Chapter 12

1527 Words
Langit malam itu pekat tanpa bintang. Suara deru mesin kendaraan dan langkah kaki para pria bersenjata bergema di lembah sunyi pinggiran kota. Di tengah barisan itu, Rafael berdiri tegak, mengenakan mantel hitam panjang dan sarung tangan kulit, tatapannya tajam menembus kegelapan. Lorenzo berdiri di sampingnya, menatap peta di layar tablet. “Markas Marco dijaga ketat, Bos. Empat menara pengawas, dua puluh orang bersenjata di area utama.” Rafael mengangguk pelan. “Kita tidak datang untuk perang terbuka. Kita datang untuk mengambil seseorang.” Ia menatap anak buahnya satu per satu mata mereka mencerminkan rasa hormat sekaligus takut. Tak ada yang berani membantah perintah Rafael saat ia sudah memutuskan sesuatu. Sementara itu, di dalam mansion tua milik Marco, Aruna duduk di sudut ruangan dengan tangan terikat. Lampu redup membuat bayangan wajahnya tampak pucat. Ia belum tidur sejak sore, masih terisak pelan setiap kali mengingat wajah Rafael yang diam menyaksikannya dibawa pergi. Tiba-tiba terdengar suara ledakan kecil di luar gedung. Lampu di koridor bergetar, dan suara tembakan menggema dari arah pagar depan. Para penjaga berlari, berteriak, dan suasana mendadak kacau. Aruna menegakkan kepala, jantungnya berdegup keras. "Ada apa ini…?” bisiknya cemas. Beberapa menit kemudian, pintu besi kamarnya ditendang keras dari luar. Seorang pria berpakaian hitam masuk dengan tatapan tajam yang sangat ia kenal. Rafael. Debu beterbangan, suara tembakan masih terdengar dari kejauhan, tapi semua terasa hening bagi Aruna saat tatapan mereka bertemu. Ia tak percaya pria itu benar-benar berdiri di hadapannya. "Kau… datang?” suaranya lirih, nyaris patah. Rafael mendekat cepat, melepaskan ikatan di tangannya. “Aku tidak pernah meninggalkanmu, Aruna.” Kalimat itu sederhana, tapi menusuk dalam. Aruna menatap wajahnya yang keras tapi penuh kelelahan. Ada noda darah di pipinya, namun mata itu… mata yang dulu begitu dingin, kini penuh dengan sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya, ketulusan. Rafael menariknya bangun dan menggenggam tangan Aruna erat. “Kita pergi dari sini. Sekarang.” Tepat saat mereka melangkah ke luar, Marco muncul di ujung koridor dengan tawa keras. "Akhirnya kau datang sendiri, Rafael!” Puluhan anak buah Marco mulai mengepung. Rafael mendorong Aruna ke belakangnya, mengeluarkan pistol dari balik mantel. “Lorenzo! Bawa dia keluar!” Aruna menolak, “Tidak! Aku tidak mau kau terluka karena aku!” Rafael menoleh sebentar, menatapnya dalam. “Aku sudah terluka sejak pertama kali melihatmu menangis di tempat ini.” Setelah itu, suara peluru mulai bersahutan, kaca pecah, dan teriakan memenuhi udara. Rafael bertarung dengan ketenangan mematikan, setiap tembakan tepat sasaran. Sementara Lorenzo berhasil menarik Aruna menuju jalan keluar di sisi belakang mansion. Saat akhirnya mereka sampai di mobil hitam yang menunggu, Aruna menoleh ke belakang. Rafael masih berdiri di pintu, wajahnya terlindung bayangan api dari ledakan kecil di belakangnya. Ia menatap Aruna dari kejauhan pandangan yang tak membutuhkan kata apa pun. Aruna melihat nya dengan mata membulat "Dia....terluka?Biar saja, itu resiko yang harus dia ambil sebagai seorang ketua mafia,"bisik Aruna. --- Malam itu sunyi. Di kamar luas yang diterangi cahaya lampu lembut, Rafael terbaring di ranjangnya, satu sisi tubuhnya diperban. Luka di bahu kirinya masih terasa nyeri akibat peluru yang sempat menggores kulitnya saat baku tembak di mansion Marco. Ia membuka mata perlahan. Ruangan tampak sepi. Tak ada suara langkah halus, tak ada sosok yang duduk di kursi dekat jendela seperti beberapa malam terakhir. Aruna… tak ada. Rafael mendesah pelan, matanya menatap langit-langit. “Dia masih marah,” gumamnya lirih. Meski sudah selamat, Aruna tidak mau berbicara dengannya. Sejak mereka kembali ke mansion, gadis itu memilih tidur di kamar kecil di ujung lorong bawah. Ia hanya muncul untuk membantu pelayan lain, lalu menghilang lagi tanpa sepatah kata pun. Rafael menoleh ke arah meja di samping ranjangnya. Ada nampan berisi mangkuk sup yang sudah mulai dingin. Di sampingnya, sehelai sapu tangan bersih — dengan sulaman kecil berbentuk bunga di ujungnya. Ia mengenali sapu tangan itu. Aruna. Tatapan Rafael melembut sesaat, tapi ia segera mengalihkan pandangannya. Tangannya yang besar menggenggam ujung kain itu erat. “Kau membenciku, tapi masih sempat melakukan ini…” Pintu kamar berderit pelan. Aruna muncul — mengenakan pakaian sederhana, rambutnya dikuncir rendah, wajahnya tampak lelah tapi tetap cantik dengan kesederhanaannya. Begitu menyadari Rafael sudah bangun, langkahnya terhenti. "Aku hanya ingin memastikan luka Tuan sudah diganti perban,” ucapnya datar, tanpa menatap langsung. Rafael memperhatikan setiap gerakannya. Nada dingin itu menusuk lebih dalam dari luka peluru.“Aruna…” “Saya hanya melakukan tugas saya,” potongnya cepat. “Setelah ini, saya tidak akan masuk ke kamar Tuan lagi tanpa izin.” Rafael terdiam. Ada begitu banyak kata di tenggorokannya, permintaan maaf, penjelasan, alasan di balik sikap dinginnya waktu penculikan, tapi tak ada satu pun yang keluar. Ia tahu, Aruna takkan percaya begitu saja. Dan mungkin… ia memang pantas dibenci. Aruna mengganti perban di bahu Rafael dengan tangan gemetar, berusaha tetap profesional, meski setiap sentuhan membuat jantungnya berdetak cepat, antara takut dan benci yang bercampur. Begitu selesai, ia menunduk dan beranjak pergi. Namun sebelum keluar, Rafael bersuara pelan, hampir seperti bisikan: “Aku tidak benar-benar meninggalkanmu, Aruna. Aku hanya ingin kau selamat.” Langkah Aruna terhenti di ambang pintu. Ia menggenggam erat tepi rok bajunya, menahan gejolak di d**a, tapi tak berbalik. “Tapi aku tidak merasa selamat waktu itu…” jawabnya lirih, sebelum melangkah pergi meninggalkan Rafael sendiri, bersama luka di tubuh dan hatinya. Sudah dua hari Aruna mengurung diri di kamar kecil yang terletak di ujung lorong bawah mansion Rafael. Cahaya dari jendela kecil hanya menerangi sebagian ruangan. Di atas ranjang sederhana itu, tubuh Aruna tampak lemah. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia belum makan sejak kemarin. Setiap kali pelayan mengetuk pintu dan membawa makanan, Aruna hanya menjawab lirih, “Tinggalkan saja di luar..." Namun saat nampan itu diperiksa beberapa jam kemudian, makanan tetap utuh, dingin dan tak tersentuh. Rafael mengetahui hal itu dari salah satu pengawal. Ia menghentikan langkahnya di depan kamar Aruna, menatap pintu yang tertutup rapat dengan perasaan campur aduk. “Dia bahkan menolak makan?” “Iya, Tuan. Dan sepertinya gadis itu juga demam... kami sempat mendengar dia mengigau memanggil seseorang.” “Siapa?” “Ibunya.” Rafael terdiam cukup lama. Ada perasaan sesak yang menghantam dadanya, rasa bersalah yang selama ini berusaha ia abaikan kini menyesakkan napasnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Rafael membuka pintu perlahan. Udara kamar itu pengap dan berbau obat. Aruna terbaring dengan tubuh menggigil, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. Beberapa lebam ungu masih tampak di lengan dan lehernya akibat benturan keras saat penculikan. Dahi gadis itu basah oleh keringat, dan dari bibirnya keluar suara lirih, penuh kepedihan: “Mama… jangan tinggalkan Aruna… tolong, jangan…” Rafael menatapnya lama. Tubuh tegapnya menegang, dan matanya perlahan memanas. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, lalu dengan lembut menyentuh dahi Aruna — panasnya tinggi sekali. “Kau bodoh…” gumamnya pelan, suaranya parau. “Kau bahkan tak peduli pada dirimu sendiri.” Ia meraih kain basah dari meja dan mulai mengompres dahi gadis itu dengan hati-hati. Setiap kali Aruna mengigau, Rafael menggenggam tangannya. Tangan yang kecil dan dingin itu terasa begitu rapuh di antara jemarinya. Aruna kembali bergumam di antara igauannya, "Jangan biarkan aku sendirian… aku takut…” Rafael menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya, nada suaranya berubah lembut, jauh dari watak dingin dan keras yang dikenal semua orang. “Kau tidak sendirian, Aruna. Aku di sini,” bisiknya. “Kali ini aku tidak akan pergi lagi.” Ia tetap duduk di sana hingga dini hari, menjaga Aruna yang terus menggigil dalam tidurnya. Dan di sela keheningan itu, Rafael mulai sadar, gadis yang dulu ia anggap sekadar penebus hutang kini perlahan membuat hatinya tak tenang lagi. Pagi itu, matahari bahkan belum sepenuhnya naik ketika Rafael berdiri di depan ranjang Aruna. Wajah gadis itu masih pucat, napasnya tersengal, dan keringat dingin terus menetes dari pelipisnya. Suhu tubuhnya semakin panas — terlalu panas. Rafael langsung memanggil salah satu pelayannya dengan suara berat namun panik, “Panggil dokter pribadi sekarang. Cepat.” Tak sampai setengah jam, seorang pria paruh baya dengan jas putih dan tas medis datang tergesa. Rafael menunggu di samping ranjang dengan tangan mengepal, menatap setiap gerakan dokter itu dengan tatapan gelap namun gelisah. “Demam tinggi, Tuan,” ujar dokter setelah memeriksa Aruna. “Tubuhnya kelelahan parah, dan ada beberapa luka memar lama yang sepertinya belum sembuh. Dia butuh istirahat total, jangan dibiarkan banyak bergerak.” Rafael mengangguk pelan, menahan rasa bersalah yang mulai menggerogoti dadanya. “Lakukan apa pun yang perlu dilakukan. Aku tak mau dia mati.” Dokter menunduk sopan. “Tentu, Tuan Rafael.” Setelah dokter pergi dan pelayan menyiapkan obat serta air hangat, Rafael berdiri lama di depan jendela. Hujan semalam masih menyisakan kabut tipis di luar. Dalam diam, pikirannya terpecah antara rasa tanggung jawab pada gadis itu dan kewajibannya sebagai pemimpin klan yang kini sedang dalam bahaya. Pukul delapan pagi, telepon genggam di sakunya berdering. Suara berat dari anak buahnya terdengar: “Tuan, semua orang sudah berkumpul di markas. Marco tampaknya sedang mempersiapkan serangan balik.” Rafael menatap Aruna sekali lagi, tubuhnya masih terbaring lemah dengan selimut menutupi sampai dagu. Ia menarik napas panjang. “Jaga dia. Jangan ada satu pun yang mendekat tanpa izinku,” katanya pada pengawal di depan pintu, suaranya tajam namun mengandung makna lain yang tak bisa dijelaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD