19. Ikat rambut

1340 Words
Kai melongo ketika melihat pemandangan didepannya. Awalnya dia mengira Nadira hendak mengajaknya ke sebuah restoran yang masih buka pada jam segini namun dugaannya salah. Bukan sebuah restoran mewah atau rumah makan sederhana, minimal, yang dia pikirkan akan tetapi sebuah warung tenda yang terletak di pinggir jalan. Warung kaki lima bertenda biru dengan gerobak warna hijau yang ramai pengunjung. Banyak deretan kursi yang tersusun memanjang saling berhadapan dengan sebuah meja panjang. "Ayo masuk! katanya lapar," ajak Nadira. Kai mengedarkan pandangannya, tempat itu cukup sempit dengan banyaknya pengunjung yang datang. 'Apa aku harus makan sambil berdesak-desakan? Bagaimana kebersihannya?' Kai membatin. Pria itu terus menyapu pandang ke segala arah. Melihat letaknya yang berada di tepi jalan membuatnya ragu untuk makan di tempat itu. "Ayo, keburu kita tidak kebagian kursi nanti." Nadira menyentuh lengan Kai dan setengah menyeretnya agar pria itu mengikutinya. Dengan cepat Nadira menyuruh Kai untuk duduk di kursi yang kebetulan berada paling ujung. "Untungnya kita dapat kursi, lihat diluar! Masih banyak yang mengantre untuk bisa makan disini," kata Nadira. Kai tersenyum kaku. Dia tidak berani menolak atau berkata apapun meskipun sejujurnya dia tidak yakin dirinya bisa menelan makanan di tempat seperti itu. Terlebih jika mengingat tadi dia sudah menyetujui ajakan Nadira. Kai makin ragu ketika dilihatnya meja di depannya itu penuh dengan piring kotor dan sisa makanan yang berceceran. Bekas makan pengunjung sebelumnya itu belum sempat dibawa dan dibersihkan oleh pemilik warung. Melihat gelagat Kai, Nadira pun tanggap dengan segera menyingkirkan tumpukan piring kotor tersebut. Di ambilnya lap yang kebetulan ada di meja kecil tak jauh dari sana lalu tangannya mulai lincah membersihkan meja. 'Gadis ini, dia benar-benar berbeda dengan kebanyakan gadis lain. Sudah cantik, smart, kepribadiannya baik.' Kai terus memuji Nadira dalam hatinya. "Maaf Nona, saya baru akan mengambilnya tapi malah sudah dibersihkan sekalian mejanya. Maaf atas ketidaknyamanan ini." Seorang pria datang mengambil tumpukan piring kotor tersebut dan membawanya ke belakang. "Tidak apa-apa." Tak lama kemudian pria itu datang kembali ke meja Nadira. "Mau pesan apa?" tanyanya sopan, bersiap membubuhkan tinta pada secarik kertas yang dia genggam. "Jadi pesan ikan bakarnya?" Nadira menatap Kai. "Ya. Kau saja yang pesan, samakan saja pesananku dengan makananmu," balas Kai. "Ya sudah." Nadira beralih menatap pelayan. "Ikan bakarnya satu, cumi bakar saus madu, udang saus tiram, cah kangkung terasi, minumnya es jeruk saja ya?" tanyanya yang dijawab dengan sebuah anggukan oleh Kai. Pelayan lelaki itu pergi setelah membaca ulang pesanan Nadira dan menyuruhnya untuk menunggu. "Kau sering makan disini?" selidik Kai. "Tidak juga, hanya kebetulan kalau pas berkunjung ke rumah teman jadi sekalian mampir," sahutnya. "Kau memiliki teman yang tinggal di dekat sini?" "Ya. Sekitar lima ratus meter dari sini ada pertigaan, disitu ada kawasan perumahan elit," jelas Nadira. 'Green Saphire Residence, tidak salah lagi.' "Temanmu seorang laki-laki?" lagi, Kai bertanya. "Hm, dia teman kuliahku dulu, hanya bedanya dia mengambil spesialis jantung." 'Hm, pria bernama Bobby itu, mungkin. Dokter jantung yang baru memulai karier nya apa mungkin sanggup membeli satu unit rumah di sana?' Kai mengangguk. Tak lama kemudian, pelayan datang membawakan makanan mereka. Di atas meja sudah penuh dengan piring yang berisi makanan yang terlihat begitu menggoda, lengkap dengan nasi yang masih mengepul, sayuran segar dan tak ketinggalan juga sambal yang menjadi menu pendamping ketika makan ikan bakar. Kai menatap piring tersebut satu per satu, dari tampilannya memang menggoda tapi dia tidak begitu yakin dengan rasanya. "Ayo makan," ajak Nadira. Kai membelalakkan matanya ketika melihat Nadira mencuci tangannya dalam baskom kecil berisi air dengan potongan jeruk nipis yang diberikan pelayan tadi. "Cuci tangannya disini?" tanya Kai tak percaya. "Iya. Tunggu apalagi? Ayo cepat cuci tanganmu." Kai membuka jasnya kemudian melampirkan pada bahu kursi yang didudukinya. Perlahan ia mulai membuka kancing lengan bajunya lalu menggulungnya hingga ke siku. "Ini enak, sungguh," ujar Nadira dengan mulut penuh berisi makanan. Melihat gadis itu begitu lahap menyantap makanannya membuat Kai penasaran. Kai mulai mencubit sepotong daging ikan dengan balutan bumbu hitam yang telah mengkristal itu dan menaruhnya di atas nasi. Namun pada saat dia akan memasukkan ke dalam mulutnya, Kai mengurungkan niatnya dan kembali meletakkan nasi itu ke dalam piring. "Kenapa?" Nadira menghentikan aktifitasnya mengunyahnya. "Apa aku tidak akan sakit perut nanti? Makanan ini terjamin kebersihannya kan?" bisik Kai setelah mencondongkan tubuhnya ke depan. Nadira hampir saja tersedak mendengar penuturan Kai, jadi itu yang membuat Kai sejak tadi seolah ketakutan melahap makanan di warung kaki lima itu. "Tentu saja, aku berani jamin." Nadira menyahut. "Kau coba saja dulu baru berikan komentar." Kai masih mengaduk-aduk isi piringnya, dia tidak langsung memakannya meskipun Nadira telah berkata demikian. Merasa gemas dengan tingkah Kai membuat Nadira reflek mengulurkan tangannya untuk menyuapi pria itu. Sungguh, jantung Kai rasanya mencelos begitu saja saat mendapatkan perlakuan seperti itu. Kai membuka mulutnya setelah tersadar jika ia tengah mendapatkan kesempatan langka yang bisa saja tidak akan terulang. Nadira tertawa melihat Kai menutup matanya sambil mengunyah makanan yang dia berikan langsung dari tangannya. Kai mulai merasai setiap bagian dari makanan yang masuk ke dalam mulutnya itu dan ketika sesuatu yang dia takutkan itu tak terjadi, Kai kembali membuka matanya. "Bagaimana?" "Enak," jawab Kai singkat. Kai menghabiskan makanan yang ada dalam mulutnya namun pada saat ia hendak kembali menyuapkan nasi dalam tangannya ke dalam mulut, dia mengalami sedikit kendala. Dari caranya memegang nasi, Nadira bisa menyimpulkan kalau Kai jarang atau bahkan mungkin tidak pernah makan menggunakan tangan dengan langsung. Melihatnya, membuat Nadira terkekeh, isi piringnya telah berkurang setengahnya sementara milik Kai masih utuh. "Nah, buka mulutmu." Pandangan keduanya saling bertemu, dan lagi-lagi Kai terdiam melihat Nadira kembali menyodorkan tangan untuk menyuapinya. "Kau pasti sangat lapar kan? Kelihatannya kau tidak bisa makan dengan tangan langsung, biar aku saja yang suapi," celetuk Nadira. "Bagaimana dengan isi piringku?" Kai melirik piring dihadapannya. "Kemarikan!" titah Nadira. "Kau tidak masalah kan makan bersama dalam satu piring dengan orang lain?" sambungnya begitu Kai memberikan piringnya, lalu menuangkannya menjadi satu ke dalam piring miliknya. "Tentu saja tidak, apalagi makannya disuapi sama orang cantik," sahut Kai dengan nada menggoda. "Kau ini," gumam gadis itu. "Aku bisa saja meminta sendok dan garpu pada pelayan tapi karena aku tak tega melihatmu yang sudah sangat kelaparan. Begini lebih cepat daripada kau makan sendiri." Kai menerima setiap suapan demi suapan dari tangan Nadira. Sesekali ia melirik gadis itu dan tak peduli sesering apapun dia melihatnya, Kai tak pernah bosan memandang wajah itu. Kai selalu saja menggila setiap kali melihat wajah cantik yang selalu tinggal di bola matanya. Seraut wajah yang bisa dia lihat sekalipun dia memejamkan mata. Kai melihat Nadira begitu cekatan memisahkan daging ikan itu dengan durinya. Memberikannya pada Kai dan menyuapi pria itu dengan hati-hati, seolah Kai anak kecil yang tak boleh sampai terkena duri ikan tersebut. "Kai." "Hm." Kai berdehem. "Bisa tolong bantu aku ikatkan rambutku? Aku lupa tidak mengikatnya, kau lihat tanganku kotor," pinta Nadira. Kai bangkit dari kursinya dan mendekati gadis itu. "Sejujurnya aku belum pernah mengikat rambut seorang wanita sebelumnya, jadi aku tidak yakin apakah aku bisa atau tidak." "Kau bisa mencobanya, asal rambutku tidak berantakan saja karena ini sangat menganggu." Nadira kembali menyuapi Kai. "Baiklah. Jadi mana ikat rambutnya?" tanya Kai di sela-sela mengunyahnya. "Ambil saja." Nadira mengulurkan tangan kirinya, ada sebuah ikat rambut yang berfungsi ganda sebagai gelang juga disana. Kai mengambilnya dan mulai menyisir rambut Nadira dengan tangannya. Kai bisa menghirup wangi jeruk segar yang menyeruak dari rambut gadis itu. "Sebuah kehormatan bagiku telah diizinkan menyentuh rambut seorang dokter cantik sepertimu." "Sayangnya aku sedang punya uang kecil," balas Nadira. "Maksudnya?" Kai sempat menghentikan aktifitasnya sejenak. "Kau sejak tadi terus memujiku cantik. Biasanya orang akan meminta imbalan atas pujian yang diberikan," terang Nadira. "Hm, tapi aku tidak begitu. Aku mengatakannya dari dalam lubuk hatiku, dan aku ingin memberitahumu." Kai telah selesai mengikat rambut Nadira, bersamaan dengan itu dia sedikit membungkukkan badannya. "Kau sangat cantik," bisiknya tepat di telinga Nadira. Secepat kilat Nadira menoleh hingga kini keduanya saling berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Nadira bahkan bisa merasakan hangat dari hembusan nafas Kai yang menerpa wajahnya. Nadira tersipu. Semburat warna merah menyembul di pipinya, sangat kentara hingga Kai yang melihatnya begitu menikmati keindahan tersebut. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD