18. Sedikit Cara

1710 Words
"Apa ...." teriak Gibran pagi itu. Kai baru saja selesai menceritakan kejadian semalam pada Gibran dan dia bermaksud untuk meminta pendapat pada laki-laki itu. Kai memang terkadang bersikap menyebalkan tapi sejujurnya dia merasa sangat cocok memiliki partner seperti Gibran. Gibran selalu bisa mengimbanginya dalam segala hal, diluar pekerjaan sekalipun. Selain untuk urusan pekerjaan, keduanya memang sudah memiliki hubungan pertemanan yang begitu kuat. Mungkin mereka terlihat sering bertengkar namun pada dasarnya Kai seorang pendengar yang baik. Dia akan mendengarkan setiap pendapat Gibran untuknya yang dirasa mampu membawanya menuju kebaikan. "Dan yang lebih parahnya lagi, Mami sampai mengira kalau kau adalah pacarku," imbuh Kai. "Yang benar saja, Tuan. Nyonya besar sampai berpikiran seperti itu," gumam Gibran sambil tersenyum kecut. Gibran merasa sangat tersinggung karena secara tidak langsung Rima juga memberikan cap 'gay' padanya, tapi dia juga merasa ini sedikit lucu. "Aku harus bagaimana sekarang? Hanya dua minggu waktu yang diberikan oleh Papi padaku. Aku harus segera membawa seorang gadis kerumah jika tidak ingin berakhir dengan menikah karena dijodohkan." Kai tidak bisa membayangkan akan seperti apa rumah tangga yang akan dijalaninya kelak jika sampai dirinya menikah karena perjodohan, membayangkannya saja sudah membuat Kai merinding. "Satu-satunya jalan tentu saja dengan segera memberitahukan pada Dokter Nadira kalau Anda mencintainya," cetus Gibran. "Apa? Darimana kau tahu kalau aku sed ...," "Saya juga lelaki normal, Tuan. Meskipun saya belum pernah pacaran, dari cara Anda memperhatikan Dokter Nadira saja saya sudah bisa melihatnya." "Melihat apa," sergah Kai. "Sebuah cinta yang begitu mendalam yang terpancar dari sorot mata Anda untuknya, saya bisa melihatnya dari cara Anda menatapnya, Tuan." "Sejujurnya aku belum yakin," gumam Kai. Pria itu menyandarkan kepalanya pada bahu kursi kebesarannya. "Tentang apa?" "Perasaanku. Tentang perasaanku terhadapnya," terang Kai. "Jadi ...," Gibran menggantung ucapannya. Ditatapnya wajah Kai dengan lekat, berusaha mencari sebuah jawaban di sana. "Jantungku akan berpacu lebih cepat dari biasanya ketika aku melihatnya, dadaku berdebar kencang jika aku mendengar namanya disebut. Aku tidak makan dengan enak, tidak tidur dengan nyenyak jika aku belum melihatnya. Aku merasa sangat bahagia saat bersamanya sampai aku bisa menjadi sangat gugup. Dia memberikan aku warna baru dalam hidupku yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Apa itu bisa disebut sebagai cinta?" Gibran masih mendengarkan dengan serius setiap ucapan yang terlontar dari bibir Kai. Ini untuk pertama kalinya Kai berani terbuka, secara terang-terangan pria itu menceritakan tentang perasaannya tanpa rasa ragu sedikitpun, pada Gibran. "Dia selalu menyiksaku," sambung Kai. "Setiap hari, setiap jam bahkan setiap waktu aku dibuat tersiksa dengan selalu memikirkannya. Apakah ini yang disebut dengan cinta pada pandangan pertama, Gibran?" "Saya kira juga begitu, Tuan. Saya telah mengenal Anda dengan sangat baik meskipun kita tidak ditakdirkan hidup bersama sejak kecil. Tujuh tahun sudah cukup untuk saya menilai Anda, Anda tipikal orang yang tidak mudah menerima kehadiran seseorang jika Anda tidak merasa nyaman dengannya, terlebih lagi jika itu seorang perempuan. Cara Anda membuat para gadis diluaran sana berhenti mengejar Anda juga sudah cukup menguatkan pendapat saya kalau memang Anda sudah jatuh cinta pada Dokter Nadira," beber Gibran. Dia masih ingat dengan jelas setiap hal ganjil yang Kai lakukan hanya demi bisa bertemu dengan Nadira. Mengendap-endap layaknya pencuri, seperti semalam saja misalnya. "Tapi aku masih ragu," cicit Kai. "Kenapa begitu?" telisik Gibran. "Tidakkah kau berpikir ini terlalu cepat? Apa yang akan Nadira pikirkan tentang aku jika tiba-tiba aku datang padanya, mengatakan jika aku mencintainya dan ingin hidup bersamanya. Huh ... dia pasti akan menganggapku tidak waras." Kai membuang nafas kasar. "Kita hanya butuh sedikit cara," usul Gibran. "Cara? Memang bagaimana caranya?" kening Kai berkerut. Pria itu semakin kebingungan manakala melihat asistennya itu tertawa kecil padanya. "Sama seperti kita menjalankan pekerjaan kita, ada tahapan yang harus kita lakukan agar bisa sampai di puncak kan?" Kai makin tak mengerti dengan ucapan Gibran, dia memajukan tubuhnya lalu menatap Gibran. Menaikkan alisnya, meminta penjelasan. "Jangan terlalu frontal padanya Tuan, kita harus punya trik." "Huh, jangan main tebak-tebakan denganku, Gibran. Aku sedang tidak ingin bermain-main denganmu. Katakan terus terang!" desak Kai. "Tuan kan memang selalu begitu, untuk urusan pekerjaan boleh dikatakan Tuan-lah ekspert nya, giliran soal cinta saja, payah," gerutu Gibran. "Aku memang bodoh dalam hal cinta, jadi cepat katakan dengan jelas!" "Gunakan waktu satu minggu ini untuk Tuan mendekati Nadira." "Nona, Gibran. Kau harus memanggilnya Nona," protes Kai. "Maaf Tuan, saya lupa." "Lanjut!" titah Kai. "Selama seminggu ini Tuan harus mendekati Nona Nadira terus, buat nona merasa nyaman dengan Anda baru setelah itu kita bisa mengambil langkah berikutnya. "Aku tidak yakin, bagaimana dengan pekerjaanku," ucap Kai pesimis. Dia tidak yakin dia bisa mendekati Nadira mengingat kesibukannya dan kesibukan Nadira yang notabene seorang dokter, itu akan menyulitkan dirinya menemui Nadira. "Ya ampun. Bukankah Tuan sendiri yang mengatakan soal kesepakatan yang Tuan buat dengan tuan besar? Pekerjaan tidak lebih penting dari apa yang akan Tuan lakukan sekarang. Ini menyangkut masa depan Tuan, saya bisa menghandle semua pekerjaan dengan baik jadi untuk sementara waktu, Tuan bisa melupakan soal itu," bujuk Gibran. Kai terdiam, dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Demi masa depan Tuan," celetuk Gibran. . . . Nadira baru saja selesai dengan pekerjaannya. Gadis itu bangkit dan mengambil tasnya setelah memastikan meja kerjanya telah rapi. Melodi yang indah tercipta dari sepatu hak nya yang berbunyi ketika beradu dengan lantai. Suasana rumah sakit telah begitu hening mengingat malam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Seharusnya Nadira sudah bisa pulang tiga jam yang lalu namun pada saat jam prakteknya berakhir, dia mendapat panggilan untuk melakukan operasi darurat pada pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas cukup parah. Nadira terus berjalan menuju lobby rumah sakit. Ya, kali ini dia tidak menuju parkiran mobil khusus dokter, seperti biasanya. Si putih yang selama ini selalu setia membawanya pergi kemanapun, sedang memerlukan perawatan di bengkel. Nadira sengaja meninggalkan mobilnya tadi sekalian berangkat ke rumah sakit. Karena tak mau mengganggu waktu istirahat supir pribadi ayahnya, dia memutuskan untuk memesan taksi online. Arif juga telah menawarkan diri untuk menjemput anak semata wayangnya itu, tapi Nadira bersikeras dengan pendiriannya. Dia baru akan meminta sang ayah menjemputnya setelah memastikan sudah tidak ada taksi online lagi yang beroperasi malam ini. Kai tersenyum saat dilihatnya seorang gadis yang dicarinya sedang berdiri di tepi jalan. Dia memang sengaja mampir ke rumah sakit demi bisa melihat Nadira akan tetapi dia harus merasakan kekecewaan saat tak dilihatnya Nadira di sana, padahal dia sudah mendapat info dari orang yang Kai suruh untuk mengawasi gadis itu yang mengatakan kalau Nadira pulang malam. Kai sempat mencarinya ke beberapa tempat yang sekiranya Nadira sering kunjungi di rumah sakit tersebut namun nihil. Kai bahkan sempat mengecek ke tempat parkir dan ternyata mobil Nadira pun tak ada disana. Kai berpikir Nadira telah pulang dan tak tahunya gadis itu malah sedang berdiri di tepi jalan. "Nadira," panggil Kai setelah membuka jendela mobilnya. Dia sengaja menyetir sendiri dan menyuruh Gibran pulang terlebih dahulu. Nadira menoleh dan gadis itu terperangah begitu melihat Kai. "Cepat masuk!" perintah Kai. Ragu, Nadira masih belum bergerak dari tempatnya. "Ayo cepat masuk! Tunggu apa lagi? Aku sudah membuat kemacetan disini!" Nadira tersadar begitu mendengar bunyi klakson yang bersahutan, ternyata barisan mobil di belakang mobil Kai sudah cukup panjang. Mau tidak mau gadis itu pun menurut, dia segera masuk ke dalam mobil itu. "Kau sedang apa tadi?" tanya Kai begitu dia telah melajukan mobilnya. "Memesan taksi online," jawabnya datar. "Apa?" "Ya, kau tidak salah dengar. Mobilku aku tinggalkan dibengkel tadi siang." "Ayahmu?" "Kasihan lah, sudah capek seharian kerja kalau masih harus direpotkan dengan anaknya." Mulut Kai membulat membentuk huruf O. "Kau sendiri?" Kai salah tingkah saat mendapatkan pertanyaan seperti itu. Kenapa dia tidak berpikir kalau Nadira akan menanyakan hal seperti itu padanya? "Kebetulan lewat." jawaban yang akhirnya dipilih Kai. Nadira mengangguk. Keheningan tercipta di sana, keduanya sama-sama merasa canggung. Berbeda dengan Nadira yang lebih tenang, Kai tampak berpikir keras. Pria itu sampai mengetuk-ngetukan kakinya pada bagian bawah mobil. 'Berpikir Kai, ayo.' jerit pria itu dalam hati. Benar apa yang dikatakan oleh Gibran, Kai akan merespon dengan cepat jika terjadi sesuatu yang bersifat darurat mengenai pekerjaan akan tetapi dalam hal percintaan, dia sungguh payah. "Kau tidak akan bertanya dimana alamatku?" Pertanyaan Nadira membelah keheningan yang terjadi cukup lama di dalam mobil. Kai tersentak karena begitu dia menoleh, tatapan matanya dan juga Nadira saling bertubrukan. Tak bertahan lama karena pria itu segera mengalihkan pandangannya pada jalan di depannya. "Ehm, sebenarnya ...," "Kenapa?" "Aku sangat lapar," beritahu Kai tiba-tiba. "Apa? Memang kau belum makan malam?" Kai merasa sedikit terganggu saat Nadira terus menatap ke arahnya. Bukan apa-apa, dia hanya tidak kuat jika harus bertatapan dengan gadis itu. Entahlah, Kai sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Mungkin saja 'cinta', seperti yang dikatakan oleh Gibran. "Gibran itu lelaki yang kejam, seharian aku disuruh mengikuti kemauannya. Jadwalku penuh karena sejak pagi dia terus memaksaku untuk menghadiri rapat dan juga pertemuan penting dengan beberapa klien yang berniat menawarkan kerjasama. Belum lagi pekerjaan lain yang menumpuk, dia menuntutku untuk terus bekerja tapi dia lupa memberiku makan. Aku sendiri sampai heran, disini sebenarnya yang atasannya itu dia atau aku." Kai tertawa renyah. "Kasihan sekali dirimu," gumam Nadira. "Hm, tadinya aku mau mampir ke restoran sebentar tapi setelah dipikir-pikir, aku bingung mau makan apa. Makanannya itu-itu saja, tidak ada yang membuatku tertarik." "Memang apa makanan favoritmu?" tanya gadis itu. "Sebenarnya aku bukan tipikal orang yang pemilih. Aku bisa makan apapun itu selama itu bukan racun tapi ada makanan yang membuatku selalu berselera." "Apa?" "Ikan dan cumi bakar. Sial, membayangkannya saja sudah membuatku kelaparan," ujar Kai. "Hm, bagaimana kalau kita mampir. Aku tahu tempat makan yang menyajikan ikan bakar dan aneka seafood lainnya," usul Nadira. "Sungguh?" "Kau meragukanku? Aku harap kau tidak lupa saat kau masih dirawat tempo hari. Siapa yang menghabiskan kaki ayam masak pedas dan juga nasi sapi lada hit ...," "Bukan masalah itu," potong Kai. "Lantas?" "Ini sudah malam, apa tidak masalah jika aku terlambat mengantarmu pulang?" "Firasatku mengatakan kalau kau bukanlah orang jahat dan aku juga terbiasa pulang tak tentu jadi tidak masalah," tawar Nadira. "Baiklah." "Kau ikuti saja arahan dariku, ya. Nanti aku tunjukkan jalan menuju tempat itu," ucapnya bersemangat. Kai terus mengulum senyum yang membingkai wajahnya yang begitu rupawan. Sesekali dia mencuri pandang pada gadis yang saat ini sedang duduk disampingnya. Dalam hati Kai begitu mengagumi pesona Nadira yang dalam keadaan apapun selalu terlihat cantik. Kai melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang, menembus pekatnya malam menuju tempat yang akan mengukir sejarah baru dalam hidupnya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD