3. Pertemuan

2137 Words
Nadira masih diam membeku di tempatnya. Nafasnya memburu dengan mulut terkatup rapat. Ingin sekali rasanya dia memaki Alby namun tenggorokannya serasa tercekik. Sementara air mata masih menetes, dia terus menatap Alice. Perempuan itu, jika dibandingkan dengan dirinya bahkan tidak ada apa-apanya tapi kenapa Alby sampai berselingkuh di belakangnya. "Ra," cicit Alby, mendekati Nadira. Nadira memejamkan matanya, tangannya terangkat, menahan pergerakan pria kurang ajar itu agar tak semakin mendekatinya. Ingin rasanya Nadira segera pergi dari tempat terkutuk itu, dia sudah tidak tahan lagi melihat wajah pria pendosa yang telah mengkhianati cinta sucinya itu namun apa dayanya. Kakinya sungguh terasa berat hingga tak mampu dia gerakkan. "Aku minta maaf, Ra. Aku tahu apa yang aku lakukan salah tapi aku ... aku nggak bisa melanjutkan pernikahan kita jadi sebelum semuanya terlambat ...," "Cukup!" seru Nadira. Untuk sesaat dia memberanikan diri untuk melihat wajah memuakkan mantan tunangannya meskipun sejujurnya dia merasa jijik setelah melihat kelakuan Alby. "Apa kamu mencintainya?" tanya Nadira. "It ... itu ... aku ...," ucap Alby terbata. "Jawab!" Tubuh Alby dan Alice terlonjak kaget begitu mendengar teriakkan Nadira. Hening. Atmosfer dalam ruangan itu sungguh terasa panas, ada aura pertikaian sengit antara Nadira dengan Alice yang meskipun tidak beradu mulut namun sedari tadi Nadira terus melemparkan tatapan tajam pada gadis yang dia anggap sebagai rivalnya. "Ada apa denganmu? Apa kau mendadak bisu?" sengit Nadira, kali ini beralih menatap Alby. "Jadi ini alasanmu membatalkan pernikahan kita?" Alby masih ragu untuk menjawab pertanyaan yang bahkan Nadira sudah mengetahui jawabannya. Bibir pria itu bergetar, wajahnya begitu pias disertai keringat dingin yang merembes pada pori-pori kulit sekujur tubuhnya. Merasa jengah, Nadira akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana namun ketika dirinya baru sempat melangkah, Alby selangkah lebih cepat dengan mencekal tangannya. "Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!" pekik Nadira. "Ra, please ... kita bicarakan ini baik-baik." Nadira tersenyum sinis. "Bicara baik-baik katamu, kemana saja kamu kemarin? Kamu bahkan tega meninggalkan aku sendirian di restoran tanpa penjelasan apa-apa dan sekarang tanpa rasa bersalah sedikitpun kamu memintaku untuk bicara baik-baik denganmu? Dasar tidak waras. Kau pikir aku sudi berbicara dengan orang sepertimu?" Gadis itu menghempaskan tangan Alby kemudian mengambil langkah cepat meninggalkan tempat tersebut. Dia tak peduli dengan teriakan Alby yang terus memanggilnya, berharap jika Alby akan mengejarnya namun rasanya mustahil. Memang pria mana yang akan berkeliaran dengan hanya memakai celana dalam saja? Nadira terus berjalan hingga akhirnya gadis itu masuk ke dalam lift. Sesampainya dia di dalam ruang angkut tersebut, Nadira segera mengusap kasar wajahnya yang masih basah oleh air mata. Kebetulan di sana sudah ada dua orang pria berpakaian rapi khas seorang pengusaha. Nadira tidak mau memperlihatkan kepada orang lain jika dirinya tengah menangis saat ini. "Dasar pria kurang ajar, berani-beraninya kau menyelingkuhi aku. Apa kurangnya aku, aku cantik, seksi, aku tidak hanya kaya dan cerdas tapi aku juga berbakat di segala bidang. Alice tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku, kau benar-benar membuatku terhina. Bagaimana bisa kau berselingkuh dengan perempuan seperti itu," gumam Nadira tanpa sadar. Kejadian tadi telah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Gadis itu kembali menangis meratapi kisah cintanya yang harus kandas di saat dia ingin segera mewujudkan impiannya untuk menikah dengan pria yang dia cintai. Tak bisa mengendalikan diri akhirnya tangis Nadira kembali pecah. Dia sudah tidak memperdulikan keadaan sekitarnya, gadis itu terus menangis sesenggukan hingga akhirnya dia tersadar akan satu hal. "Hei, Tuan. Kenapa kau membiarkan istrimu menangis?" tanya seorang pria tua berkemeja navy. Nadira menoleh ke samping dan alangkah terkejutnya gadis itu ketika melihat jika sekarang ada banyak orang di sana. Awalnya hanya ada dua orang pria saja lantas kenapa sekarang jadi banyak orang begini? apa terlalu lama menghayati kesedihannya membuatnya tak menyadari kalau ternyata ada orang yang masuk ke dalam alat angkut itu, lagi. Tangis Nadira semakin menjadi, antara malu dan juga kesal. Orang-orang dalam lift pasti telah memperhatikan tingkahnya sejak tadi. "Tuan, kenapa kau malah diam saja?" ulang pria tua itu. Lelaki yang dimaksud oleh pria tua itu pun kebingungan. Dia sama sekali tidak mengenal gadis yang saat ini sedang menangis di sampingnya jadi mana mungkin dia bisa menenangkan Nadira. "Cepat peluk dia, bujuk agar istri Anda berhenti menangis. Kasihan dia." Lelaki yang masih berdiri di samping Nadira pun semakin frustasi, ucapan pak tua yang menyuruhnya untuk menenangkan Nadira karena menganggap gadis itu sebagai istrinya, membuatnya merasa malu. Belum lagi tatapan tajam dari orang-orang yang juga ada di dalam sana yang terus menyoroti dirinya. Ditambah dengan tangisan Nadira yang terdengar semakin menyayat hati. Pria itu bahkan tak memiliki kesempatan untuk menjelaskan kalau sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa diantara keduanya karena setiap kali dia hendak membuka mulut, pak tua itu terus mendesaknya. "Cepat peluk dia! Tunggu apalagi?" pak tua yang berdiri di depan Nadira kembali mengulangi perintahnya. "Ayo, peluk dia! Kasihan jika istri Anda dibiarkan terlalu lama menangis," ucap pria yang juga teman pak tua tadi, sambil mendorong tubuh Kai. Usahawan muda bernama Kai itu pun tidak bisa berkutik saat dirinya terus dihakimi. Gibran, asisten pribadinya yang sedari tadi berdiri dibelakang Kai pun tak bisa berbuat sesuatu sekedar membantu Tuannya. Kai merapatkan tubuhnya pada tubuh Nadira, pria itu tak bergeming ketika mendengar tangisan Nadira yang semakin menggila tepat pada saat dia mendekapnya, perlahan tangannya naik dan mulai terulur menuju punggung gadis yang sama sekali tidak dikenalinya itu. Pria itu memberikan tepukan lembut yang dia anggap bisa membuat tangis Nadira mereda sementara satu tangannya ia gunakan untuk membimbing kepala gadis itu dan membenamkan di dadanya. "Kenapa tangisnya semakin menjadi-jadi ketika Anda memeluknya, Tuan?" pria tua berdasi biru itu kembali membuka suara. "Memang apa yang telah Anda lakukan padanya? Atau jangan-jangan Anda main tangan pada istri Anda sendiri?" imbuh teman pria tua itu. "Tidak!" tegas Kai. "Lantas kenapa dia terus menangis?" "Itu ... karena dia ...," Kai sungguh bingung mau berkata apa. "Dia kenapa?" "Dia sedang hamil, itu sebabnya dia menjadi sensitif. Dia ingin membeli rujak buah yang ada di pinggir jalan, tadi dan saya melarangnya. Itulah kenapa dia masih menangis sekalipun saya sudah berulang kali meminta maaf padanya." Merasa terpojok, membuat kecerdasan Kai meningkat pesat sampai dia sendiri tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Sementara Nadira masih terus menangis dalam dekapan Kai. "Ah, kalian pasti pengantin baru ya? Jika dia sedang hamil tidak seharusnya Anda melarang keinginannya untuk makan sesuatu. Istri Anda sedang mengidam, tidakkah Anda tahu jika perempuan hamil yang sedang mengidam itu harus dituruti keinginannya, jika tidak bayi kalian akan ileran nanti." 'Ya Tuhan, kenapa malah jadi rumit begini?' batin Kai. "Iy ... iya baik, terima kasih nasehatnya, Pak," ucap Kai. Tring. Bersamaan dengan itu pintu lift pun terbuka, Nadira sempat melihat ke arah luar namun dia kembali membenamkan wajahnya pada pria yang saat ini masih memeluknya. Di luar ada beberapa orang yang juga hendak masuk ke dalam lift tersebut, gadis itu merasa tak punya muka untuk keluar dari sana. "Jaga baik-baik istri Anda, biasanya wanita hamil cenderung manja. Anda harus memperlakukan dia dengan baik," pesan pak tua itu lagi sesaat sebelum keluar dari alat angkut tersebut. Kai tersenyum kaku ketika mendengar pak tua di depannya untuk kesekian kalinya memberikan petuah padanya. Sementara beberapa orang yang sejak tadi berdesakan di dalam mulai keluar dari sana. "Nona ...," bisik Kai. "Mau sampai kapan kita akan terus berpelukan seperti ini?" "Aku malu," cicit Nadira. "Astaga." Kai mengusap kasar wajahnya, dia tahu jika saat ini dirinya sedang menjadi pusat perhatian mengingat ada banyak orang di luar sana yang menunggu giliran untuk masuk. "Tuan," bisik Gibran mengkode atasannya. "Aku tahu, keluarlah," titah Kai pada asistennya. Gibran pun melangkah terlebih dulu, pria itu membelah kerumunan orang yang ada di depan lift untuk memberikan akses jalan untuk Kai. Nadira terkesiap ketika merasakan tubuhnya melayang di udara. Meskipun penasaran namun dia tak berani menoleh untuk melihat keadaan sekitar dan lebih memilih untuk tetap membenamkan wajahnya di dada bidang Kai. Nadira merasakan saat ini tubuhnya berayun, dan satu hal yang pasti. Pria yang memeluknya di dalam lift tadi, sedang menggendongnya ala bridal style. "Lihatlah mereka, suaminya manis sekali ya." "Mereka pasti pengantin baru." "Aku juga mau punya suami seperti itu." "Mungkin istrinya sedang hamil dan karena tidak ingin membuat istrinya kelelahan makanya dia rela menggendong istrinya." "Wajahnya juga sangat tampan, aku jadi penasaran. Secantik apa wajah istrinya." Nadira makin menjerit dalam hati begitu mendengar ocehan beberapa orang yang dia pikir karyawan di perusahaan Alby tersebut. Setelah dirasa sudah cukup jauh Kai berjalan sambil membopong Nadira, gadis itu pun memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Dia begitu penasaran dengan wajah pria yang telah menyelamatkan harga dirinya hari ini. "Jangan bergerak!" Reflek Nadira kembali menaruh wajahnya di dada Kai, padahal dia sama sekali belum melihat wajah Kai. "Tetaplah seperti itu, masih ada banyak orang disini," ucap Kai. Nadira mengangguk pelan. "Kita akan kemana Tuan?" tanya Gibran. "Ke tempat parkir saja," celetuk Nadira membuat Kai berjengit kaget. "Kau mau aku mengantarmu ke tempat parkir?" tanya Kai untuk memastikan. "Hm, tolong bawa aku ke sana." Akhirnya Kai membawa Nadira menuju tempat yang diinginkan gadis itu, tentu saja masih sambil menggendong tubuh Nadira. "Apa kita sudah sampai Tuan?" tanya Nadira begitu merasakan Kai berhenti berjalan. "Dimana kau memarkirkan mobilmu?" tanya Kai. "Turunkan saja aku Tuan, aku akan kesana sendiri." Nadira mulai bergerak namun Kai kembali mencegahnya. "Disini juga banyak orang, aku tidak akan setengah-setengah dalam membantu orang. Katakan saja dimana mobilmu!" titah Kai. "Mobil berwarna putih yang aku parkir paling ujung," sahut Nadira. Untuk sesaat Kai mengedarkan pandangannya, mencari letak mobil berwarna putih yang dimaksud Nadira. Tak berapa lama Kai pun kembali berjalan begitu menemukan keberadaan mobil putih gadis yang saat ini sedang dia gendong. Sementara Gibran dengan setia mengekor dibelakang. "Sudah sampai," bisik Kai. "Baik Tuan, terimakasih." Nadira mendongak, dan ketika tatapan keduanya saling beradu. Kai merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Pria itu terus menatap Nadira begitu intens hingga yang ditatap menjadi salah tingkah. "Tuan," panggil Nadira. "Ya, kau bisa pergi sekarang," balas Kai. "Bagaimana aku bisa pergi jika Tuan terus menggendongku?" Kai berjengit, dia tersadar setelah cukup lama dirinya begitu terhanyut menikmati kecantikan wajah Nadira. Dengan canggung dia mulai menurunkan tubuh Nadira. "Tuan, saya ucapkan beribu terimakasih padamu. Anda telah menyelamatkan harga diri saya hari ini. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan hati Anda." "Jangan berlebihan begitu, aku hanya melakukan hal sepele," balas Kai. "Hal sepele menurutmu itu menjadi hal yang sangat berharga untukku. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Saya harus pergi sekarang." Nadira gugup setelah melirik jam tangannya. Jam prakteknya akan segera dimulai dan secepatnya dia harus pergi ke rumah sakit. Meskipun ada begitu banyak masalah yang terjadi hari ini, bukankah sebagai seorang dokter dia juga harus bersikap profesional. Dia harus mengesampingkan perasaannya demi bisa menjalankan kewajibannya dengan baik. Tugas mulia yang di emban olehnya adalah juga merupakan cita-citanya sejak kecil. "Tapi Nona ...," cegah Kai. "Saya harus pergi sekarang karena ada hal penting yang harus saya kerjakan. sekali lagi saya ucapkan terimakasih banyak. Lain waktu jika kita kembali bertemu, saya akan mengajak Anda makan malam sebagai tanda terimakasih saya pada Anda." Kai tertegun, pria itu masih berdiri di tempatnya dengan mata yang masih terus mengawasi laju mobil putih yang semakin menjauh. Dia bahkan belum sempat menanyakan nama gadis itu. "Tuan, sebaiknya kita pergi dari sini," ajak Gibran. "Ya." Kai membalikkan badannya lalu mulai berjalan menuju mobilnya yang kebetulan terparkir tidak jauh dari sana. Gibran kembali mengikuti atasannya namun baru saja dia melangkah tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu. "Tuan," panggilnya, membuat Kai menoleh. "Ada apa?" tanya Kai. "Ini Tuan, mungkin milik gadis itu." Gibran menyodorkan id card yang terjatuh di tempat dimana tadi tuannya berdiri. Kai meraih id card tersebut lalu memperhatikan dengan seksama. "Yrish Nadira Kusuma." Kai melafalkan nama yang tertera pada id card tersebut. Digenggamnya kartu dengan foto gadis cantik yang sedang tersenyum itu. "Apa kita ada jadwal pertemuan penting lagi hari ini?" tanya Kai kemudian. "Masih ada satu pertemuan penting dengan perusahaan Diamond Grup sekitar satu jam lagi, Tuan." "Sepenting apa pertemuannya?" lagi, Kai bertanya. "Kita akan kembali mendiskusikan perihal rencana kerjasama antara perusahaan kedua belah pihak, Tuan." Gibran menyahut. Pria itu sempat menatap atasannya sesaat. Kai terlihat sedang berpikir. "Ada apa Tuan?" tanya Gibran yang melihat gelagat aneh atasannya. "Tidak ada." Gibran mengikuti langkah Kai diliputi rasa penasaran. Pria itu bergegas membukakan mobil untuk majikannya dan segera melajukan kendaraannya menuju sebuah tempat pertemuan untuk membahas rencana kerjasama dengan kliennya. Sepanjang perjalanan, Gibran terus melirik kaca spion. Dilihatnya wajah Kai begitu sumringah sambil sesekali menatap id card yang dia temukan tadi. Seumur hidup dirinya mengabdi pada Kai, baru kali ini dia melihat Kai tersenyum begitu cerianya. Biasanya atasannya itu selalu menampilkan wajah datar tanpa ekspresi. Pun ketika Gibran menemaninya bertemu dengan rekan bisnisnya yang terkadang berjenis kelamin perempuan. Sama seperti atasannya, Gibran pun terus mengulum senyum di bibirnya. Melihat kejadian langka yang terjadi di depan matanya kali ini, membuatnya ikut larut dalam kebahagiaan yang dia sendiri belum tahu apa penyebabnya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD