2. Hancur berkeping-keping

2219 Words
Nadira masih tak bergeming di tempatnya, kejadian yang baru saja mengejutkannya sudah berlalu selama lebih dari dua jam namun air mata seolah enggan untuk berhenti mengalir. Sampai seorang pelayan wanita memberanikan diri mendekati Nadira.  Ya, ternyata selain Nadira, ada juga dua pasang mata yang mengawasi kejadian tadi. Pelayan tersebut tak tega melihat kondisi Nadira tapi dia juga harus melaksanakan tugasnya dengan baik. Ini sudah melebihi batas waktu untuk restoran itu tutup. Setelah Nadira dirasa cukup tenang, perempuan itu memberitahukan padanya jika restoran akan segera tutup. Pelayan itu menatap penuh belas kasihan, tak tega rasanya dia mengusir wanita yang tengah patah hati tersebut. "Maafkan saya telah merepotkan," cicit Nadira sambil tersenyum tipis. "Tidak, Nona. Anda tidak perlu berkata begitu." "Terimakasih," ucap Dira tulus. Gadis itu beringsut dari sana. Dengan langkah gontai dia pergi meninggalkan tempat terkutuk itu.  Sebongkah penyesalan terus menyusup ke dalam hatinya, dia menyesali atas apa yang telah terjadi padanya. Menyesal telah begitu mempercayai Alby, menyesal karena tak mendengar kata hatinya, menyesal karena tak mengindahkan setiap perkataan temannya. Dan masih banyak lagi sesal yang masih dia coba uraikan. Nadira masih belum bisa mempercayai keputusan Alby sepenuhnya. Bagaimana mungkin nasibnya berubah menjadi menyedihkan seperti ini.  Dua minggu, dia sudah memikirkan segala sesuatu tentang indahnya kehidupan setelah menikah akan tetapi Alby dengan kejamnya merenggut semua impiannya. "Malam sekali, Nak. Sudah pukul sebelas malam dan kamu baru pulang?" tegur Arif yang ketika putrinya pulang, pria itu sedang duduk merenung di ruang tengah. "Pah," sapa Nadira. Gadis itu mendekati ayahnya. "Papah kenapa belum tidur?" "Belum mengantuk," balas pria tua itu. "Jangan dibiasakan tidur larut malam, Pah. Begadang tidak baik untuk kesehatan terlebih pada usia matang seperti Papah sekarang," oceh Dira. "Jadi maksudmu, Papah sudah tua?" Gadis itu terkekeh geli melihat ayahnya mencebikkan bibir layaknya seorang bocah yang sedang merajuk. "Katakan, kenapa kamu sampai pulang selarut ini? Dan ... mana Alby, kenapa dia tidak mengantarkanmu?" pertanyaan beruntun yang Arif lontarkan pada putrinya. Nadira menghentikan tawanya begitu mendengar pertanyaan ayahnya. Apa mungkin bagi Nadira untuk menceritakan kejadian di restoran tadi pada pria tua di hadapannya sementara dia sendiri belum sepenuhnya mempercayai keputusan Alby yang telah membatalkan rencana pernikahannya secara sepihak? Kejadian tadi memang begitu menyakitkan baginya tapi dia juga masih bisa berpikir dengan jernih. Dia tidak akan langsung mengambil keputusan sebelum memikirkan dengan matang langkah apa yang akan dia ambil selanjutnya. Dan, sepanjang perjalanan pulang tadi, Nadira sempat berpikir hingga ia akhirnya memutuskan untuk tidak memberitahukan perihal batalnya pernikahannya dengan Alby kepada kedua orang tuanya. Setidaknya untuk saat ini. Gadis itu perlu berpikir dalam beberapa hari ke depan. Dia juga perlu mencari tahu alasan dibalik tindakan Alby yang membatalkan rencana pernikahan ini secara sepihak, padahal tinggal menunggu beberapa hari lagi menuju hari H. "Hm, itu Pah. Alby nya sudah capek katanya jadi aku memutuskan untuk pulang ke rumah sendiri saja," dustanya. Dalam hati kecilnya, sama sekali tak ada niatan untuk membohongi ayahnya tapi apa boleh buat. Untuk sementara waktu dia harus merahasiakan hal ini terlebih dahulu sebelum semuanya jelas. Dia berpikir bisa saja Alby sedang dalam masalah hingga membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Dia bertekad untuk mencari informasi lebih banyak lagi agar dia bisa secepatnya menemukan titik terang dan menyelesaikan masalahnya. "Papah bangga padamu," puji Arif. "Heh ...," kening Dira berkerut. "Kamu sudah menjadi seorang dokter, kamu selalu sempurna dalam segala hal dan Papah yakin, kamu juga akan jadi istri yang baik untuk suamimu kelak." "Papah berlebihan," dumel Dira, merasa tak suka dengan pujian yang dilontarkan ayahnya. "Papah serius, belum jadi istrinya saja kamu sudah sangat pengertian, apalagi setelah menikah nanti. Tetaplah seperti ini, Nak." Arif mengusap puncak kepala putri kesayangannya. "Sudah malam, sebaiknya Papah segera istirahat. Takut Mamah mencari, nanti." "Kau benar, sekarang sudah saatnya Papah mengistirahatkan tubuh Papah. Ingat! Kau juga harus segera tidur." "Iya, Pah." Sepeninggal ayahnya, air mata Dira kembali berjatuhan. Rasanya dia sudah tidak sanggup lagi jika terus membendungnya. Dia sudah sekuat tenaga untuk menahan agar ayahnya tidak melihatnya menangis ketika diingatkan tentang Alby tadi dan sekarang, pertahanannya telah roboh. Bulir bening dari kedua sudut matanya masih saja mengalir dan berakhir dengan jatuh pada bagian bawah gaun yang dipakainya. Gadis itu menangis sendirian, dia benar-benar ingin menikmati kesedihannya dan tak rela berbagi rasa dengan siapapun itu. Setidaknya dia bisa kembali memiliki kekuatan untuk menjalani hidup setelah meluapkan kesedihannya melalui sebuah tangisan. . . Keesokan harinya. "Nadira, Sayang. Tumben kamu jam segini belum bangun? Biasanya kamu sudah asyik bersepeda keliling kompleks."  Mutia mendekati ranjang putrinya, sisi keibuan dalam diri perempuan itu begitu kuat. Terbukti dari caranya merawat dan mengasihi Nadira selama ini meskipun gadis itu bukanlah darah dagingnya. Arif dan Mutia memutuskan menikah dua tahun setelah kepergian Afika, ibu kandung Nadira. Nadira baru berusia empat tahun ketika ditinggal pergi Afika, menghadap Sang Pencipta. Mutia adalah teman setia Afika. Wanita itu yang selalu menemani Afika melewati masa-masa pengobatan ketika ibu kandung Nadira itu divonis mengidap kanker serviks stadium akhir.  Dan puncaknya, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Afika meminta Mutia untuk menggantikan posisinya. Meskipun sejak awal Mutia menolak dengan keras keinginan terakhir sahabatnya itu, namun pada akhirnya rasa cintalah yang membuatnya mau menerima pinangan Arif. Terlalu sering berdekatan dengan Arif menimbulkan getaran cinta di hati seorang Mutia. Terlebih mengingat Nadira kecil yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu sepeninggal temannya. Nyatanya Tuhan begitu baik melimpahkan kasih sayangNya pada keluarga kecil tersebut meskipun Dia tidak memberikan anugerah berupa seorang putra pada Mutia.  Ya, Mutia tidak bisa memberikan keturunan pada Arif, tapi layaknya cinta sejati yang saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dari pasangannya. Mereka tetap bahagia menjalani kehidupannya. Kehadiran Nadira sudah cukup membuat keduanya merasa bahagia. "Sayang," ulang Mutia memanggil putrinya. "Sudah siang, Nak. Apa kamu sakit?" Wanita paruh baya itu menaruh telapak tangannya di kening Nadira. Rasa cemas menghantuinya manakala Nadira tidak melakukan aktifitasnya seperti biasa. Pemikirannya terpusat pada satu kata. Sakit. "Enggak koh, Mah. Dira nggak sakit. Hanya sedang malas bangun pagi saja," kilah gadis itu. "Memang kamu nggak ada jadwal praktek hari ini?" tanya Mutia masih dengan lemah lembutnya sembari mengusap rambut Nadira. "Jadwal praktekku hari ini sore, Mah." "Ya sudah kalau begitu. Tidur lagi saja jika dirasa kamu masih mau tiduran. Mamah keluar dulu ya," pamit Mutia. "Hm," Nadira hanya berdehem sambil mengangguk.  Gadis itu kembali menarik selimut tebal berbulu halus untuk menghangatkan tubuhnya. Rasanya dia enggan membuka mata pagi ini. Kepalanya sedikit nyeri ditambah dengan kelopak matanya yang bengkak akibat menangis semalaman.  Untung saja jam prakteknya dimulai sore nanti. Bisa gawat jika Moza sampai mengetahui matanya bengkak. Nadira sampai merinding membayangkan akan seperti apa sesi tanya jawab yang akan dilakukan oleh Moza begitu mengetahui dirinya sedang tidak baik-baik saja. Sepertinya Tuhan masih berbelas kasihan padanya. Seolah semuanya sudah diatur. Hari ini kecil kemungkinan dia bisa bertemu dengan temannya mengingat jam praktek Moza hanya sampai jam dua sore saja sedangkan dia sendiri baru memulai jam prakteknya pada pukul empat sore. "Kenapa Dira, Mah? Kenapa anak itu belum turun juga? Apa dia sakit?" cecar Arif begitu melihat istrinya turun seorang diri. "Mamah sudah cek suhu badannya, dia baik-baik saja Pah. Anak itu hanya bilang kalau dia sedang malas bangun pagi." "Ya sudah, biarkan saja dia istirahat. Toh selama ini dia juga kurang tidur." Suami istri itu pun menghabiskan sarapan paginya tanpa kehadiran putri semata wayangnya. "Nanti, tolong kamu tanyakan perihal undangan pernikahan putri kita ya," pesan Arif pada sang istri ketika dia hendak berpamitan pergi ke kantor. "Ya, nanti Mamah tanyakan sama Dira." "Reservasi gedung, jasa catering dan WO, semuanya harus sudah selesai dalam pekan ini jadi pekan depan kita sudah memiliki hari tenang sebelum hari H," imbuh Arif lagi. "Iya," jawab Mutia. "Sejujurnya aku kasihan melihat Dira, gadis itu terlalu keras pada dirinya sendiri. Dia yang mengurus semuanya, sendirian ... padahal dia juga sibuk di rumah sakit, belum lagi kalau ada telepon mendadak yang mengharuskan dia melakukan operasi darurat. Alby tidak banyak membantu, laki-laki itu justru sibuk dengan pekerjaannya." "Mau bagaimana lagi, resiko menikah dengan pengusaha yang gila kerja memang seperti itu," celetuk Mutia. "Ya, tapi tetap saja aku tak tega. Coba nanti kamu tanyakan barangkali masih ada kekurangan. Dia putri kita satu-satunya, aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, jangan sampai ada satupun yang kurang di hari bahagianya nanti." "Semuanya akan berjalan dengan lancar tanpa kekurangan suatu apa, percayalah. Sebaiknya Papah segera berangkat ke kantor, makin siang makin macet nanti Papah bisa terlambat." Mutia mengulurkan tas kerja suaminya. Wanita itu terpaksa mengusir suaminya secara halus, akan berbuntut panjang jika Arif dibiarkan terus berpidato mengenai perihal rencana pernikahan putri semata wayangnya itu. "Papah sudah berangkat, Mah?" tanya Nadira begitu melihat kedatangan Ibunya di meja makan. Setelah sempat berpikir sambil bermalas-malasan di kasurnya tadi, kini Nadira merasa bosan juga. Hingga disinilah dia sekarang, di meja makan. Gadis itu tergolong rajin dan mandiri, dia tidak pernah menyuruh pembantunya untuk menyiapkan kebutuhannya selagi dia masih bisa melakukannya sendiri. Arif dan Mutia benar-benar ketat dalam mendidik putrinya.  Cerdas, rajin dan pekerja keras, itulah sebabnya Nadira sudah berhasil menyandang gelar sebagai seorang dokter bedah saraf di usianya yang masih tergolong muda. "Sudah barusan," jawab Mutia.  Wanita paruh baya itu kemudian menarik kursi dan duduk di samping anaknya. "Kamu nggak makan?" tanya Mutia.  "Belum lapar Mah, nanti saja." "Mama boleh nggak, ngomong sama kamu, Nak?" tanya Mutia hati-hati. "Ya ampun, Mah. Orang tinggal ngomong juga, kenapa mesti minta izin." Nadira meletakkan gelas susu yang telah kosong di meja. "Ya ... kan Mamah takutnya kamu nggak ada waktu buat ngobrol sama Mamah." "Ya enggaklah Mah. Memang mau bicara apa? Kelihatannya serius sekali."  Manik mata bak kacang almond milik gadis cantik itu pun tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari wajah sang Ibu. Nadira paham jika Mutia sudah berkata demikian, tandanya perempuan itu akan membicarakan hal yang serius dengannya. "Begini, hm ... tadi Papah kamu meminta Mamah untuk menanyakan soal rencana pernikahan kamu sama Alby?" Firasatnya benar. Memangnya hal penting apalagi yang hendak dibicarakan oleh Mutia jika bukan mengenai perihal pernikahan. Tubuh Nadira membeku seketika, matanya terus mengerjap berusaha untuk tidak mengeluarkan bulir bening dari sana. Mendengar perkataan Ibunya saja sudah membuat hatinya terasa nyeri, dia sendiri tidak bisa membayangkan apa dia masih memiliki kekuatan untuk mengatakan perihal batalnya rencana pernikahannya dengan Alby, pada perempuan yang saat ini ada dihadapannya.  Bayangan wajah penuh kekecewaan dari kedua orang tuanya begitu menghantui Nadira. Akan seperti apa tanggapan Papah serta Mamahnya jika mengetahui kenyataan jika Alby telah memutuskan untuk membatalkan pernikahannya secara sepihak. Dan yang lebih menyesakkan dada adalah ketika Alby tidak memberikan alasan dibalik keputusannya itu. "Dira."  Nadira tersentak begitu mendengar panggilan dari Ibunya. Dia sendiri tidak menyadari jika dirinya sedang melamun. "Kenapa malah melamun?"  Mutia membenahi sulur rambut putrinya dan menyelipkannya dibalik telinga Nadira. "Hm, enggak kok, Mah. Itu ...," Nadira tergagap, dia bingung harus berkata apa. "Itu apa? Apa ada masalah?" " Tidak, Mah. Semuanya berjalan dengan baik, Mamah tidak usah khawatir karena aku juga sudah menghandle semuanya." Ada sebersit penyesalan ketika Nadira kembali berbohong. Sejujurnya dia juga tidak ingin melakukan hal itu,dia terpaksa berbohong untuk mencari waktu yang tepat untuk membicarakan masalah itu lebih lanjut lagi.  Nadira merasa perlu mencari jawaban atas rasa penasarannya, dia harus segera menemui Alby untuk meminta penjelasan.  Segera. . . Nadira melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, baru pukul setengah dua siang. Masih ada banyak waktu sebelum jam prakteknya di mulai jadi gadis itu memutuskan untuk mendatangi Alby di kantornya. Dengan langkah mantap gadis itu terus melangkah masuk menuju ruang kerja Alby. Dia sudah sering datang kesana jadi dia sudah hafal betul seluk beluk dan tata ruangan disana. Nadira terus mengulum senyum di bibirnya. Tangannya menggenggam erat paper bag berisi kue kesukaan Alby, dia sengaja membawanya untuk Alby. Dia sempat mampir ke toko kue langganannya, berharap dengan perhatian kecil darinya bisa membuat Alby luluh dan berubah pikiran. Begitu sampai di lantai tujuh, tempat dimana ruang kerja Alby berada. Nadira sempat mencari keberadaan sekretaris Alby.  Wanita yang gemar berpakaian seksi yang biasanya selalu standby di mejanya, tidak ada di tempat. Awalnya Nadira hanya ingin memastikan jika Alby ada di ruangannya, namun setelah menunggu agak lama dan sekretaris itu tak kunjung muncul. Akhirnya Nadira memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan di depannya.  Satu kali, Nadira mengetuk pintu namun tak ada sahutan hingga ketukan jarinya yang ketiga kalinya. Diliputi perasaan ragu gadis itu pun memasuki ruangan tersebut.  Nadira terus berjalan masuk, kedua alisnya saling bertaut manakala melihat ruangan tersebut sepi tak berpenghuni. Berpikir jika di sana tidak ada orang akhirnya Nadira memutuskan hendak keluar dari sana, namun baru saja kakinya melangkah tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara aneh. "Ah ... By, ah ... kamu nakal, Sayang." Gadis itu membalikkan badannya, untuk sesaat dia terpaku sambil menajamkan pendengarannya. Netra coklatnya tertuju pada sebuah kamar pribadi yang memang sengaja Alby buat jika sewaktu-waktu pria itu butuh istirahat di kantor. Dengan mengendap-endap Nadira perlahan mendekati bilik tersebut. Dan sesampainya di depan pintu gadis itu kembali memusatkan pendengarannya. "Aah ... By, please stop it. Aku sudah nggak tahan. Cepetan masukin punya kamu." "Tentu saja, jadi kamu mau yang kasar atau main halus?" Nadira tertegun begitu mendengar suara lelaki yang sangat dikenalinya. "Ah ... By, ya ampun. Kamu hot banget sih." Gadis itu ternganga manakala mengetahui dari mana suara-suara aneh itu berasal. Dia sudah cukup dewasa untuk mengetahui darimana suara aneh itu berasal, dia yakin jika saat ini sedang terjadi adegan panas di dalam sana. Merasa penasaran, Nadira terpaksa mendorong daun pintu yang memang tidak tertutup dengan sempurna. Matanya terbelalak ketika melihat kenyataan di depannya dan tanpa sadar dia menjatuhkan paper bag nya. Laki-laki yang selama ini begitu dia hormati dan cintai ternyata sedang memadu kasih dengan perempuan yang tak lain adalah sekretarisnya sendiri. "Alby!" pekik Nadira. Kedua insan yang sedang menyatukan tubuhnya itu pun terperanjat kaget melihat kedatangan Nadira yang begitu mendadak.  Alby segera melepaskan diri dan memungut pakaiannya yang tercecer di lantai. "Ra, kam ... kamu ngapain kesini?" tanya Alby terbata. Nadira masih membisu, ditatapnya tajam Alice, sekretaris sialan yang telah merebut Alby darinya. Sementara Alice yang entah merasa malu atau apa, buru-buru menutupi tubuhnya dengan bantal yang diraihnya asal-asalan. Nadira merasakan matanya memanas, dia terus mencoba untuk bersikap tenang tapi tidak dengan matanya. Lelehan air mata dari pelupuk matanya bersiap meledak bersamaan dengan hatinya yang hancur tak terbentuk. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD