Chapter 13

1406 Words
Sore itu, kamar Aruna terasa hangat. Matahari menembus tirai tipis, memantul di lantai kayu yang mengkilap. Aruna masih berbaring di ranjang, tubuhnya lemah namun napasnya lebih stabil daripada pagi tadi. Dora, pelayan yang sangat dekat dengan Aruna, berdiri di dekat jendela sambil menatap gadis itu penuh perhatian. "Tuan Rafael… aku rasa Aruna… dia sangat merindukan ibunya,” ucap Dora pelan. “Dia selalu bicara tentang ibu, tentang makanan yang ibu buat… dia ingin sekali bertemu ibu dan merasakan hangatnya rumah lagi.” Rafael menatap Dora, wajahnya serius. Hatinya tersentuh, tapi ia tak menunjukkan terlalu banyak emosi. "Aku mengerti,” katanya dingin tapi tegas. “Siapkan mobil, bawalah Mariana ke sini. Dia akan menemui putrinya malam ini.” Dora tersenyum lega, segera berlari menyiapkan semuanya. Tak lama kemudian, mobil hitam mewah berhenti di depan mansion, dan Mariana, ibu Aruna, turun dengan langkah tergesa-gesa namun wajahnya penuh cemas. Saat pintu kamar terbuka, Aruna langsung menggeliat, matanya berkaca-kaca. “Ibu…” bisiknya lemah. Mariana berlari menghampiri, memeluk putrinya erat-erat. Aruna menempelkan wajahnya di bahu ibunya, air matanya jatuh tanpa terkendali. “Aku… aku takut, Bu… aku tidak tahu apa yang akan terjadi…” Mariana mengelus rambut Aruna, menenangkan. > “Shh… semuanya sudah aman, Nak. Ibu di sini sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi.” Rafael berdiri di sudut ruangan, menatap momen itu. Ia merasa sedikit canggung, tapi hatinya hangat melihat Aruna tersenyum kembali saat berada di pelukan ibunya. “Dia… terlihat lebih hidup sekarang,” gumam Rafael pelan pada diri sendiri. Aruna pun duduk perlahan di ranjang, kini ditemani ibunya. Dora membawa nampan berisi makanan hangat, masakan sederhana namun harum — aroma yang selalu dikenalnya sejak kecil. Aruna memakan sedikit demi sedikit, wajahnya tersenyum kecil. "Ibu....aku sangat kangen sama ibu, hiks hiks, Aruna mau pergi dari sini bu, tolong bu,"isak Aruna, sambil memeluka sang ibu. "Maafkan Ayah dan ibu nak, sudah membuat kamu jadi begini."Mariana tak kuasa menahan air matanya melihat kondisi putri nya. Yang kini dalam keadaan sakit, karena rindu dengan keluarganya. Dan beberapa bekas luka lebam akibat penculikan. "Aku harus bicara dengan Rafael, dan harus mengeluarkan Aruna dari sini."Batin Mariana. Di ruang tamu mansion, Mariana duduk di sofa panjang, wajahnya penuh kecemasan dan harap, sementara Rafael berdiri di depannya, tubuh tegap, mata tajam, dan aura dingin khas mafia terpancar dari setiap gerakannya. “Tuan Rafael… tolong…” Mariana berbicara dengan lembut, suaranya penuh permohonan. “Aruna hanyalah anak saya… biarkan dia kembali ke rumah. Biarkan dia hidup dengan tenang, jauh dari dunia yang berbahaya ini.” Rafael menatapnya tanpa berkedip, senyum tipis namun menusuk. “Maaf, Mariana. Dunia tenang seperti itu… bukan untuk Aruna. Dia ada di sini, di mansion ini, karena aku yang memutuskan. Dan keputusanku tidak bisa diganggu oleh siapa pun.” Mariana menelan ludah, berusaha menahan air matanya. “Tapi dia… dia hanya gadis kecil, putri saya. Dia tidak pantas terjebak di dunia orang-orang seperti Anda.” Rafael melangkah pelan, mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Suaranya dingin, hampir membeku: “Dunia ini keras. Aku tidak memintanya berada di sini. Tapi sekarang dia ada di sini. Dan percayalah… selama aku mengawasinya, tidak ada yang bisa menyakitinya. Tidak kau, tidak musuhku, tidak orang lain.” Mariana menunduk, napasnya tersengal. “Aku hanya ingin dia bahagia, tuan Rafael. Jangan buat dia takut pada Anda.” Rafael tersenyum sinis, lalu memutar tubuhnya menjauh. “Takut? Dia harus belajar, Bu. Bahwa di dunia ini, hanya yang kuat yang bertahan. Aku tidak akan memberinya pilihan seperti yang ibu minta. Jangan salah paham… aku bukan orang jahat. Aku hanya realistis.” Mariana menatapnya dengan tatapan kecewa dan sedih, namun tak berani membantah lebih jauh. Rafael berjalan meninggalkannya, aura dingin dan arogan masih menyelimuti setiap langkahnya. Di ruang itu, Aruna hanya duduk diam di sofa, menatap ibunya dan Rafael dengan mata berkaca-kaca. Hatinya terasa campur aduk: takut pada Rafael, marah pada dunia yang kejam, tapi juga perlahan… mulai penasaran dengan sisi misterius pria itu yang begitu kuat dan mengendalikan segalanya. “Aku tidak tahu… mengapa aku tetap berada di sini,” pikir Aruna dalam hati. “Tapi satu hal yang jelas… Rafael bukan orang biasa. Dia...punya kuasa bu, dan juga sangat kuat!" ******* Di ruang tamu yang luas, cahaya lampu kristal menyorot wajah Rafael yang dingin dan tegas, berdiri dengan tangan disilangkan di depan d**a. Mariana menatapnya dengan mata memohon, dan Aruna duduk di sofa, menunduk, masih terguncang oleh peristiwa malam sebelumnya. “Aku bersedia mengembalikan Aruna, Rafael,” ucap Mariana lembut, suara bergetar. “Asal kau berjanji dia aman, dan aku ingin dia kembali ke rumah kami.” Rafael menatap Mariana dalam-dalam, ekspresinya tak berubah, namun ada ketegangan yang samar di matanya. “Aku bisa melakukannya… tapi bukan sekarang,” jawabnya dingin. “Aruna… tetap di sini karena aku yang memutuskan. Dan sampai aku mengatakan sebaliknya, dia tidak akan kemana-mana.” Mariana menghela napas panjang, menahan air mata. “Tapi… dia putriku. Dia berhak hidup normal!” Rafael melangkah perlahan mendekati Aruna, suaranya rendah dan menekan, namun bukan marah, melainkan dominan: “Aruna… aku bisa mengembalikanmu kapan pun aku mau. Tapi saat ini… aku tidak mau melepaskanmu. Kau tetap di sini, bukan karena aku ingin menyakitimu… tapi karena kau perlu dilindungi. Kau… berarti lebih dari sekadar permainan bagiku.” Aruna menatapnya dengan mata terbelalak. Jantungnya berdebar cepat, takut dan bingung bercampur. “Melindungi…?” gumamnya pelan, tidak yakin apakah harus marah atau merasa lega. Rafael mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya tajam, namun matanya tetap lembut. “Ya, melindungi. Dunia ini kejam, Aruna. Aku bisa membuatmu aman, tapi itu hanya bisa kulakukan di sini, di sampingku. Jika kau pergi sekarang… kau akan menghadapi bahaya yang bahkan aku tak bisa jamin kau selamat darinya.” Mariana terdiam, menyadari bahwa meski hati seorang ibu ingin memulangkan anaknya, ia tak bisa memaksa Rafael yang sangat berkuasa itu. Aruna menarik napas panjang, tubuhnya masih gemetar, namun sedikit keberanian muncul. Ia menatap Rafael, mencoba membaca niatnya yang misterius. “Kalau begitu… aku akan tetap di sini… tapi jangan menganggap aku lemah,” bisiknya pelan, hampir seperti tantangan. Rafael tersenyum tipis, ada rasa puas di wajahnya, namun d******i dan kewaspadaan seorang mafia tetap melekat. "Aku tidak pernah menganggapmu lemah, Aruna. Tapi kau akan belajar… bahwa dunia ini tidak ramah pada orang yang tidak kuat. Dan aku akan memastikan kau kuat, di sisiku.” Lampu kristal di atas mereka berkilau lembut, menciptakan bayangan panjang di lantai. Malam itu, meski ketegangan masih terasa, ada benih pengertian dan rasa saling menjaga yang mulai tumbuh di antara mereka. Malam itu, mansion terasa lebih sunyi. Lampu-lampu lembut menyala, menyoroti koridor panjang dan ruang tamu yang kini kosong setelah Mariana kembali ke kamar tamu. Aruna duduk di sofa, menatap jendela yang memantulkan cahaya lampu jalan di luar. Napasnya masih agak tersengal, tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya — keberanian kecil yang mulai muncul. Rafael masuk dari pintu samping, langkahnya pelan. Ia duduk di kursi dekat Aruna, menatap gadis itu dengan tatapan yang biasanya dingin, tapi malam ini ada lembut yang samar. “Aruna…” suaranya rendah, hampir terdengar seperti bisikan. “Kau baik-baik saja?” Aruna menoleh, menatap mata tajam Rafael. Tanpa ragu, ia menggeleng dan berkata dengan suara pelan tapi tegas: “Aku tidak mau lagi bersembunyi di sini… aku ingin tahu apa yang terjadi di dunia ini, bahkan jika aku takut.” Rafael menatapnya lama, tercengang sesaat. Biasanya gadis-gadis akan menunduk, takut pada kekuasaannya, tapi Aruna… dia menatap balik dengan mata yang penuh tekad meski masih sedikit cemas. "Tekadmu… menarik,” gumam Rafael, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia mencondongkan tubuh ke arah Aruna, menepuk lembut tangannya. “Aku bisa mengajarkanmu. Bukan hanya cara bertahan… tapi juga cara menjadi kuat. Di sisiku, kau akan aman. Dan aku… akan memastikan kau tahu dunia ini tidak sekejam yang kau kira.” Aruna menelan ludah, sedikit gugup, tapi ada rasa lega di hatinya. “Kalau begitu… aku akan belajar. Tapi jangan terlalu mengatur aku,” jawabnya, setengah menantang. Rafael tersenyum, kali ini senyum yang lebih hangat. “Aku tidak akan mengaturmu. Aku akan melindungimu, tapi kau yang memutuskan seberapa jauh kau mau berjalan bersamaku.” Malam itu, di dalam mansion Black Rose yang luas dan sunyi, dua jiwa yang bertolak belakang satu keras, dingin, dan berkuasa; satu lembut, takut, tapi berani mencoba mulai saling memahami. Rafael, untuk pertama kalinya, merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar permainan dalam dirinya. Dan Aruna, meski takut, perlahan mulai percaya bahwa di sisi pria itu, ia bisa merasa aman, bahkan mulai menaruh hati padanya tanpa ia sadari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD