada siapa pun,” kata Rafael perlahan. “Kehidupan ini… keras sejak aku masih muda. Aku kehilangan orang yang kusayangi, dan itu membuatku belajar bahwa kelemahan berarti kematian. Aku menjadi seperti ini… untuk bertahan.” Aruna menggenggam secangkir teh itu lebih erat, perlahan mendekat. “Tapi… Rafael, itu bukan alasan untuk membuat orang lain takut pada Anda,” bisiknya lembut. Rafael tersenyum samar, mata tajamnya berubah hangat ketika menatap Aruna. “Aku tahu. Dan aku tidak ingin kau melihat sisi itu dari diriku. Tapi… sejak kau datang ke hidupku, sesuatu berubah. Kau… membuatku ingin menjadi lebih dari sekadar orang kuat yang dingin. Aku ingin kau aman, aku ingin kau bahagia… bahkan jika itu berarti aku harus membuka hatiku padamu.” Aruna menahan napas. Kata-kata Rafael terdengar jujur, berbeda dari sikap arogan dan dingin yang selalu ia tunjukkan. “Jadi… kau peduli padaku?” tanya Aruna pelan, suara hampir tak terdengar. Rafael mencondongkan tubuh, menatap matanya. "Lebih dari yang bisa kau bayangkan. Kau bukan sekadar gadis yang harus kubela… kau… penting untukku, Aruna.” Aruna menunduk, pipinya memerah, tapi ada senyum kecil yang muncul. “Aku… tidak tahu harus berkata apa.” Rafael tersenyum lebih hangat, menepuk lembut tangan Aruna. "Tidak perlu berkata apa-apa. Hanya… percayalah padaku. Aku tidak akan pernah menyakitimu.” Pagi itu, matahari menyinari mansion Black Rose, menerobos tirai besar di ruang tamu. Aruna berdiri di dapur bersama Dora, mencoba belajar menyiapkan sarapan sederhana, telur orak-arik, roti panggang, dan teh hangat. Awalnya, tangannya gemetar, takut salah, tapi Dora dengan sabar membimbingnya. “Tenang saja, Nak. Kau pasti bisa,” kata Dora lembut. Aruna menarik napas panjang, menatap bahan-bahan di hadapannya. “Aku… aku ingin belajar,” katanya pelan. “Aku tidak ingin hanya menjadi gadis yang pasif di sini. Aku ingin… merasa lebih kuat.” Tiba-tiba Rafael masuk ke dapur, matanya menyapu ruangan dengan ekspresi dingin khasnya. Tapi kali ini, ada sedikit senyum samar saat menatap Aruna yang sibuk mencoba menyiapkan sarapan. "Kau benar-benar berusaha,” katanya, nada suaranya lebih hangat daripada biasanya. Aruna menoleh, pipinya memerah. "Aku… aku ingin bisa mandiri,” jawabnya cepat. “Aku tidak ingin merepotkanmu atau orang lain.” Rafael melangkah mendekat, menatap Aruna dengan tatapan campur antara kagum dan penasaran. “Bagus. Itu yang kubutuhkan dari seseorang yang penting bagiku. Kau… mulai menunjukkan keberanian yang sebenarnya, Aruna.” Sepanjang hari itu, Aruna mencoba berbagai hal: merapikan kamar, membantu Dora di dapur, bahkan belajar mengatur ruang tamu yang luas agar lebih nyaman. Setiap kali Rafael lewat, ia menunduk sopan, tapi tak lagi terlihat takut seperti dulu. “Aku mulai mengerti… mansion ini memang besar, tapi aku bisa menyesuaikan diri,” pikir Aruna dalam hati. Malamnya, Rafael menunggui Aruna di perpustakaan mansion, duduk di kursi besar di samping meja kayu tua. “Kau sudah beradaptasi dengan baik hari ini,” ucap Rafael, menegaskan. “Tapi ingat… di sini, kau tetap harus berhati-hati. Dunia di luar mansion ini tidak seaman di sini.” Aruna mengangguk, menatapnya dengan mata bersinar. “Aku tahu… tapi aku juga mulai merasa aman bersamamu,” jawabnya pelan, sedikit tersenyum. Rafael mencondongkan tubuh sedikit, menepuk bahunya. “Itu awal yang bagus,” katanya lirih. “Teruskan. Dan percayalah… kau bisa menjadi lebih kuat dari yang kau kira.” Di sudut perpustakaan itu, Aruna merasa untuk pertama kalinya bahwa ia bukan lagi gadis yang hanya takut pada dunia. Ia mulai menemukan keberanian kecilnya, dan Rafael, meski masih dingin di luar, merasa bangga pada gadis yang perlahan membuka dirinya padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD